Kamis, Desember 20, 2007

Beny Uleander

Kiamat Kecil Di Nusa Dua


Dalam komunitas agama, tema hari kiamat diungkapkan dalam ragam versi dan kisah. Kadang ada alur ungkap yang mengerikan soal akhir dunia. Bencana dahsyat menghancurkan bumi dan segala isinya. Goncangan gempa mahadashyat dan tsunami ganas menelan hahis semua yang hidup dan tinggal di daratan. Bumi terbelah. Jerit tangis menyayat hati menjadi balada terpilu.
Ramalan tentang hari kiamat memang menakutkan. Kesalehan kerap dipupuk lewat jalinan ramalan apokaliptik yang menggentarkan hati. Lantas amal saleh dan doa tulus dijadikan “tameng” kokoh dan “jalan tol” yang menghantar jiwa-jiwa tak berdosa menuju kehidupan baru. Sementara ganjaran dosa dan siksa neraka sering dipakai para guru agama untuk memotivasi umatnya menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik dan benar.
Isu kapan tibanya hari kiamat dalam sejarah klasik maupun modern-global saat ini menjadi iklan sabun yang mudah meninabobokan para pemeluk agama konvensional beralih ke aliran atau sekte baru. Ada kelompok kepercayaan yang membangun doktrin baru, hari kiamat akan tiba. Waspadalah….waspadalah….waspadalah….
Doktrin hari kiamat atau akhir dunia amat mudah dipercaya kelompok masyarakat di suatu wilayah/negara yang miskin. Beban hidup yang mahaberat menemukan gerbang pembebasan pada hari kimat yang bakal tiba. Kerja keras mencari sesuap nasi diganti dengan doa intens menanti detik-detik hari kiamat. Rasa lapar dan haus diabaikan.
Kata kiamat memang berasal dari bahasa Arab yang berarti bangkit atau bangun. Dalam kepercayaan Yudaisme, Islam dan Kristen, hari kiamat adalah gerbang menuju hari akhirat. Manusia akan diadili dan diberikan pembalasan yang sewajarnya dengan perbuatan mereka semasa mereka hidup. Momen Allah mengambil orang-orang yang baik untuk kehidupan yang baru.
Dalam perspektif agama, hari kiamat bisa didefinisikan sebagai hari keputusan, perhitungan, pengadilan, perpisahan, pengumpulan, penyesalan, kebangkitan atau hari terbukanya aib. Ya hari kiamat adalah hari yang agung dan muara abadi dari kerinduan umat beragama dari tradisi Nabi Ibrahim AS.
Rupanya tanda-tanda kiamat juga mulai tercium di Nusa Dua, Bali. Ya, nama Nusa Dua kini menjadi “buah bibir” masyarakat dunia. Tempat wisata eksklusif dengan hotel-hotel mewah ini menjadi saksi sejarah pertemuan penghuni planet bumi ini membicarakan kelangsungan hidup mereka.
Selama berlangsung Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua dari tanggal 3 Desember hingga “molor” sehari, sampai 15 Desember ini, setiap hari ada parade demo. Koalisi masyarakat peduli keadilan iklim dan aktivis lingkungan hidup mancabenua berupaya mengangkat “luka-luka” lingkungan hidup. Planet bumi sedang “demam berat” ini terungkap di areal perkampungan Bali. Sayang, pengakuan dan ungkapan kesaksian soal duka derita yang dialami penduduk di negara-negara miskin akibat perubahan iklim tidak bergemuruh di arena sidang. Itulah realitas yang menyedihkan dari kehebohan ajang akbar UNCCC di Bali.
Pertemuan yang diikuti 9.575 peserta dari 185 negara awalnya diharapkan sukses membuat dokumen Bali Road Map atau Peta Jalan Bali. Nyatanya diskusi transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berlangsung alot. Pembahasan peningkatan target penurunan emisi di negara maju gagal disepakati. Dalam konferensi tersebut negara-negara maju dituntut meningkatkan kewajiban menurunkan emisi sebanyak 5 persen menjadi 25-40 persen dari tingkat emisi tahun 1990.
Kiamat kecil memang terjadi di Nusa Dua. Kegelisahan memaknai perubahan iklim yang kian ekstrem di muka bumi berubah menjadi diskusi ekonomi. Konferensi di Nusa Dua dikritik Direktur Walhi Pusat Chalid Muhammad telah berubah menjadi konferensi perdagangan karbon oleh negara maju, kaum kapitalis-pengusaha, World Bank, Asian Development Bank dan calo-calonya. Bencana yang memilukan dari perubahan iklim dipicu oleh gaya hidup modern yang konsumtif, mewah dan tidak ramah lingkungan.
Seharusnya, konferensi menjadi kiblat kesadaran bahwa planet bumi yang sudah tua ini sedang sekarat. Tapi yang terjadi? Kerakusan (nafsu jahanam kapitalisme) dan kebutaan hati membuat delegasi AS seolah tutup mata dengan aneka bencana yang mulai dinikmati penduduk di negara-negara miskin. Bahkan dengan angkuh, AS melihat upaya penurunan emisi karbon sama artinya dengan ancaman kelangsungan percepatan pertumbuhan ekonomi. UNFCCC gagal merumuskan penurunan emisi karbon. Gugurlah harapan masyarakat dunia yang memprihatinkan efek rumah kaca.
Apalah artinya kesejahteraan bila bumi tempat pijak hancur? Apalah artinya hidup nyaman bila alam lingkungan kerap dilanda bencana? Apa untungnya kemajuan ekonomi tapi akhirnya manusia sendiri yang menjadi actor terciptanya hari kiamat.
Dalam ranah agama, hari kiamat sepenuhnya dalam kuasa Allah, tapi dalam alur perubahan iklim, kehancuran planet bumi ini dalam genggam kuasa negara-negara maju yang arogan. Tidaklah salah bila parodi Republik Mimpi membahas Skema REDD yang menganjurkan negara berkembang untuk menanam pohon (deforestasi) penuh dengan ungkapan satir. REDD diplesetkan secara cerdas oleh mantan presiden dan penguasa Republik Mimpi; Suharta, Habudi, Megakarti, Gus Pur dan Wakil Presiden Jarwo Kuat. Tapi ada benarnya juga. Para peserta dan negara yang tidak peduli dengan krisis perubahan iklim layak disebut penjambret, kutu kupret atau kampret. Arena konferensi pun menjadi arena goyang dombret yang miskin aksi nyata. Bahkan Habudi yang berwawasan high tech menyebut UNFCCC di Nusa Dua tidak menghasilkan komitmen apapun karena pesertanya RED DEVIL; setan-setan; sebuah julukan kesayangan untuk tim setan merah Mancheser United. Aksi jambret kekayaan hutan dan isi bumi dilakukan setan-setan merah; aktor intelektual kiamat kecil di Nusa Dua. (Beny Uleander/KPO EDISI 142)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :