Selasa, Juni 29, 2004

Beny Uleander

Demokrasi Dan Nelayan Miskin

Amartya Sen, guru besar (sekarang emeritus) Universitas Harvard, AS, seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, ketika menghadiri suatu seminar internasional di Jepang, tahun 1999, ditanyakan wartawan peristiwa terpenting apakah yang mendominasi kehidupan manusia abad 20 silam. Dengan tegas Amartya menjawab satu kata. Demokrasi!
Mungkin jawaban Amartya ini terasa janggal karena pada abad itu ada berabgai peristiwa besar seperti berahkirnya imperialisme Eropa, lahirnya negara-neraga baru, perang dunia I dan II atau runtuhnya negara komunis Uni Sovyet. Selain itu, demokrasi sudah dirintis sejah jaman Yunani kuno. Paling tidak sudah berumur dua milenium dalam tarik masehi. Bagaimana kehidupan negara-negara kota (polis) yang memberikan perlindungan yang penuh kepada warga kota sempat dinikmati Plato dan Aristoteles.
Sejarah demokrasi itu sendiri kemudian pada tahun 1215 di Inggris dipertegas dalam Magna Charta Libertatum, disertai penegakan dengan pertumpahan darah dan taruhan nyawa dalam revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Kekuasaan kerajaan tumbang dan diganti oleh pemerintahnan republik. Kemudian system demokrasi itu diimplemenatasikan di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke-19 dalam bentuk pemungutan suara.
Baru pada abad 20, demokrasi diterima di mana-mana sebagai system politik yang normal. Meski terjadi tarik menarik wewenang antara hak pemerintah dan hak rakayat, namun demokrasi paling tidak menjadi model terbaik membangun sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengakuan Amartya bukan sekedar cuap-cuap teoretis tetapi ilmuwan kesohor ini telah membuka landskap pemahaman komprhensif bahwa ada korelasi kuat antara demokrasi dan kelaparan rakyat di suatu negara, antara kemacetan nilai-nilai demokrasi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, dan atau antara pengekangan kehidupan demokrasi dan kemelaratan nelayan di sebuah negara maritim.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia menjadi miniatur pelajaran historis kebenaran pendapat Amartya. Cornelis de Houtman asal negeri Kincir Angin , Belanda berulang kali menelan air liur melihat lezatnya kekayaan alam bumi Nusantara. Apalagi Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku kala itu benar-benar bertumpu pada kejayaan maritim yang kemduian dijajah Belanda.
Pada tahun 1945, Indoensia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka secara de fakto dan de jure. Namun Belanda dan sekutunya kembali melakukan invansi militer untuk menguasai kembali negeri kolam susu dan madu ini. Mereka sudah meraakan senditi bahwa hasil perkebunan dan pertanian di Indonesia telah mendatangkan keuntungan berjuta-juta golden bagi APBD Belanda yang sempat defisit.
Faktas histories di atas seharusnya menjadi suatu kebanggan bagi ratusan juta manusia yang lahir di republik ini bahwa mereka menjadi penduduk di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Apalagi sebagai negara kepulauan, luas lautan melebihi 70% dari luas daratan ini. Ini berarti masa depan rakyat ini ada di laut. Program Gemala atau gerakan masuk laut dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan pembangunan berbasis pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan adalah suatua kebijakan rasional.
Namun sebuah perasaan sedih dan duka yang menyayat hati sekaligus rasa malu tak terkira bahwa penduduk negeri ini hidup melarat. Bahkan untuk membangun negaranya saja terpaksa menjadi bangsa pengemis dan peminta-minta di mata donatur Internasional. Lebih melukai perasaan kemanusiaan, ratusan ribu warga negara ini terpaksa menyambung hidup di negeri lain. Ada yang diperkosa, dianiaya dan mati terbunuh. Sebegitu rendahkah harga diri manusia Indoneia. Apa yang salah di negeri tercinta ini. Pemerintah, pendidikan, tentara, wakil rakyat atau kita mendapat kutukan penguasa semesta menjadi ‘ayam yang kelaparan di atas tumpukan jerami’? Kutukan itu membuat mata hati kita buta untuk melihat kemampuan dan potensi diri yang luar biasa hebat.
Seacara tegas harus dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan penduduk negeri ini akibat pemasungan dan pengkhianatan penguasa terhadap pertumbuhan nilai-nilai demokrasi. Sejak awal pendiriannya, para founding fathers telah meletakan dasar negara republik sebagai bentuk negara ideal yang mendekati negara demokrasi.
Tak bisa disangkal dengan segudang teori kalau kemiskinan karena rendahnya SDM ataui sistem pendidikan yang keliru. Yang pasti kehancuran pembangunan di Indonesia karen a negeri ini dipimpin dari satu penguasa otoriter ke penguasa yang rakus harta dan ingin melanggengkan kekuasaannya. Dengan kata lain, kegagalan membangun sendi-sendi kehidupan demokrasi sebagai penyebab tunggal kehancuran Indonesia.Kenyataan ini mendukung pernyataan Amartya kalau demokrasi terkait erat dengan kelaparan dan penderitaan lahir batin warga negara.
Demikian pula kemiskinan yang masih mellilit petani nelayan di Indonesia akibat kekuasaan otoriter. Meski ada kalangan akademisi yan gmengeluarkan berbagai jurus teori bahwa nelayan kita kurang terampil, tak memiliki manjemen pekerjaan dan sebagainya. Dalam teropong filosofis, pembangunan adalah suatu usaha untuk memperluas kebebasan individu dalam suatu negara. Kemduian kebebasan itu diwujudkan melalaui pembanguanan di segala sector.
Ada dua jenis kemerdekaan yang dipasung di Indonesia. Pertama, kebebasan substantif, artinya semuah hasil pembangunan harus memperbesar kekebasan. Kedua, kemerdekaan instrumental, yaitu sarana utama implemnetasi pembangunan adalah juga kebebsan itu sendiri.
Dalam persoalan nelayan miskin di Indonesia, mereka tidak dipandang sebagai orang yang kekurangan pendapatan, ketiadaan pangan atau tiadanya sarana penangkapan ikan. Kemiskinan dilihat sebagai akibat perampasan kebebasan dan kemerdekaan seseoran guntuk mengembangkan bakat, potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Bayangkan, rezim diktator di mana saja pasti berusaha membungkam suara-suara keadilan yang berasal dari rakyat. Bagaimana kita berteriak agar nelayan kita pandai menangkap ikan sedangkan penguasa memasung pendidikan itu. Bagaimana berharap generasi mnendatang menjadi genrasi maritim sedangkan dalam sistem pednidkan dan kehidupan sosial mereka digiring menjadi genrasi yang apatis. Akibatnya yang lahir kemudian baisanya angkatan muda yang kerdil, ngambang, cas-cis-cus banyak, isi otaknya sedikit, tahunya hanya obat-obatan terlarang, dan kreativitsnya hanya melulu di selangkangan. Generasi seperti itu yang sebetulnya yang diinginkan oleh rezim ditaktor di manapun, termasuk di Indoensia.
Potensi perikanan laut Indonesia sangat kaya dan melimpah. Saking kayanya akan ikan, memancing pun tidak perlu pakai umpan, bahkan bisa diumpamakan si nelayanlah yang dikejar-kejar ikan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa potensi yang sedemikain besarnya tidak seimbang dengan kontribusi yang diberikan terhadap perekonomian nasional.
Bambang Subako dari Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia mengatakan untuk mengembangkan perikanan Indoensia kita bisa mencontoh Inul. Ada empat konsep bisnis yang bisa dipelajari dari Inul. Satu, dia tahu apa kebutuhan konsumen. Kedua, dia bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Ketiga, dia jujur dan polos. Semakin dia jujur, maka semakin dia disenangi dan mendapat simpati dari berbagai kalangan. Dan yang terakhir adalah dia mampu memunculkan sesuatu yang baru.
Sekarang bukan saatnya lagi pemerintah mengambil langkah-langkah keamanan untuk mencegah masuknya kapal-kapal asing ilegal yang mengeruk kekayaan laut Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia karena di sini tidak ada saingan. Jadi kita tidak bisa menyalahkan mereka. Langkah yang seharusnya diambil pemerintah baru saat ini adalah mempertahankan demokrasi agar rakyat merasa bebeas berkarya baik di arat maupun di laut. Kedua, mengundang para investor untuk memajukan sektor perikanan di Indonesia. Jadi yang paling mujarab adalah pembangunan ekonomi melalui investasi. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :