Minggu, Juli 10, 2005

Beny Uleander

Menyusur Transaksi Seks Waria Di Denpasar

Ngeseks Di Semak Dan Gubuk Alang-alang

Agin malam bertiup dingin menusuk lubang pori-pori. Kesunyian merambah kawasan Gatot Subroto Barat, Denpasar, pada malam Minggu, (9/7). Jam menunjukkan pukul 22.00 WITA. Sesekali terdengar suara jangkrik ditimpali suara gemersik daun pepohon dan deru mesin kendaraan yang melintasi jalan Gatot Subroto. Di beberapa sudut jalan terdengar suara obrolan orang-orang yang sedang makan nasi jinggo yang dijual dakocan (pedagang kopi cantik –Red).

Di tengah keheningan malam itu, ada pemandangan unik ketika kita melintasi Jl Bung Tomo. Di daerah itu, setiap malam selalu ada sekelebat bayangan hitam muncul di pinggir jalan saat ada kendaraan yang lewat. Sosok bayangan hitam yang dilihat dari kejauhan itu melambaikan tangan ke arah pengemudi. Sesudah itu hilang ditelan kegelapan malam.

Pemandangan serupa terjadi juga di kawasan Renon Denpasar, tepatnya di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Negeri Bali. Jangan berpikir di kawasan itu ada setan atau hantu pocong yang usil mengganggu pelintas jalan tersebut. Bayangan hitam itu adalah para waria yang kerap mangkal di kawasan Gatsu dan Renon. Mereka merias diri dengan dandanan menor, memakai wig (rambut palsu –Red), stocking, mengenakan tas tangan dan rok mini dipadu baju sempit yang membiarkan pusar telanjang. Senyum ramah selalu terkembang di bibir mereka yang belepotan lisptik tebal setiap kali menyapa kaum pria yang melintasi kawasan itu.

Malam bertambah larut mendekati pukul 24.00 WITA. Beberapa waria di Jl Bung Tomo itu sudah berani berdiri bebas di pinggir jalan. Sejurus kemudian, ada beberapa pengendara sepeda motor yang berhenti ketika distop para waria. Mereka berhenti karena ingin melayani sapaan waria atau memang sudah menjadi konsumen sodomi. Entahlah….. Yang pasti ada remaja, ada pemuda berkisar 25-30-an tahun dan ada beberapa orangtua atau kalangan om-om yang doyan ngeseks dengan waria.

Awalnya, mereka saling menyapa, menanyakan nama dan tentu saja ‘soal harga’ Rp 15 – 20 ribu sekali main. Setelah ada kata sepakat, si tamu yang umumnya datang dengan sepeda motor mendorong tunggangan mereka itu masuk ke beberapa jalan setapak yang penuh dengan semak belukar di kiri dan kanan jalan.

Lalu pasangan tersebut masuk ke dalam semak-semak. Tak ada suara kecuali bunyi jangkrik dan hembusan angin malam.

“Rata-rata tamu semalam bisa 7 sampai 10 orang. Paling ramai Malam Minggu, Mas,” tutur Rani, seorang waria asal Pemekasan, Madura yang mengaku baru seminggu di Denpasar. “Kami selalu pakai kondom kecuali dengan pacar sendiri. Ada yang minta dioral dan kalau mau main di dubur (anal seks –Red) terserah,” ujarnya blak-blakan.

Pemandangan lebih mencengangkan lagi di jalan Bung Tomo II. Di situ ada sebuah tanah lapang, sekitar ½ Ha, yang dikelilingi semak. Ternyata pada malam hari, pengunjung tumpah ruah di dalamnya, mulai dari remaja sampai kalangan orangtua. Meski begitu suasana tetap hening. Proses tawar-menawar terjadi lewat bisik-bisik halus. Orang tak menyangka di lahan kosong itu berbaur pelacur wanita tua berusia rata-rata 30-40 tahun, para waria dan lelaki hidung belang. Di setiap pojok, ada delapan buah pondok atau gubuk alang-alang berdinding terpal, tempat transaksi seks untuk WTS dan waria bergantian dengan konsumen mereka.

“Kalo main di sini 20 ribu tapi di tempat kostku, ta layani dua kali biar puas. Bayarnya dikit mahal 50 ribu. Khan bisa istirahat sampai pagi. Nggak apa-apa. Lagian aman di kost,” buka Silvi, waria, yang mangkal di Jl Bung Tomo.

Lain lagi tempat mangkal waria di kawasan Renon. Transaksi seks berlangsung di sebuah tanah kosong dan areal persawahan bekas jalur hijau kota tersebut. “Aduh, kaki saya kotor kayak gini gara-gara setan gundul brengsek tuh,” ketus Farida, bukan nama sebenarnya, kepada empat rekan sesama waria yang juga lolos dari kejaran seorang lelaki iseng yang mengaku jadi Pecalang Desa (Aparat keamanan banjar/desa –Red). Kejadiannya, malam Kamis, (6/7) sekitar pukul 03.00 WITA dinihari.

Wartawan Koran ini menyaksikan sendiri para waria di kawasan itu lari tunggang langgang dikejar pria ‘pecalang’ bertubuh gendut tanpa mengenakan baju dan berkepala plontos. Pria yang diketahui bernama Made asal Trunyan, Bangli itu mengaku terusik dengan perilaku waria yang dinilainya merusak citra Bali. Made yang menunggang Yamaha Mio berhasil menangkap seorang waria berperawakan tinggi. Waria itu jatuh terjengkang menghindari tinju Made ke arah wajahnya.

“Itulah resiko kami, Mas. Selalu saja ada yang iseng dan mengusir kami. Tapi sesekali ya akan kami lawan juga. Jangan kira waria itu lemah lho,” timpal Anggi sengit, salah satu waria yang lari bersembunyi, ketika ditanyai petualangan mereka yang berbahaya.

Ada juga segelintir waria yang mencari tamu di kawasan Jl Diponegoro. Mereka keluar ke jalan pada jam 23.00 – 03.00 WITA dan berdiri di sudut-sudut pertokoan. Kalau ada kata sepakat soal harga, tamu digiring ke kos yang tak jauh dari pertokoan. “Ayo Mas, ke kostku. Lagi sepi nih. Nggak ada tamu dari tadi,” rayu waria bertubuh sintal ketika didekati wartawan Koran ini. Itulah tempat mangkal waria di lokasi remang-remang di Kota Denpasar yang bertebaran sporadis dan liar. Namun digandrungi penduduk kota berbudaya tersebut. Aneh tapi nyata ada ladang HIV/AIDS yang dibiarkan! (Beny Uleander & Arnold Dhae/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :