Jumat, Juni 04, 2004

Beny Uleander

H Matra'i, Penjaja Tahu Jadi Pengusaha Artshop

Kesuksesan hanya datang bagi orang yang mau berjuang. Tak terbayangkan oleh H Matra’i, kelahiran Sumenep, Madura tahun 1943, dirinya bakal terjun di dunia usaha industri kerajinan tangan. Awalnya, ia cuma seorang penjual kacang tanah dan penjaja tahu keliling di kota Denpasar. Saat ini, usaha yang digelutinya sejak tahun 1986 sudah menyerap 30-an tenaga kerja asal Jawa, Lombok dan Bali.
Matra’i pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Dewata pada 1963, mengikuti saudaranya yang menjadi tentara di Kodam IX/Udayana. Ia pun sempat bekerja sebagai tenaga administrasi di lingkungan Kodam selama 14 tahun dan berhenti pada 1976 karena desakan keluarga untuk kembali ke Madura. Di kampung halamannya, Matrai tak bertahan lama karena tidak betah. Pada tahun yang sama, ia memutuskan kembali ke Bali.
Tanpa pekerjaan tetap di Bali, Matra’i harus menghidupi isteri dan kelima anaknya. Disadarinya, hidup ini keras. Kalau mau hidup lebih baik, seseorang harus memulainya dengan usaha dan kerja keras. Keyakinan ini menjadi inspirasi yang kuat baginya untuk membuka usaha sendiri. Usaha awalnya adalah berjualan kacang tanah dengan rombong atau gerobak dibantu beberapa orang. Ada suka duka yang dialaminya. Ada buruh yang malas atau merasa tak cocok lalu pergi tanpa pamit dengan membiarkan rombong begitu saja di suatu tempat. Lantas Matra’i beralih ke usaha pembuatan tahu. “Saya tidak bekerja sendiri, tetapi meminta bantuan orang lain. Saya hanya sebagai penggerak dan otaknya,” akunya polos.
Usahanya ini tidak berjalan lancar. Ia dan keluarganya harus melalui masa-masa sulit. Kelima puterinya terdidik dengan sendirinya untuk belajar hidup mandiri dan sederhana. “Mereka terbiasa kerja keras sejak kecil, seperti berjualan es di sekolah. Anak ketiga sampai membawa enam termos es dalam sehari,” kenangnya. Suatu ketika ia memutuskan untuk pulang saja ke Madura. Rencana tersebut batal tatkala ia bertemu dengan seorang guru asal Lombok yang mengajaknya berbisnis barang kerajinan tangan. Ia bingung, soalnya saat itu uang yang tersisa di sakunya cuma Rp 600 ribu.
Bermodal nekat, Matra’i menerima tawaran temannya. Ia langsung berangkat ke Beleke di Lombok Tengah, yang merupakan pusat kerajinan rumah tangga. Ia membeli beberapa produk yang terbuat dari rotan dan ketak seperti keranjang kecil (basket). Produk tersebut, kata Matra’i ternyata cukup laris dijual di kalangan turis, yang gemar mengoleksi barang-barang souvenir.
Melihat pangsa pasar yang terbuka lebar ini, Matra’i pun merasa pasti inilah usaha yang harus dikembangkannya dengan serius. Ia mulai belajar seluk-beluk industri kerajinan tangan ini mulai cara pembuatannya, soal pemasaran, produk-produk unggulan yang laris di pasar dan sesuai selera pasar.
Ada konsumen dan langganan dari luar negeri, terutama Perancis yang memberikan motif baru. Selain itu, kami juga mulai buat motif baru berdasarkan pengalaman, seperti lampu hias dan tempat alas makan,” ujarnya.
Pertama kali, ia menjual hasil kerajinan dengan mengendarai pick-up terbuka di Pasar Ubud, Sukawati dan Legian. Perlahan ia mulai mengontrak sebuah tempat di daerah Legian dan mendirikan artshop yang diberi nama Matra’i Artshop. Diakuinya, dunia artshop saat itu belum seramai sekarang. “Baru tiga orang yang bergerak di bidang ini. Saya salah satunya,” ungkapnya. Ternyata, usahanya ini terus berkembang pesat. Ia mulai membuka cabang-cabang baru yang diserahkan kepada kelima anaknya untuk mengelolanya.
Dari usahanya ini, Matra’i mampu menyekolahkan anaknya dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Ia mengarahkan anak-anaknya untuk mengelola artshop secara lebih profesional. Saat ini, tiga orang anaknya sudah mempunyai usaha artshop sendiri. Ia juga mendorong para karyawannya untuk membangun hidup mandiri. Karena itu, ia menganjurkan mereka untuk rajin menabung agar kelak bisa membuka usaha sendiri. Jika tetap menjadi buruh, ia tidak akan berhasil hidup mandiri. Uang yang ada ditabung. (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :