Minggu, Juni 27, 2004

Beny Uleander

Dulu Kernet Bemo, Kini Pengusaha Sukses

Zaenal Thayeb
Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan selain terkenal sebagai pelaut ulung, juga perantau yang gigih. Banyak perantau asal Bugis menjadi orang terkenal dan sukses. Salah satu contoh, Zaenal Thayeb yang meniti hidupnya di tanah rantau mulai dari nol sampai menjadi pengusaha sukses di Bali. Kunci kesuksesan laki-laki yang kini banyak bergerak di bidang jasa terletak pada etos kerja dan semangat pantang menyerah.
Pria kelahiran Polewani Mamasa (Polmas) Sulsel, 25 April 1957, sejak kecil terbiasa dengan bekerja keras baik di pasar atau toko orang tuanya. Selain rajin, Thayeb yang beranjak dewasa dikenal sebagai anak yang nakal. Di bangku SD, justru menjadi murid paling nakal bahkan kian memuncak ketika duduk di bangku SMP. Ia merantau ke Balikpapan tahun 1970 dan bekerja serabutan mulai dari kernet bemo, kuli pasar sampai penjual baju.
Dengan tangan hampa, Thayeb merantau lagi ke Samarinda dengan modal nekat, ia jalan kaki selama dua hari, dua malam menyusuri hutan dan akhirnya menemukan pabrik kayu di pedalaman Samarinda. Di pabrik kayu milik orang Malaysia, Thayeb bekerja sebagai penjaga bolduser dan penarik kayu selama 1 tahun.
Thayeb sempat menjadi tukang pipa di perusahaan minyak. Lagi-lagi merasa tidak berhasil, dengan uang pas-pasan Thayeb kembali ke kampung halaman. Masih di tahun yang sama, Thayeb memilih berangkat ke Bali. Kebetulan salah satu kakaknya sudah duluan berada di Bali. Dalam waktu yang tidak lama Thayeb mulai dikenal di sepanjang pantai Kuta, sebagai penjaja souvenir. Mulai dari perhiasan silver, kain pantai dan apa saja sesuai dengan pesanan turis. Setelah terkumpul modal cukup, Thayeb mulai membuka toko kecil khusus souvenir silver di Jl Raya Pantai Kuta.
Antara 1972-1973 di Bali, peluang usaha terbuka lebar asalkan ada kemauan dan kerja keras. Bertambah tahun, usaha Thayeb mulai mengalami peningkatan. Bermodal sebuah sepeda motor tua dan Jeep tahun 1953, Thayeb mengambil barang sendiri di Celuk, Gianyar dan menjualnya di Kuta dengan untung lumayan. Thayeb mulai mengumpulkan sekitar 100 anak muda agar menjadi pedagang acung. Mereka mampu menjual ribuan cincin atau barang silver ke turis.
Pemilik Villa Lumbung dan Villa Ombak di Gili Trawangan Lombok seperti menjadi saksi hidup perkembangan Bali. Tahun 1978, keadaan Bali masih sangat memprihatinkan. Jalan By Pass Sanur masih ditimbun tanah, jalan di Kuta masih dalam kondisi aslinya dan terpisah dari Legian.
Dengan modal Rp 30 juta, Thayeb membuka toko silver yang lebih besar dan pekerjakan 2 orang pengrajin perak. Dalam waktu yang relatif singkat disertai keuletan, keinginan untuk maju, dan didukung pengalaman keliling dunia sebagai pelaut serta bakat seninya yang kental, Thayeb mampu menghasilkan produk kerajinan perak dengan corak dan desain yang khas. Mulai 1980-an usaha silvernya diburu konsumen dari Jerman, Prancis, Italia, Amerika, beberapa negara Asia dan Australia. Akhirnya, Thayeb mulai dikenal di kalangan pengusaha sebagai pedagang cinderamata.
Kini, Thayeb menggalang sistem kemitraan dengan 74 pengrajin di Singapadu, Gianyar dan di luar Bali (Pandakan, Bangil, Gempol, Pacitan, Porong (Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) dan Sukabumi (Jawa Barat) sebagai pengrajin batu aji, dengan total pengrajin 200 pengrajin atau 1000 orang. Thayeb juga pernah menerima penghargaan Upakarti dari mantan Presiden Soeharto pada tahun 1989, sebagai perintis pengembang industri. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :