Kamis, Desember 20, 2007

Beny Uleander

Parodi Red Devil Di Nusa Dua?

Ledakan tawa membahana di wantilan DPRD Renon, Denpasar, Sabtu siang (8/12). Saat para peserta KTT United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Nusa Dua serius membahas pasar karbon, di Denpasar, koalisi masyarakat sipil dan LSM dari berbagai negara untuk keadilan iklim menyimak parodi dan sindiran segar dari mantan presiden dan penguasa Republik Mimpi soal pemanasan global. Suasana kian heboh saat terjadi perang pendapat antara Suharta, Habudi, Megakarti, Gus Pur dan Wakil Presiden Jarwo Kuat tentang skema REDD (Pengurangan Emisi dari deforestasi dan degradasi) yang sangat merugikan masyarakat pesisir.
Pemicu diskusi adalah penasehat Presiden, Effendy Gozali yang mengatakan, bumi dan hutan bukan milik penguasa atau pengusaha, tapi rakyat dan pemuda. Kontan saja joke segar keluar dari mulut Wapres Jarwo Kuat yang saat itu tidak didampingi Presiden Si Butet Yogya. “REDD itu merugikan rakyat. Ada dua kata yang berakhiran mirip REDD, jambret dan kutu kupret,” ujar JK, yang disambut tawa penonton. Gus Pur dengan canda cerdas mengatakan ada kata akhiran REDD yang bagus untuk dilihat, --goyang dombret. Rupanya Habudi yang berwawasan high tech menyebut akhiran REDD yang berarti suka menyolong buah-buahan; kampret. “UNFCCC di Nusa Dua tidak menghasilkan komitmen apapun karena pesertanya RED DEVIL; setan-setan,” ungkap Habudi memelesetkan istilah REDD dengan RED Devil (setan merah).
Penyelamatan bumi menjadi isu mutlak untuk diselesaikan. Skema REDD yang menganjurkan negara berkembang untuk menanam pohon (deforestasi) ternyata ditanggapi mantan penguasa orde lama, Suharta. ”Lebih dari 60 juta hektar hutan di Indonesia sudah dikuasai perusahaan dan perkebunan sejak masa orde lama. Saya mohon maaf telah mengatur hal itu. Sekarang rakyat tambah miskin,” ujar Suharta yang menjawab pertanyaan dari Effendi Gozali dengan terbata-bata karena masih dalam kondisi sakit.
Pembahasan hangat tentang penjualan karbon juga ditanggapi cerdas oleh Mantan Menristek lulusan Jerman, Habudi. “Pasar karbon sudah ngga’ high-tech. Sekarang mengetik saja tidak memakai karbon. Kan sudah ada komputer,” katanya. Menurut Effendy Gozali, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon, tempat hidup bagi masyarakat adat, penyimpan air, bergerilya (jaman perang), bahkan sebagai tempat pacaran. “Tapi bagaimana bisa pacaran, lha wong hutan banyak ditebang. Jadi malah panas,” jelasnya.
Namun ada tips dari Guru Bangsa soal melestarikan hutan. “Tipsnya adalah 3G (istilah keren sekarang tri ji). Pertama, gali dan kaji kebijakan lokal. Kedua, gunakan nurani untuk membuat solusi. Ketiga, giatkan keberpihakan kepada rakyat. Untuk lebih afdol, bolehkah saya menambahkan satu lagi? Gitu aja kok repot,” ujarnya disambut tawa warga Republik Indonesia. Menurut Megakarti yang sangat berkesan begitu tiba di Bali, masyarakat harus mencintai hutan seperti mencintai diri sendiri. “Cintai hutan dengan sendirinya tanpa mau diperintahkan dulu oleh orang lain,” pesannya.
Hadir juga Direktur Walhi Pusat Chalid Muhammad. Menurutnya, Global Day Action menuntut keadilan iklim yang tidak hanya dilakukan di Bali tapi seluruh Indonesia. “Konferensi di Nusa Dua telah berubah menjadi konferensi perdagangan karbon oleh negara maju, World Bank, Asian Development Bank dan calo-calonya,” kritiknya.
Tak lupa aktivis Friends of the Earth dari Kolombia Hildebrando Velez ikut menyemprot unek-eneknya. Menurutnya, keadilan iklim jauh lebih penting dari perubahan iklim. Begitu pula dengan tawaran Bali dengan Nyepi For The Earth yang disampaikan budayawan I Gusti Raka Panji Tisna dan diamini oleh Direktur Walhi Bali, Nyoman Sri Widhiyanti.
Aksi ditutup long march mengelilingi Lapangan Puputan Renon, depan Gedung Gubernur Bali. Aksi yang diikuti ribuan elemen itu meneriakkan keadilan iklim untuk bumi seperti WALHI, Serikat Buruh Indonesia, Serikat Petani Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia, FPPI, FSBJ, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Friends of the Earth, Serikat Nelayan Indonesia, Mitra Bali, Green Student Movement Jawa Barat, Solidaritas Perempuan, Korban Lumpur Lapindo serta elemen perwakilan dari Korea, Filipina, India, Kolombia dan Greenpeace. (Beny Uleander & Didik Purwanto/KPO EDISI 142)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :