Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Manajemen Pertanian Tambal Sulam

Berita kelaparan, busung lapar, rakyat makan nasi aking atau umbian hutan dan impor beras adalah sebuah ironi yang kini dianggap hal lumrah di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Barisan syair, lantunan pantun dan gema lagu daerah seluruh Nusantara warisan lelulur dihiasi dengan latar belakang alam, kehidupan riang di kebun , sukacita panen di sawah, kekompakan kerja bersama merintis ladang baru. Kita adalah keturunan leluhur agraris. Kita adalah bangsa agraris. Namun mengapa kita seperti induk ayam yang mati mengeram di atas tumpukan jerami.
Manajemen pertanian Indonesia berada di titik simpang-siur. Nasib petani yang terus terpuruk dalam pergantian rezim demi rezim menjadi 'petunjuk' bahwa kita belum memiliki blue print mengelola pertanian Indonesia dari sektor hulu dan hilir. Kekacauan manajemen pertanian setali tiga uang dengan sistem pendidikan nasional yang compang-camping. Pertanyaannya, apakah generasi muda yang kini didaulat sebagai pengambil kebijakan publik memiliki kualitas SDM yang keropos? Tentu saja tidak sebab kita memiliki menteri, dirjen atau staf ahli kementerian dengan titel akademis yang meyakinkan. Bahkan, sebagian besar menimba ilmu di universitas ternama di Eropa dan Amerika.
Letak kekeroposan pertanian Indonesia ada pada aspek kerumitan birokratis dalam mengimplementasikan berbagai terobosan pengembangan sektor pertanian. Berbagai terobosan itu dikemas dalam nama 'proyek-proyek pertanian'. Spirit proyek adalah batas waktu pengerjaan jangka pendek dan ditutup dengan evaluasi. Sedangkan aspek investasi visi pembangunan pertanian berkelanjutan itulah yang menjadi titik pincang kemajukan dunia pertanian Indonesia. Akibat lebih tragis, lantas dunia pertanian dilihat generasi muda sekarang sebagai bidang pekerjaan yang kotor dan tidak menjanjikan masa depan yang cemerlang. Padahal ada banyak peluang bisnis dalam mengelola sektor ini.
Gegap gempita revolusi hijau era 1960-an yang timbul di negara-negara 'Barat' sukses mengantar Indonesia mencapai swasembada pangan era Presiden Soeharto tahun 1980-an. Salah satu pilar revolusi hijau itu adalah peningkatan produktivitas lahan pertanian dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimiawi. Upaya peningkatan produksi pangan yang salah, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan kimia dan pestisida lainnya, memberikan dampak kimia negatif, yang berlanjut pada pertaruhan nilai kesehatan manusia akibat residu kimia yang ditinggalkan. Dampak negatif yang serius terhadap lingkungan menyebabkan penurunan kualitas produksi akibat kerusakan unsur hara tanah yang diikat oleh residu kimia dalam tanah.
Ketika negara-negara 'Barat' sudah sadar akan kekeliruan menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi (back to nature), pertanian Indonesia tetap mengandalkan pemakaian pupuk kimia yang memberi sumbangan besar marjinalisasi lahan-lahan kritis dan tandus. Indonesia seperti orang yang tergagap-gagap mengaplikasikan spirit back to nature dalam merevitalisasi pertanian Indonesia. Padahal, jauh ke belakang, nenek moyang kita amat lihai, cerdas dan arif mengembangkan pertanian organik. Bahkan khususnya di Indonesia, pertanian modern yang serba sintetis seperti sekarang ini, adalah sesuatu yang baru kita kenal beberapa puluh tahun terakhir ini saja. Selama beribu tahun (setidaknya seperti yang terlukis di dinding Borobudur), petani kita selalu menerapkan sistim pertanian organik Penggunaan pupuk dari kotoran hewan atau sisa-sisa panenan, adalah hal yang selalu digunakan sebagai penyubur tanah oleh kakek nenek kita.
Sementara permintaan pasar global akan produk pertanian organik terus meningkat tajam. Hal ini ditandai dengan perguliran trend mengomsumsi fast food menjadi slow food. Sementara sektor swasta di Indonesia 'lebih tanggap' mengantasipasi dampak serius di atas dan cekatan merespon ancaman pasar global akan kebutuhan produk organik. Sehingga cepat atau lambat, pemerintah Indonesia, entah di era SBY atau penggantinya, harus membuat blue print pertanian organik dan pertanian berkelanjutan dengan visi perbaikan kualitas lahan, kualitas produk organik, reformasi sektor agribisnis dan menata mata rantai industri dengan penciptaan pasar skala lokal, nasional dan global. Dengan visi yang berkesinambungan ini, kebijakan implementasi hendaknya tidak lago 'dikerangkeng' dalam proyek-proyek jangka pendek yang hilang bersama waktu.
Itulah solusi tepat yang harus kita kerjakan sekarang ini. Paradigma pertanian kita harus kita ubah secara radikal. Pertanian organik yang ramah lingkungan berbasis penggunaan pupuk dan pestisida alamiah menjadi pilihan bijak menyelamatkan lahan pertanian kita yang kritis. Memang mungkin akan timbul pertanyaan mengenai efisiensi. Karena untuk kembali ke pupuk kandang, pupuk hijau atau kompos, petani kita kita akan mengeluhkan ongkos produksi yang tinggi dan keterbatasan bahan baku. Tapi perlu diingat, Koran Pak Oles edisi ini memprofilkan berbagai kiprah kalangan LSM dan praktisi pertanian yang sukses mengembangkan 'percontohan' kebun organik di daerah mereka. Kemajuan teknologi seperti inilah yang harusnya kita serap dan sosialisasikan kepada masyarakat pertanian kita. Sekaligus juga mengubah nuansa berpikir kebanyakan orang, bahwa pertanian organik adalah pertanian berbiaya mahal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Jepang, Eropa dan Amerika saja.Tidak ada salahnya kita meniru pola pertanian yang "low cost economy". Dan ini harus menjadi trend menata dunia pertanian Indonesia agar aroma kemiskinan yang membalut nasib petani bisa menjadi kenangan masa lalu. (Beny Uleander/KPO EDISI 124)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :