Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Dicari Juru Damai

Kata adalah senjata. Bagi seorang sastrawan, penulis dan jurnalis ungkapan ini sangat tepat. Kata-kata memiliki kekuatan, jiwa, roh dan daya sapa yang dahsyat terhadap pembaca dan pendengar. Bahkan kata yang dihayati penuh penjiwaan bisa membawa revolusi; perubahan; gerakan massa sekaligus membuat musuh blingsatan. Masih segar dalam ingatan kita, penyair Wiji Thukul mempopulerkan satu kata: LAWAN. Pada tahun 1995-1998, kata LAWAN yang dihidupkan Wiji Thukul menginspirasi kalangan muda untuk bersatu langkah dan tekad melawan rezim Orde Baru. Hasilnya luar biasa, Soeharto yang memiliki kekuasaan yang sangat ditakuti itu akhirnya turun tahta. Sayang beribu sayang, sang penyair Wiji Thukul bagaikan hilang ditelan bumi. Kini banyak pihak meyakini Wiji Thukul bersama kalangan aktivis yang diculik pada era reformasi itu sudah dibunuh secara diam-diam.
Kekuatan kata-kata juga mengilhami Hrant Dink (53) wartawan Turki keturunan Armenia. Berbagai tulisan dan artikelnya mengungkap pembantaian etnis Armenia oleh pemerintahan Ottoman dalam perang dunia I. Ia memperjuangkan penerimaan etnis Armenia sebagai bagian dari bangsa Turki. Berkat kegigihannya untuk membuka kesadaran bangsanya soal persamaan derajat, hak dan kedudukan sebagai warga negara, menyebabkan Hrant Dink sangat dibenci golongan nasionalis. Hari Jumat (19/1/2006), sebuah senjata menyalak dan tubuh Hrant Dink pun rebah di pintu masuk kantor redaksi mingguan Agos. Kematiannya yang tragis menggerakkan banyak kaum moderat Turki untuk melanjutkan jejak perjuangan Hrant Dink: hidup berdampingan tanpa kecurigaan, iri dan benci di antara berbagai etnis.
Wiji Thukul dan Hrant Dink telah tiada. Kita mewarisi suatu peninggalan peradaban yang abadi: kata adalah senjata. Aspek ini banyak dilupakan generasi muda saat ini yang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton tayangan televisi (TV) daripada melumat-lumat lembaran halaman buku. Kekuatan kata-kata yang tersimpan dalam buku sebagai ilmu pengetahuan diganti dengan sihir kata-kata iklan yang membujuk, merayu dan mengeksploitasi selera konsumen.
Jauh sebelum televisi lahir, masyarakat pedesaan di berbagai daerah Indonesia hidup dalam dunia tutur. Pada malam hari bila ada acara tertentu mereka berkumpul bersama seraya mendengarkan pantun atau berbalas sajak. Mereka memiliki kehalusan budi yang tertuang dalam sajak-sajak yang dibahasakan secara halus, menyentuh dan menggugah rasa. Banyak sajak, pantun tradisional kini sudah terhapus dari memori kolektif warga desa. Memang kemajuan selalu berarti ada perubahan. Kini kita jarang mendengar lagi syair dan pantun tradisional yang indah. Bahkan dunia perpuisian pun sudah banyak ditinggalkan anak muda. Ada yang menganggap puisi adalah ungkapan jiwa yang amat sentimental, lahir dari jiwa yang berduka atau tengah dilanda kesedihan. Sutan Takdir Alisjahbana sempat mengangkat sebuah pemeo bahwa semakin dalam kesedihan seseorang akan semakin indah pula kata-kata puisinya. Sungguh sayang bila puisi tetap dianggap milik orang yang sakit jiwa.
Kata-kata yang halus, penuh rasa, dan sentuhan kemanusiaan pasti kata-kata yang lahir dari jiwa yang dewasa, agung dan tinggi budi pekertinya. Kata-kata yang halus ini dalam dunia pers tidak lain adalah pilihan dan kesadaran untuk mengembangkan paradigma jurnalisme damai. Apalagi di tengah konflik horizontal yang terus mengoyak kedamaian di negeri ini, tugas pers sebagai juru damai semakin penting.
Salah satu strategi pers untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat soal arti toleransi, jihad, dan persaudaraan adalah mengeksplorasi pendapat tokoh mayoritas (mainstream) yang memahami betul wujud penghayatan agama yang tepat. Sebab di Indonesia berbagai konflik sosial politik, budaya dan ekonomi selalu berakhir dengan konflik agama. Saling bunuh membunuh seakan menjadi hal yang lumrah. Perilaku ini ditayangkan rutin di televisi. Akhirnya banyak generasi muda yang melihat penyelesaian masalah ada di ujung bedil dan bayonet.
Padahal leluhur bangsa ini yang umumnya masyarakat agraris memiliki jiwa yang halus, agung dan mulia. Biar bagaimanapun, krisis dan konflik horizontal atas nama agama harus dihentikan dari bumi pertiwi. Rakyat ini sudah banyak menderita kerugian material dan immaterial. Dan, kita juga bukan berasal dari leluhur yang berbudi barbar. Tidak. Dalam hal seni budaya, kita berani bersanding dengan negeri lain. Lihat berbagai peninggalan sejarah seperti Borobudur atau kehidupan kesenian di Bali yang tidak dimiliki negara lain. Inilah kekuatan bangsa kita. Jangan lagi gara-gara penyebaran kata-kata yang menyesatkan sesama bangsa ini saling membunuh. Kedamaian datang dari Tuhan, sedangkan buah kerja setan adalah fitnah, dengki dan saling curiga.
Sekali lagi kata adalah senjata. Penyebaran kata-kata rasis dan anti golongan tertentu harus juga dilawan dengan kata-kata yang menggulirkan damai, jauh dari provokasi dan penafsiran sepihak. Tugas utama sebagai juru damai ada di pundak pers. Kata sebagai senjata memang telah menjadi falsafah yang menginspirasi banyak jurnalis untuk produktif dalam menulis dan melaporkan berbagai hal yang diamati di lapangan. Selain pers, panggilan untuk menebar damai ada di mulut para pemuka agama. Kata-kata mereka kerap menjadi inspirasi bagi umat. Apalagi ciri masyarakat kita adalah masyarakat pendengar. Juga, menjadi tugas generasi muda untuk terus menebar damai dalam pergaulan dan memegang teguh kodrat Republik ini: many colour; kaya akan suku, agama dan ras. (Beny Uleander/KPO EDISI 121)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :