Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Bahaya Alienasi Diri

Kehidupan adalah sebuah kontradiksi, dalam acuan Hegel mencari jalan tengah tese dan antitese menuju sintese. Dunia pun tidak lebih dari sebuah panggung sandiwara, dalam rentetan kegelisahan dramawan Shakespeare. Politik adalah gerakan suci insani, menurut Thomas Hobbes, karena lahir dari dorongan sosial untuk hidup bersama dalam suatu ordo; tatanan kenegaraan. Parade kontradiksi secara 'telanjang bulat' tanpa malu berlangsung super meriah di ibukota Jakarta. Saat warga korban banjir mendadak jadi orang miskin, anggota DPRD lintas kabupaten/kota se-Indonesia menyerbu Senayan agar revisi PP No 73 Tahun 2006 dibatalkan. Publik mencium bahwa dana rapelan yang jumlahnya cukup besar tersebut sudah terlanjur dipakai wakil rakyat.
Di lain pihak, PP 'krusial' tersebut sebenarnya sebuah penegasan bahwa telah terjadi sandiwara di panggung perpolitikan negeri ini. Pemerintah 'mendadak' tampil sebagai penyelamat uang negara dari 'sergapan' anggota DPRD. Padahal pemerintahlah yang menjadi pionir lahirnya PP yang melegalkan korupsi secara konstitusional.
Bagi kalangan awam; masyarakat miskin dan buta politik, kebijakan publik dalam melahirkan PP 'krusial' hanyalah sebuah parodi kekhilafan sesaat. Namun sebenarnya, kita dapat menelusuri bahwa ada aspek-aspek kenegaraan yang mulai rapuh. Akibatnya lahir banyak kebijakan pemerintah dan legislatif yang sudah tidak memihak kepentingan rakyat. Contohnya, partai politik di berbagai daerah justru menjadi penyumbat suara rakyat. Banyak pemimpin daerah yang terpilih secara demokratis tetapi tidak dikehendaki rakyat di suatu daerah. Ada calon independen yang populer di mata masyarakat karena kecakapan, integritas dan skill yang dimilikinya tetapi tidak digubris partai politik.
Di tengah gencarnya program pembangunan yang digagas pemerintah saat ini, patut dicatat bahwa justru banyak di antara kita yang semakin merasa bahwa hidup kian susah di negeri ini. Barangkali rentetan bencana yang menimpa negeri kita bisa dituding sebagai faktor yang menyebabkan kehidupan tambah sulit. Namun, kita melihat bahwa prestasi nasional negeri ini di berbagai bidang sudah sampai titik nadir; sangat mencemaskan. Prestasi olahraga jeblok. Kita seakan baru menjadi anak bawang dalam perhelatan olahraga regional Asean maupun Asia. Perguruan Tinggi Negeri yang kini amat mahal bagi kantong anak-anak keluarga miskin setiap tahun melahirkan output sarjana yang menambah barisan panjang pengangguran terpelajar.
Musuh dan penjajah terbesar Indonesia saat ini adalah sikap ambigu dalam menetapkan demokrasi sebagai pilihan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik politik yang terjadi saat ini bukan karena adanya perbedaan sikap pada tataran wacana maupun konsep pembangunan kerakyatan. Sebaliknya, konflik yang terjadi karena gesekan pengaruh antara eksekutif dan legislatif. Cepat atau lambat, bila konfrontasi 'sandiwara' birokrat dan legislatif terus meruncing, maka energi potensial untuk membangun negara menjadi terpecah belah. Sementara rakyat miskin yang jumlahnya terus bertambah didera suatu rasa keterasingan (alienasi) dari pelayanan publik dan perasaan 'terasing' sebagai tuan di rumah sendiri. Perasaan keterasingan selalu dan pasti menciptakan oase pelarian.
Kalangan muda yang terjun menjadi entrepreneur kini sudah banyak yang tidak percaya lagi menaruh nasib mereka pada program-program pemerintah. Mereka sudah mengecap pahit manisnya mengurus sebuah proses perizinan usaha yang sangat berbelit-belit. Artinya, panggilan pemerintah yang ideal adalah sebagai pelayan publik dan administratif. Biarlah rakyat yang jatuh bangun mencari sesuap nasi asal mereka diberi kemudahan untuk berusaha, sejauh mereka terjun di bidang usaha legal.
Di saat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun, akan kembali hadir sebuah rezim yang otoriter dengan legitimasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Kembalinya rezim ini sangat mungkin disebabkan oleh keinginan rakyat sendiri yang tidak tahan lagi dan muak dengan politik yang tanpa arah dan instabilitas sosial yang berkepanjangan, disertai krisis ekonomi yang berlarut-larut.
Prediksi lain, kemiskinan selalu melahirkan sebuah pelarian. Orang Negro dulu di Amerika, tulis J Inocencio Menezes (1985), menciptakan jazz untuk membebaskan diri dari rasa cemas perbudakan. Para budak yang putus asa itu menemukan irama dari lagu-lagu tertentu yang dapat menjawab kebutuhan iman mereka. Untuk konteks Indonesia, pelarian paling mudah adalah memilih jalan primordial untuk mencari rasa aman dalam suku, kelompok, etnis, kelompok agama, atau sentimen kedaerahan sendiri, karena tidak ada kepercayaan lagi bahwa kehidupan dalam sektor publik dapat memberikan suatu jaminan bagi kepastian berdasarkan hukum.
Kembalinya rezim otoriter akan mengembalikan dan melestarikan kekerasan negera terhadap masyarakat. Sedangkan kembalinya primordialisme akan menghidupkan kekerasan komunal, yang akan mengancam negara dan menghancurkan civil society sekaligus. Kedua-duanya amat fatal, seperti kini terjadi di Thailand maupun Irak. Saat ini pemerintah SBY-JK terus diterpa tantangan, namun mata baja mereka harus menunjukkan bahwa mereka tetap teguh menjadi khalifah Allah di muka bumi. Kita percaya pemimpin negara adalah pilihan Tuhan. Tak salah, kita sebagai rakyat terus berdoa sembari berharap pemerintah kita menetapkan demokrasi sebagai pilihan tunggal memajukan Indonesia. (Beny Uleander/KPO EDISI 122)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :