Senin, Juni 30, 2008

Beny Uleander

Bandit Kapitalis

Kesejahteraan tidak selalu dipungut dari perut bumi. Kesejahteraan juga bukan hujan yang meluncur turun dari langit. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan berkelana ke setiap jengkal benua baru. Segala hasil alam yang ada di perut bumi dilihat sebagai sumber-sumber kesejahteraan baru.
Namun catatan sejarah membagi pengalaman berharga. Bukan perkara gampang memungut bulir-bulir kesejahteraan. Perebutan kekayaan alam antar bangsa melahirkan penjajahan dan perang. Itulah awal kesadaran setiap komunitas membangun pertahanan diri. Sebuah visi baru bahwa kehidupan adalah hak setiap manusia. Demikian pula kekayaan alam adalah anugerah bukan kutukan. Dalam perspektif yang lugas, pengkhiatan terhadap ruang-ruang kehidupan dan kemanusiaan adalah awal kemiskinan.
Gairah mengumpulkan hasil-hasil alam akan berbeda di tangan kapitalis maupun humanis. Penyembah kapitalis terpesona penuh takjub melihat sumber-sumber kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Di mata batin kaum humanis, alam dan segala isinya adalah anugerah kehidupan. Alam adalah bentangan ladang kesejahteraan.
Mosaik kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan sudah bergulir sejak era kekaisaran klasik hingga kepresidenan konstitusional modern. Siapakah yang menyalakan lentera kemiskinan di muka bumi ini? Mengapa kemiskinan yang diperangi setiap zaman selalu tampil lagi dengan potret yang lebih memilukan hati? Kemiskinan selalu terlahir di tengah komunitas yang sebagian warganya melihat kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Rona kemelaratan adalah buah sejati dari upaya sistematis dan strategis mengusir yang kecil tak berdaya menikmati kekayaan alam.
Di medan perang, prajurit-prajurit kapitalis adalah serdadu barbar yang menyebar virus-virus kematian. Mereka menertawakan Republik Ide yang dibangun Plato sebagai khayalan akan hadirnya surga dunia. Bagi mereka, De Civitate Dei yang dirindukan filsuf Agustinus pada abad ke-5 adalah tiran baru anti kedai anggur dan rumah bordir. Itu berarti, tak ada kesempatan buat merayu, tak ada tempat pertemuan rahasia yang selama ini dinikmati penyembah kapitalis.
Mereka juga mengejek kisah perjalanan Raphael Hythlodaeus, satu dari 24 orang yang dibawa sang penjelajah termashur, Amerigo Verpucci, dalam perjalanan dan ditinggal di Cabo Frio, Brazil. Bagi dedengkot kapitalis, penemuan pulau utopia oleh Raphael Hythlodaeus -tokoh rekaan- Sir Thomas More pada tahun 1515 itu tak lebih dari ungkapan frustrasi “orang-orang saleh”.
Kehidupan adalah sebuah petualangan sekaligus pertarungan. Memang benar adanya. Petualangan untuk mencari dan mengusahakan merekahnya keadilan, kebaikan dan keluhuran dari rahim bumi. Bukanlah hal yang mustahil untuk terwujud selama kita percaya pada pengembangan dan penemuan terdalam kemanusiaan itu sendiri. Hanya pribadi-pribadi yang sudah mencapai “pencerahan humanis” yang berani tampil sebagai pemimpin yang menghancurkan benteng-benteng kapitalis. Hak-hak rakyat harus dilindungi di tengah pasar bebas yang sangat menguntungkan para tengkulak. Negara dan pemerintah belum berani melakukan intervensi terbatas kebijakan harga sembako dan produk pertanian yang selama ini tidak bersahabat dengan rakyat kebanyakan. Tapi apa yang mau dikata, negeri ini masih dipadati pemimpin-pemimpin karbitan yang dibesarkan kampanye media massa dan iklan.
Bisakah kesejahteraan bersemi di negeri kita? Bila ditanya dari mana datangnya kesejahteraan, maka jawaban historis amat panjang mengurai debat ideologi. Setiap ideologi pembangunan berlomba-lomba menawarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Yang pasti, jalan menuju kesejahteraan akan dipandu oleh pemimpin yang melihat kekayaan alam sebagai rahmat bukan kutukan. Hatinya sakit dan menderita melihat rakyat agraris hidup miskin di tanah pertanian.
Tak ada salahnya di tengah pertarungan iklan calon pemimpin bangsa jelang pilpres 2009, kita terus berdoa lahir tokoh pemimpin yang mendesain sketsa besar tapi membumi bagaimana dengan cara-cara singkat membuat rakyat di pedesaan sejahtera.
Karena itu, seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang terus-menerus menerapkan ideologi kesejahteraan yang diyakini membawa kemaslahatan bagi bangsa.
Ideologi bukan sekedar kumpulan ide atau gagasan yang dipahami Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 sebagai "sains tentang ide". Ideologi adalah perbuatan yang membangkitkan rasa percaya rakyat. Sehingga rakyat pun terdorong untuk bekerja lebih keras. Karena rakyat tahu buah hasil kerja keras mereka akan mendatangkan peningkatan pendapatan.
Saat ini, rakyat terus diteror dengan kanaikan-kenaikan harga. Pelaku pasar bebas dengan santai berujar pada akhirnya rakyat akan menyesuaikan daya belinya. Wahhh…kasihan, rakyat miskin-papa-hina-dina-lemah- dibantai serdadu-serdadu kapitalis yang berpikir Jakarta adalah Indonesia. Mereka tak peduli menajamkan ideologi dan visi bagaimana 70 persen uang yang beredar di ibukota negara itu terdistribusi juga ke daerah-daerah. Bangsa kaya raya, tapi pemimpinnya idiot ataukah bandit-bandit kapitalis baru? Sejarah yang akan bercerita lagi kepada anak cucu kita, siapa itu pemimpin sejati di negeri ini. (KPO EDISI 155)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :