Selasa, Mei 27, 2008

Beny Uleander

Lumbung Padi Dunia

James Simpson, penemu Chloroform, ketika ditanya apakah penemuan terbesarnya? Ia memberikan jawaban yang mengguncang kepongahan manusia. “Penemuan terbesar yang pernah kubuat adalah bahwa aku adalah orang berdosa yang tersesat,” ujarnya mantap. Secuil kisah pengakuan Simpson memberikan gambaran faktual bahwa manusia adalah pribadi-pribadi yang menghidupi tiang-tiang peradaban. Kerapuhan, kebodohan dan kesombonganlah yang membuat manusia jauh tersesat dari rahasia kekayaan alam.

Kemampuan manusia mengekplorasi alam dan tatanan sosial tidak lahir dari kipasan mimpi, tapi dari pencarian nilai-nilai abadi. Tentu saja, rasa rindu imanen tertanam rapi dalam lubuk jiwa. Ya rindu akan perdamaian abadi, kesejahteraan dan kerukunan hidup membuat kita tetap bertahan sebagai satu bangsa dan negara. Meski hidup makin sulit, tapi optimisme bahwa kesejahteraan itu benar-benar ada di muka bumi ini. Kemakmuran bukanlah ideologi “pepesan kosong”.

Dalam ranah kegelisahan melihat situasi sosial politik Indonesia, kita dapat mengambil sketsa tubuh sebagai penjara jiwa versi Plato. Komponen tubuh merujuk pada kebijakan politik artifisial yang mengikat dan mengatur kehidupan rakyat. Sedangkan “ruang jiwa” berisi daya hidup dan daya cita pendirian bangsa ini yaitu: masyarakat adil makmur dan terciptanya perdamaian dunia.

Potret riil konstelasi politik saat ini mengingatkan kita bahwa sejarah tengah berulang. Ya, pemerintah dan elite politik tanpa kita sadari telah menjelma menjadi raja-raja feodal klasik. Rakyat jelata terus diberi beban membayar upeti yang terus meningkat. Tapi apa yang terjadi? Upeti itu bukan untuk meringankan biaya pendidikan, membantu pengobatan gratis atau memperbaiki fasilitas publik! Dana publik bergulir ke mana? Kenapa anak jalanan terus meningkat? Jiwa muda mereka laksana embun yang mongering di pagi hari tanpa merasakan kasih sayang. Kenapa gelandangan dan fakir miskin terlunta-lunta di pinggir jalan? Padahal kita punya departemen sosial? Dan, konstitusi kita –barisan tulisan ayat dan bab- mengatakan bahwa negaralah yang akan menjamin dan memelihara hidup mereka.

Rasa syukur dan bangga kembali terpatri saat kita melihat sederet anak bangsa dengan hati suci membuat berbagai gerakan pemberdayaan bagi kaum papa. Suatu pertanda bahwa di tengah bangsa yang bebal hatinya masih ada orang-orang yang mengaktualisir rindu rasa hati nan abadi.

Selama gairah menumpuk harta menjadi hawa kompetisi di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, maka semakin jauhlah bangsa ini dari peradaban modern. Di bidang ekonomi terasa sekali berbagai bantuan untuk orang miskin justru jatuh ke tangan orang kaya. Memang wajar bantuan “kembang gula” selalu direbut semut-semut yang rakus untuk ditimbun sebagai persiapan di musim hujan.

Hal yang menggelikan melanda dunia pendidikan kita. Saat musim ujian nasional tiba, siswa-siswa “bebas dari tekanan mental”. Sebaliknya para guru dan orangtua yang cemas dan bingung bagaimana meluluskan anak-anak mereka. Memang lucu kita menyaksikan sekarang sebuah ujian sekolah dikawal polisi. Lebih tragis lagi, ada guru dan kepala sekolah yang digiring ke kantor polisi karena membocorkan soal ujian.

Bangsa ini membutuhkan “sumber air” yang mengaliri sungai peradaban. Dan, sumber air itu adalah kemampuan untuk menerima perbedaan. Itulah sumber kecerdasan sejati yaitu menempatkan keragaman sebagai mosaik peradaban. Selama berbagai perbedaan pendapat, pandangan hidup, budaya dan suku dilihat sebagai ancaman, maka sendi-sendi kebangsaan yang kita bangun selama ini penuh guratan kepalsuan.

Itulah sebabnya kita berharap pemerintahan SBY-JK tidak tumpul hati. Bahwa bantuan tunai langsung kepada orang miskin adalah bantuan yang sia-sia. Kenaikan BBM otomatis harga barang dan jasa turut naik. Toh hidup makin sulit. Janganlah rakyat disiksa terus-menerus dengan upeti-upeti demi kelanggengan kursi kekuasaan. Padahal garong besar dan lintah darat di tubuh Pertamina dibiarkan saja menggelapkan distribusi BBM bersubsidi.

Bantuan Rp 100 ribu per bulan selama ini belum dievaluasi total. Lebih baik dana yang besar itu digunakan untuk membuka lembaga-lembaga kursus yang mengasah ketrampilan putra-putri Indonesia. Kelak di tanah rantau –entah di Malaysia atau Arab Saudi- mereka dihargai sebagai orang-orang yang “berilmu”. Para majikan pun segan untuk menyiksa atau memperkosanya karena ada rasa hormat. Jarang kita dengar ada tenaga kerja asal Filipina yang diperlakukan kurang ajar. Karena mereka rata-rata dikirim sebagai tenaga perawat atau dokter dengan kualifikasi pendidikan yang baik.

Kunci perbaikan DNA manusia Indonesia ada pada akar “peradaban Shindu”. Kita lahir dari satu rumpun, tentu saja kita memiliki konstruksi budaya yang satu dan sama. Inilah sebenarnya “ikatan tersembunyi” yang jarang dieksplorasi demi penyegaran kontrak sosial budaya kita sebagai satu bangsa. Memang dari luar dunia internasional terkagum-kagum. Bangsa yang besar dengan keanekaragaman budaya, suku dan agama selalu kompak mendukung tim kesayangan entah timnas sepak bola maupun tim merah putih Thomas & Uber Cup.

Perbaikan konstruksi budaya adalah agenda besar yang tidak bisa ditawar lagi. Tapi itu adalah syarat utama membuat mimpi kita menjadi kenyataan. Kita bermimpi menjadikan Indonesia sebagai LUMBUNG PANGAN DUNIA! Laut dan daratan kita memiliki potensi tersebut. Kita tinggal perlu kemauan dan kemampuan mengerahkan kerja keras dan kerja cerdas kita di semua lini --iptek, sosial, ekonomi dan politik. Semoga seperti James Simpson, elit politik, garong besar dan lintah darat di negeri ini sadar bahwa mereka telah tersesat. (Beny Uleander/KPOEDISI 152/MEI 2008)

Read More

Senin, Mei 12, 2008

Beny Uleander

Virus Kutukan Klasik

Peluang pasar dan kunci sukses. Itulah dua topik hangat bidang ekonomi yang kini tengah tren di kalangan tua dan muda. Banyak buku telah beredar yang berupaya mengupas tuntas dari berbagai sudut pandang tentang rahasia sukses, kiat-kiat bisnis dan meretas manajemen usaha yang sehat, kokoh, dan dinamis. Perusahaan-perusahaan papan atas hingga kelas “sandal jepit” mengirim calon-calon manajernya mengikuti seminar-seminar smart yang membahas konsep manajer dan kepemimpinan yang tangguh di era global.

Ternyata di dalam lalu lintas literatur dan seminar yang menggodok ilmu kesuksesan maupun seni menjual terdapat satu virus kutukan klasik. Apalagi kalau bukan “omelan” tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Di saat “peradaban marketing kapitalisme” membutuhkan tenaga kerja outsourching yang handal, lagi-lagi SDM Indonesia selalu kalah masuk bursa kerja internasional. Itulah sebabnya mengapa kini manufaktur raksasa dengan brand mashyur membangun offshoring –pembukaan pabrik-pabrik perwakilan sebuah produk— jarang melirik Indonesia. Sebaliknya produsen hanya membidik potensi pasar Indonesia sebagai lahan empuk perdagangan produk mereka. Selain pertumbuhan penduduk yang mencengangkan, mental dan budaya konsumsi orang Indonesia amat menggiurkan.

Bukan berarti manusia Indonesia bodoh dan pandir. Kita adalah cucu dari leluhur terhormat yang telah menghidupi peradaban gemilang masa lalu. Warisan nilai-nilai adat yang imanen (luhur, satria, suci, manusiawi) hingga artefak kebudayaan amat mengagumkan. Dan, ada segelintir anak-anak genius dari rahim bumi pertiwi yang tersebar di berbagai kolong langit dengan keahlian di bidang tertentu. Sungguh sayang rezim yang berkuasa tidak memiliki komitmen merekrut ataupun mengundang mereka berbagai ilmu di kampung halamannya. Mereka lebih merasa nyaman dan cocok mengeksplorasi bakat dan talentanya di negeri orang. Itu berarti ada peluang bagi generasi mendatang menjadi angkatan pembaharuan yang superhebat bagi Republik ini. Asalkan, atribut-atribut pendidikan yang sudah kedaluwarsa dicopot dari kurikulum maupun “mainstream” pendidikan nasional.

Tiang-tiang pendidikan formal di negeri ini kerap dituding turut memperkeruh kompetisi kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi maupun daya saing kita terpuruk di kancah internasional. Pola-pola pengajaran sekolah yang “mencuci otak” siswa untuk melihat dunia selebar ruang kelas sudah saatnya tinggalkan. Padahal anak bisa menimba hikmah kehidupan dari realitas alam yang terberi. Demikian pula jurus-jurus menghafal teori dan kunci-kunci jawaban soal ujian nasional harus dilihat sebagai tragedi kecelakaan intelektualitas. Ruang kecerdasan dan kemandirian dalam berpikir untuk memecahkan sebuah persoalan telah hilang dari ‘sel-sel otak’ anak didik. Sebab sejak pendidikan dasar daya nalar siswa telah dibekukan dengan kebiasaan menghafal rumus-rumus mati. Kesuksesan pendidikan dikerdilkan dengan glamoritas gelar akademik ketimbang kehebatan otak kanan dan kiri membedah persoalan hidup, menata kepribadian dan merumuskan masa depan diri.

Harapan akan perubahan arah hidup bangsa ini tidak dimulai dengan melontarkan kutukan demi kutukan kepada generasi tua dari Orde Lama hingga Reformasi. Setiap generasi ditakdirkan oleh hukum sejarah untuk menulis kisahnya sendiri. Itulah hukum perubahan (the law of change) yang tidak dapat dibantah. Dan, skenario membantah maupun menolak perubahan adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Tentunya kita berubah menjadi makin terbelakang atau makin progresif. Amatlah tepat bila generasi tua untuk belajar kembali kepada generasi muda yang dinamis. Atau sekurang-kurangnya, salah satu kunci berubah menuju istana kesuksesan adalah belajar memikirkan masa depan. Bukanlah saatnya lagi generasi tua mendikte generasi muda. Zaman telah berubah, termasuk di panggung perpolitikan nasional. Calon-calon pemimpin tua yang direstui DPP yang dihuni kalangan tua kalah telak dalam pemilihan langsung gubernur maupun bupati/walikota di beberapa daerah.

Pada tepian fakta lain, calon-calon manajer yang sukses adalah kalangan yang selalu merasa gelisah akan kemapanan status sosial dan ekonomi. Sehingga gairah dan nafsu belajar merupakan menu harian. Entah belajar menciptakan sesuatu yang baru ataupun belar dari jalan-jalan sukses perusahaan tertentu. Pemimpin harus bisa menciptakan sesuatu yang baru di jaman yang baru dan dengan semangat yang baru (the law of cause and effect).

Akhirnya kita berharap tokoh-tokoh pemimpin maupun manajer muda tidak terperosok dalam ketidakfokusan generasi sebelumnya (the law of justice). Dan, para pemimpin tua entah di organisasi swasta maupun birokrasi tak ada salahnya untuk terus memimpin asalkan memiliki semangat muda dan peka membaca perubahan zaman. Tantangan dan cobaan hanya bisa dilalui oleh perusahaan maupun negara yang cermat mengantisipasi perubahan itu sendiri. Musuh hanya bisa dikalahkan dengan belajar mengenal seluk beluk kelemahannya. Sudahkah kita mengindentifikasi “musuh-musuh sosial” yang bersemayam di dalam diri, organisasi, institusi, masyarakat dan negara? Saatnya kita depak virus klasik: lari dari tugas dan tantangan hanya karena tidak mau belajar dan merasa sudah pandai. (Beny Uleander/KPO EDISI 151/MEI 2008)

Read More