Selasa, Juli 06, 2004

Beny Uleander

IB Indra Dalam Getaran Cinta Perempuan

Tanah Bali tak putus-putusnya melahirkan seniman muda penuh talenta. Ida Bagus Indra (30), seorang pelukis berbakat yang bakal menambah daftar seniman brilian Pulau Dewata ini. Dunia seni lukis menjadi pilihan hidup IB Indra, yang ditekuninya sejak kecil. Baginya dorongan untuk melukis adalah dorongan kehidupan yang harus diekspresikan lewat gerakan kanvas. Karena itu, Gus Indra, sapaan akrabnya, memutuskan mendalami dunia seni lukis meski awalnya ia mendapat penolakan yang amat keras dari ayahnya Ida Bagus Lolec.
Bakat seni yang mengalir di tubuhnya diwarisi dari sang ayah yang punya hobi melukis dan menggambar karikatur. Meski masih teramat muda, Gus Indra sudah menghasilkan 300 karya seni yang bermutu tinggi. Tak heran, Gus Indra berani menggelar pameran tunggal di Australia pada Mei lalu, di Lynne Wilton Gallery, Melbourne.
Kali ini, seniman bertubuh jangkung ini memamerkan 28 buah karya seninya di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Jimbaran 6-30 Juli 2004 dengan tajuk Women and Children. Karya-karya IBI dinilai kuat, memadukan kelihaian teknik, pewarnaan dan sudut pandang suatu tematik yang digarap dengan matang.
IBI adalah salah satu seniman otodidak yang tekun belajar menggambar dari lingkungannya. Seperti halnya kebanyakan anak-anak di Bali, dia menikmati berbagai suguhan seni tradisional yang kelak memberikan pengalaman visual yang memperkaya proses perjalanan kesenimannya. Berpijak dari seni tradisional, IBI menarik benang merahnya ke cakrawala seni modern melalui representasi karya sejak 1996 yang banyak mengambil tema seputar spiritual, humanisme, sosial-politik dan berbagai sisi kehidupan.
Perempuan dan anak-anak melengkapi deretan serial karyanya yang mewakili figur-figur anganan IBI dalam warna-warna mencolok dalam aksentuasi bidang-bidang kanvasnya. Pembagian ruang yang terkesan hati-hati menghadirkan nuansa tersendiri yang terjaga secara cermat. Ruang-ruang kosong dalam kanvas IBI memberikan kesempatan (meningatkan) perlunya melakukan perenungan.
Dalam menggerakkan kanvasnya, IBI menggali inspirasi dari pengalaman pergaulan dengan orang-orang terdekatnya. Anak perempuannya yang sedang lucu dan menggemaskan misalnya, banyak membantu IBI menerjemahkan sesuatu yang ia pikirkan menjadi pencitraan yang mewakili satu atau lebih pesan yang ingin disampaikan. IBI tidak memotret kehidupan anak-anak semata, tapi juga membuat komparasi dengan kehidupan para orangtuanya.
Upaya tersebut diharapkan menjadi semacam ‘cermin’ bagi kehidupan manusia dewasa yang masih saja rentan akan ketidakdewasaan. “Paling tidak hal itu bisa mengingatkan saya sendiri terhadap kearifan, kebijaksanaan, atau kematangan sebagaimana yang seharusnya dimiliki manusia yang beranjak dewasa,” tutur pria kelahiran Denpasar, 9 Mei 1974 ini.
Dia juga mengambil moment kelahiran anak keduanya belum lama ini sebagai gambaran perjuangan seorang ibu, kasih sayang dan mengingatkan awal perjalanan kehidupan manusia dengan kepolosan dan kesuciannya. Dalam beberapa karyanya memperlihatkan ketangkasan IBI mengamati lingkungan dan menyerap intisari hakikat kehidupan.
IBI merasa terpanggil pula mewacanakan fenomenan peran perempuan. Dalam kehidupan yang sepenuhnya ‘didesain’ kaum lelaki, posisiperempuan sangat subordinat.Tetapi belakangan ini keterdesakan kaum perempuan telah melahirkan pembangkangan fisik maupun kultural. IBI memotret berbagai perlawanan moral ini di antaranya melalui serial Kung Fu Master.
Dia mencontohkan, siapa sangka republik ini pernah dipimpin seorang ibu rumah tangga. Atau siapa mengira seorang Marsinah mampu mengilhami ribuan buruh pabrik untuk menuntut hak-haknya. Juga seorang Inul yang mampu mengebor dan menggoyang kemunafikan lelaki. Para Srikandi perempuan seperti itu kini banyak mewarnai sisi kehidupan di negeri ini.
Karya-karya lukis IBI menurut kritikus seni Jean Coutean menunjukkan peningkatan bersifat psikologis. IBI melihat ke dalam batin hubungan dengan sesama manusia. Perlahan IBI terus melakukan pencarian aliran seni yang mulai terarah pada ekspresionis karena mementingkan gerakan dan spontanitas.(Beny Uleander/KPPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :