Selasa, Juni 29, 2004

Beny Uleander

Ubud, Kota Urban Yang Minim Konflik

Berbicara mengenai urbanisasi, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan kecamatan terbanyak yang ‘diserbu’ kaum urban setelah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Namun persoalan urban bagi kecamatan yang memiliki tujuh desa dan satu keluran ini bukan menjadi momok yang memberatkan. Bahkan dianggap sesuatu yang cukup positif. Bahkan, kecamatan Ubud ini menjadi pemasok PAD terbesar bagi Kabupaten Gianyar.
Tercapainya Ubud sebagai Kota Urban yang minim konflik tidak terlepas dari penanganan penataan penduduk yang baik dan terorganisir. Hal itu diakui oleh Camat Ubud, Made Budiartha. Menurut Budi, demikian ia biasa di sapa, Kecamatan Ubud yang memiliki penduduk 59581 jiwa dengan jumlah pendatang 1723 orang diakui cukup riskan terjadi konflik.
Hanya saja, semua lapisan masyarakat Ubud baik itu lembaga pemerintahan, bendesa adat, maupun masyarakat telah berkomitmen untuk bersama-sama hidup tertib administrasi. ‘’Siapapun warga atau orang asing yang datang dan berkeingian untuk tinggal baik itu dalam jangka waktu yang pandek atau lama wajib melapor kepada petugas desa. Sehingga siap-siapa saja yang datang dapat diketahui dengan jelas,’’ katanya.
Seiring pertumbuhan kaum urban yang cukup tinggi, otomatis pembangunan tempat tinggal sementara atau rumah kost tumbuh pesat di Ubud. Sementara pemilik kost diwajibkan untuk mendaftarkan atau melaporkan anak kostnya kepada petugas desa. ‘’Jujur saja, yang dikhawatirkan adalah orang yang datang tanpa identitas dan maksud yang jelas. Kalau pihak pemilik kost tidak selektif di dalam menerima yang mau menempati kamar sangat berbahaya,’’ jelasnya.
Menyangkut mekanisme pemberolehan identitas, Budi menjelaskan tidak ubahnya seperti sistem yang diterapkan oleh kabupaten lainnya. Ubudpun menerapkan sistem Kippem (kartu identitas penduduk pendatang). Kippem ini berlaku selama tiga bulan dengan biaya admistrasi sebesar Rp 50 ribu. Pendatang baru berhak mendapatkan KTP setelah dua kali perpanjangan Kippem secara berturut-turut.
Laporan kependudukan periode April 2004, Kecamatan Ubud telah mengeluarkan 1018 Kippem dan enam KTP. Sementara jika dilihat dari banyaknya penduduk pendatang, Desa Peliatan menjadi destinasi kaum urban terbanyak. Sekitar 346 orang disusul Desa Potulu 310 orang dan Kedawatah 299 orang. Sementara Desa Mas 212 orang, Ubud 181 orang, Lodtunduh 169, Sayan 116, dan Singakarta 90 pendatang. Banyaknya jumlah kaum urban inilah yang mendorong Kecamatan Ubud untuk terus melakukan perubahan dan pembenahan di bidang kependudukan.
Bos Yang Atur Kippem
Soal kepengurusan Kippem, bagi Jumanto pria asal Jember yang bekerja sebagai pengrajin kursi kayu di Kecamatan Ubud, Gianyar bukan menjadi masalah. Pasalnya, semenjak ia diterima sebagai tenaga kerja seminggu kemudian ia telah menerima Kippem dari sang bos. ‘’Semua sudah diatur dan diurus bos. Kita tinggal bekerja saja,’’ kata bapak satu orang anak ini.
Mencari sesuap nasi. Begitulah jawaban klise Jumanto ketika ditanya mengapa ia datang ke Ubud. Dua tahun lalu, berbekal keahliannya membuat kursi kayu hias, Jumanto menginjakkan kakinya ke Ubud. Ketika itu, ia sama sekali tidak mengetahui seluk beluk Ubud. Bahkan, ia dengan tegas mengatakan ia hanya bergantung kepada teman yang membawanya ke Ubud.’’Saya dibawa oleh tetangga satu kampung yang kebetulan bekerja di sini,’’ jelasnya.
Ternyata, Jumanto mengaku sedikit terkejut ketika tahu ternyata di tempat ia bekerja banyak juga penduduk pendatang yang bukan asli orang Ubud bahkan bukan orang Bali. Hampir 90 persen adalah penduduk pendatang. Hal itu membuat Jumanto sedikit lega, karana banyak dari teman-teman dari satu daerahnya. Kita di sini, lanjut Jumanto, tinggal bersama-sama dalam satu tempat tinggal. Dan soal pengurusan Kippem atau identitas lain tidak masalah, soalnya semua ditangani oleh bos.
Karyawan Kaum Urban Menguntungkan
Memiliki karyawan yang berasal dari luar Bali ternyata bukan menjadi masalah bagi para pengusaha. Meski saat hari raya keagamaan, banyak penduduk pendatang yang kembali ke kampung halamannya untuk merayakannya bersama keluarga masing-masing. Seperti, menjelang hari raya Idul Fitri, kaum urban berbondong-bondong mudik meninggalkan Bali.
Namun hal tersebut tidak membuat Herman, pengusaha toko kain penyedia bahan baku garmen di Denpasar kelimpungan mencari tenaga bantuan. Ia juga tidak merasa dirugikan oleh para karyawannya. ‘’Kejadian seperti itu sudah menjadi hal yang lumrah setiap tahun, sehingga dari jauh-jauh hari saya sudah memperhitungkan pengiriman pesanan kepada langganan saya. Kalaupun tidak bisa, mungkin akan kami kirim setelah hari raya. Lagipula garmen yang menjadi langganan saya juga menetapkan hari itu sebagai hari libur,” terangnya.
Malah ia mengaku, lebih untung memiliki tenaga kerja seorang pendatang dari pada penduduk asli. Dari pengalaman yang dimilikinya, penduduk asli Bali yang dominan beragama Hindu lebih banyak mengambil cuti mengingat banyaknya hari raya umat Hindu di Bali. ‘’Anak-anak jarang pulang, paling setahun sekali, atau kalau ada keperluan mendadak saja. Sementara karyawan asli Bali kendalanya banyak sekali, terutama terbentur dengan masalah upacara. Saya juga tidak tahu apakah ia benar-benar mengikuti upacara agama atau tidak. Kalau dari tingkat kerajinan saya rasa sama saja,” ujar pria asal Malang, yang sudah 20 tahun hidup di Bali.
Namun, untuk menghindari terjadinya cuti yang berlebihan sehingga menimbulkan kecemburuan bagi keryawan lain, Hendra menerapkan sistem bonus dalam penggajian. ‘’Besarnya penghasilan yang diperoleh tergantung dengan diri mereka sendiri. Kalau kerjanya rajin, ya bonusnya gede, sehingga mereka jadi bergantung sama dirinya sendiri, dan akhirnya mereka akan rajin masuk kerja,” ungkapnya.
Erwin Siregar, SH: Penertiban Penduduk Itu Penting
Persoalan kaum urban di Bali menjadi wacana yang tidak habis-habisnya dibahas. Sederetan awig-awig telah disepakati para pejuru adat guna meminimalisir datangnya kaum urban. Persoalan tidak berhenti di situ, timbul berbagai sikap pro dan kontra. Sementara kaum urban sendiri berupaya mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia.
Pengacara Erwin Siregar, SH mengupas fenomena kaum urban ini dari segi hukum. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk datang dan tinggal di Bali. Bahkan ada hal mendasar yang harus diketahui bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum. ‘’Harus diingat undang-undang yang berlaku tidak hanya itu. Ada undang-undang otonomi daerah yang harus juga diperhatikan,’’ ujar Erwin.
Adanya otonomi daerah inilah yang sebenarnya menjadi hal yang dilematis. Satu sisi dikatakan bahwa setiap orang Indonesia berhak datang dan tinggal di daerah tertentu, namun di sisi lain ada undang-undang otonomi daerah yang sepertinya menciptakan ajang pengkotak-kotakan. Sebenarnya, lanjut Erwin, antara kedua jenis UU ada keterkaitan yang erat. Artinya, setiap orang Indonesia berhak untuk datang dan mendiami daerah tertentu di Indonesia. Namun, harus diingat untuk tinggal setiap orang juga harus mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh daerah tersebut. Contohnya saja Bali. Guna meminimalisasi dampak negatif adanya kaum urban ini, Bali telah melakukan proteksi lewat awig-awig yang disepakati oleh elemen masyarakat baik itu para penjuru adat, pemerintah maupun masyarakat. ‘’Nah, mau tidak mau para pendatang wajib mengikuti semua aturan yang ada. Terutama soal kelengkapan admistrasi,’’jelasnya.
Menurut Erwin, kalau setiap pendatang datang ke Bali dengan tujuan yang jelas dan memiliki keahlian sangat mustahil tidak diterima di Bali. Namun memang terkadang, mekanisme aturan yang benar tentang proses penataan dan penertiban penduduk tidak diterima dengan baik oleh petugas di lapangan sehingga menimbulkan tindakan arogansi. Ini salah satu eksesnya.
Akan tetapi, jika pemerintah Bali tidak melakukan proteksi dampak negatif seperti tindakan kriminalitas akan banyak terjadi. Karenanya, peranan pemerintah sebagai leader sangat dibutuhkan. Informasi yang benar harus disampaikan kepada masyarakat agar semua dapat memahami dan menjalankan mekanisme yang ada. Demikian juga pendatang, wajib ikut aturan dan melengkapi diri dengan keahlian. (Mei Nababan, Made Sutami & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :