Selasa, Juni 29, 2004

Beny Uleander

Penduduk Penumpang, Memalukan!

Dengan kepala tertunduk, Sokrates mencoba mengingat kembali awal mula terbentuknya sebuah pemikiran logis yang lahir di tanah Yunani, yang disebut filsafat. Ia lahir dari perasaan takjub akan alam semesta dan berusaha mengungkap fakta di balik gejala-gejala alam itu. Manusia tidak lagi mencari jawabannya dalam alam pemikiran mitologis. Awal mula ada chaos dan kemudian muncul ketertiban; alam dan hukum-hukumnya. Namun ada satu misteri maha dalam yang tak terjawabkan hingga kini mengapa yang terjadi adalah ketertiban bukan chaos?
Seperti lumba-lumba yang lompat tinggi di atas permukaan air laut dan kembali menyelam, Thomas Hobbes, pengagum Sokrates, tergoda mengamati komponen-komponen yang membentuk keteraturan dan keberadaan sebuah negara dan kemudian menelaah dalam lautan hipotetis: mana komponen yang utama? Negara ditopang oleh eksistensi riil sebuah masyarakat yakni penduduk, ada lokasi huni yang lazim disebut wilayah meliputi darat dan laut, ada sebuah hukum yang mengikat dan mempersatukan semua warga dan ada sebuah pemerintahan.
Benarkah negara itu ciri khas kehidupan sosial manusia? Aristoteles mempopulerkan zoon-politikon mau menujukkan bahwa seorang manusia selalu dan secara inherent menunjuk kelekatan kodrati pada keberadaan orang lain. Saya sebuah pribadi yang otonom justru karena kamu ada sebagai diri yang lain (homo sociale). Demikian juga, keberadaan negaraku hanya karena ada warga bangsa lain. Barangkali ini alur menentukan harga sebuah kedaulatan dan martabat bangsa yang kemudian dirumuskan dalam semangat nasionalisme dan patriotisme.
Hobbes bingung mau menentukan mana yang ada duluan: wilayah, penduduk atau hukum. Serumit menjawab mana yang duluan ada, telur atau ayam. Rasanya harus ayam duluan ada untuk mengerami telurnya. Rasanya juga, dalam pikiran Hobbes, kelompok manusialah yang membentuk negara bukan negara yang membentuk kelompok manusia. Namun Hobbes kembali bingung ketika penghuni negara itu terdiri dari berbagai kelompok manusia yang berbeda suku, agama, ras dan kebudayaan.
Dengan lihai, Hobbes meretas jalan pemikirannya bahwa negara terbentuk oleh dua sebab awal. Pertama karena kesamaan geografis, suku dan kebudayaan. Kedua, karena persamaan dalam perasaan senasib. Aspek terakhir ini disebut Frans Magnis Suseno sebagai negara bangsa yang mendasari terbentuknya negara bhineka tunggal ika. Bumi Indonesia didiami penduduk yang teridiri dari ratusan suku seperti Melayu, Sunda, Bali, Toraja, Ambon, Bugis, Flores, Ambon dan Asmat di Irian Jaya. Hanya saja pada tahun 1928, anak-anak bangsa sepakat menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Indonesia terbentuk karena persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah ± 300 tahun oleh Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Unsur fundamental persatuan tidak terletak pada kesamaan suku, agama, budaya, ras ataupun kelompok etnis. Ini berarti Indonesia secara hakiki berbeda dengan China, Thailand, Israel ataupun Timor Leste. Pantas saja, founding father kita Ir Soekarno gemar memakai term anti imperialisme dan kolonialisme sebagai jargon membangkitkan semangat nasionalisme. Salah satu slogan yang terkenal, Amerika kita seterika dan Inggris kita linggis.
Ketika granat waktu yang disebut globalisasi meledak di awal abad 21, jauh hari sebelumnya Jhon Naisbit, seorang futurulog, sudah meramalkan akan berdentang keras pula suara dari gerakan untuk kembali membangun identitas diri. Gerakan melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional justru tumbuh ketika kesadaran akan identitas diri ditemukan di tengah pergaulan internasional. Dalam perspektif ini, lahir juga semangat desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang dibingkai dalam terminologi mentereng otonomi daerah.
Sebuah keunikan terjadi di Propinsi Bali. Otonomi daerah sebagai kebijakan mainstream mengelola dan menggali potensi daerah dieksploitasi secara sepihak oleh kalangan legislatif menjadi lahan membangun dikotomi picik penduduk setempat dan penduduk penumpang dengan penetapan Kartu Identitas Penduduk Sementara alias Kippem. Praktek memalukan ini dikemas dalam bingkai keputusan legal. Ini sebuah pengkhianatan atas HAM, pembukaan UUD 1945 dan juga mengubur mimpi-mimpi historis para leluhur dan pendiri Republik ini.
Kita tak perlu bersilat lidah soal peraturan Kippem karena sudah telanjang mata sebagai kebijakan yang menggerogoti persatuan sebuah nation. Siapa saja yang lahir di bumi Indonesia adalah warga negara Indonesia. Mereka ini disebut penduduk Indonesia sebab konstitusi kita tak mengenal penduduk Denpasar tetapi penduduk Indonesia. Sesama warga negara tidak pantas disebut penduduk penumpang di bumi Nusantara ini.
Warga negara Indonesia yang datang membangun hidup di Kota Denpasar kini mengalami kesulitan memperoleh KTP sebagai penduduk setempat. Pasalnya, mereka diklaim secara picik sebagai penduduk penumpang.Kita bertanya relakah masyarakat di Kota Denpasar pindah ke Surabaya atau Medan disebut penduduk penumpang. Lebih parah lagi, masyarakat Bali sendiri yang bukan berasal dari Denpasar dicap penduduk penumpang kalau mereka tinggal di Denpasar. Padahal secara historis, kota ini bukan dibangun oleh para anggota dewan yang terhormat itu tetapi dirintis dan dibangun oleh kakek-nenek mereka yang anak-cucunya sekarang disebut penduduk penumpang itu.
Anehnya, kebijakan yang super aneh ini terus dibiarkan berlangsung oleh DPRD dan kalangan eksekutif. Pada masa Orde Baru, rakyat ketakutan kalau didatangi segerombolan serdadu, namun sekarang ‘penduduk penumpang’ itu merasa tertekan secara psikis dan fisik ketika rumah mereka tengah malam digebrek Polisi Pamong Praja dan aparat Trantib.
Rupanya kemerdekaan di Indonesia cuma istilah mentereng yang amat manis di mulut retorika tetapi begitu pahit lagi menyakitkan di dalam ranah praktek. Lucunya, kala ada upaya pengerahan massa dalam kampanye legislatif dan pilpres, ‘penduduk penumpang’ ini dirayu menjadi konstituen. Caleg masuk keluar lorong-lorong kumuh dan becek menggalang dukungan. Begitu berhasil duduk di rumah rakyat, mereka ini mengeluarkan statement suci: Kippem perlu dipertahankan untuk mengontrol penduduk pendatang di Kota Denpasar sekaligus sebagai salah satu sumber PAD.
Ketertiban dan keteraturan penduduk memang penting apalagi di sebuah kota besar. Hanya saja, kunci keteraturan itu harus bersumber pada hak-hak dasariah penduduk sebagai warga negara dan tidak mengangkangi UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Barangkali, kalangan legislatif ketika membuat keputusan tidak menundukkan kepala seperti Socrates (baca: maaf tidak pakai akal sehat) atau tidak menelaah langkah-langkah hipotetis Hobbes tentang komponen mana yang utama dalam sebuah negara: rakyat atau negara. Bolehkah demi negara dan demokrasi, penduduk dikejar-kejar dan dianggap sebagai penduduk penumpang di atas tanah leluhur mereka? Rakyat silahkan pilih mana yang bertampang militeristik: purnawirawan TNI ataukah kalangan legislatif dan eksekutif? Ah, memalukan menjadi penduduk penumpang di negeri sendiri!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 61 MINGGU I JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :