Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Suksesi Sistem

Pasar massal mulai ditinggalkan penduduk metropolis. Itulah salah satu mega trends yang dieksplorasi Patricia Aburdene dalam Megatrends 2010 (2006). Ada kecenderungan warga dunia mulai mengonsumsi dan membeli barang berdasarkan urutan nilai yang dianutnya. Fanatisme dan militansi atas sebuah barang dan jasa tidak bisa dikerangkeng dalam desakan iklan bertubi-tubi sekalipun. Peta pasar telah berubah. Sikap militansi terhadap nilai yang dihidupi menjadi 'arus isap' dalam menentukan gaya hidup dan pola belanja harian. Contohnya, penganut vegetarian pasti menyandarkan hidup mereka pada makanan organik. Di sini, ada sebuah ceruk pasar sekaligus peluang untuk melakukan penetrasi barang dan produk yang sesuai dengan 'pilihan hidup' konsumen.
Sebuah produk barang dan jasa akan langgeng sejauh korporasinya secara lihai mengedepankan tatanan nilai yang bisa ditawarkan kepada publik. Perang pasar bukan lagi pertarungan ketat kualitas dan kuantitas produk tetapi daya penetrasi perusahaan mempopulerkan nilai-nilai baru. Salah satu nilai yang kini dipertaruhkan ialah sosialisasi pertanian organik dan kesehatan bertumpu pada ramuan tradisional berbasis teknologi effective microorganism (EM) yang murah, mudah dan ramah lingkungan.
Ketika berkutat dengan fenomena 'pencerahan' di abad pertengahan, JJ Rousseau berteriak lantang, "Berilah kami fakta, fakta! Kami sendirian yang akan memberikan penilaian tentangnya." Memang benar ketika berbagai teori pembangunan melimpah ruah di lautan wacana, setiap individu pasti kian terdesak oleh suatu kegusaran eksistensial. Serumit dan sejenius apapun sebuah ide pembangunan, ia harus bermuara pada pemberdayaan masyarakat dan berujung pada jejaring kesejahteraan.
Manusia abad ini setidaknya telah memiliki suatu kebijaksanaan bahwa alam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Alam tidak seenak lagi dieksploitasi dan disakiti. Berbagai tragedi bencana alam dan prahara belakangan ini terjadi karena pola dan arah pembangunan mengabaikan keseimbangan alam. Inilah suatu tatanan nilai yang perlu dihayati dan ditularkan dari satu manusia kepada lainnya.
Banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya di Indonesia memang dipicu oleh kesalahan dan keserakahan manusia yang merusak keseimbangan ekosistem. Satu lagi, keserakahan yang tidak mendapat 'pencerahan' dari media massa, kritikus dan praktisi pertanian yaitu kultur pertanian di berbagai daerah yang berbasis produk kimiawi . Krisis pangan yang berujung pada kebijakan pemerintah melakukan impor beras sebenarnya sudah bisa diprediksi ketika harga pupuk kimia melonjak naik. Betapa tinggi ketergantungan petani kita kepada pupuk kimia. Padahal pakar pertanian tidak membantah bahwa penggunaan pupuk kimiawi akan merusak unsur hara, tanah jadi kurus dan tidak menciptakan revitalisasi tanah pertanian. Hal ini memang luput dari lalu-lintas wacana karena memang pola pertanian organik belum menjadi tatanan nilai yang dianut masyarakat agraris dan di-back-up penuh pemerintah.
Pertanian Indonesia mencatat prestasi sensasional tahun 1984 yaitu swasembada pangan. Ternyata torehan prestasi ini dalam kurun waktu 23 tahun (1984-2007) melorot menjadi bangsa pengimpor beras. Ini berarti ada suatu kesalahan sistem pertanian yang perlu dibenahi. Salah satunya adalah ketergantungan lahan akan pupuk kimiawi menjadi pemicu berkurangnya kesuburan tanah, matinya mikroorganisme positif yang mendukung kesuburan tanah dan tanaman.
Saatnya, pemerintah mengibarkan bendera putih atau dengan kata lain menyambut antusias berbagai teknologi pertanian yang ramah lingkungan menjadi master plan suksesi sistem pertanian baru. Bagaimana sampah yang organik yang menumpuk di berbagai TPA diolah menjadi pupuk kompos. Pemerintah bisa menggandeng pihak swasta yang sukses membangun bisnis pupuk kompos dari tumpukan sampah. Bukan hanya di bidang pertanian, masih banyak lagi catatan penemuan spektakuler anak bangsa tetapi tidak 'diadopsi' oleh pemerintah. Pemerintah bisa belajar bagaimana membuat pembangkit listrik mikrohidro untuk daerah terpencil, membuat mobil marmut listrik lipi (marlip), metode belajar fisika yang diterapkan Prof. Yohanes, dan masih banyak lainnya.
Suksesi sistem pertanian mendesak dilakukan agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang mandiri. Apalagi kita masih memiliki lahan pertanian potensial yang belum tergarap serius. Langkah perubahan itu lahir dari suatu konsensus yang terus berkembang bahwa bahwa suatu kekuatan majerial baru dan dahsyat diam-diam menjalar menembus ribuan perusahaan, mengubah mereka --dan juga kita-- untuk menjadi lebih baik
Sekarang ini adalah saat yang tepat bagi para manajer grassroot; para pemimpin spiritual, para manajer menengah; karyawan rendahan; para agen perubahan; pelaku; praktisi; co-conspirator bahwah-atas yang lihai; para pemimpin tim; para eksekutif wanita; para pengusaha; para konsultan; para aktivis dan pelatih eksekutif untuk melangkah keluar dari balik bayangan dan merangkul misi yang tidak begitu rahasia suatu panggilan 'mistik' untuk turut serta mengembangkan lingkungan hidup yang lebih familiar, mengupaya pembangunan yang memihak kepada keseimbangan lahir dan batin serta meretas pemberdayaan komunitas masyarakat yang peduli dengan kelestarian lingkungan dan alam sekitar. Dengan agenda dan tawaran visi yang berbeda ini, kita berharap perubahan menuju Indonesia baru ada di tangan masyarakat. Semoga. (Beny Uleander/KPO EDISI 123)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :