Senin, Juli 11, 2005

Beny Uleander

Anggapan Miring Homoseksual, Akibat Pengaruh Budaya Barat

Dr Dede Oetomo

Hidup sebagai kaum homoseksual tidaklah mudah. Di negara maju, mereka masih tetap dianggap sebagai wabah, terus dikejar-kejar dan dimusuhi. Padahal banyak di antara kaum homoseks merupakan figur cemerlang. Sampai kini belum ada riset tentang ada tidaknya kaitan antara kecemerlangan otak dengan orientasi seksual yang terarah pada sesama jenis kelamin.
Dari bacaan-bacaan yang ada, dapatlah disebutkan nama-nama besar yang termasuk dalam barisan kaum sehati (sebutan untuk kaum homo). Sebut saja Raja Iskandar Zulkarnaen dan Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pelukis), John Maynard Keynes (ekonomi neo-klasik), Michael Foucalt (posmodermis), Elton John (penyanyi), Glanni Versace (perancang mode). Sedangkan sastrawan internasional yang tergolong hombreng antara lain Oscar Wilde, Virginia Wolf, Walt Wiltman, dan Nokolia Gogol.Herlinatiens (penulis).
Konstruksi sosial yang menempatkan kaum homo sebagai epidemi telah lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Tak heran bila kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah stigma buruk (imagologi) yang sudah dilekatkan pada kaum homoseksual di seluruh jagad. Konstribusi mereka acap dikesampingkan karena homofibia(kekhawatiran berlebihan terhadap kaum gay dan lesbian) terlanjur berurat-berakar.
Bagaimanakah komentar Dr Dede Oetomo, seorang gay yang telah go
internasional, berbicara tentang kaum sehati ini. Berkat akitivitas di bidangnya tersebut, dosen FISIP Unair Surabaya dan guru besar Universitas Kebangsaan
Malaysia ini mendapat anugerah Felipe de Souza Award dari International Gay dan Lesbian Human Rights Commision (IGLHRC). Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Koran Pak Oles;

Bagaimanakah pendapat dan pandangan anda tentang kaum gay atau lesbi?

Pandangan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan gay dan lesbi, sudah saya tuangkan dalam buku yang telah saya buat. Judulnya Memberi Suara Pada Yang Bisu. Buku ini berisi tentang keprihatinan umum kaum homo seksual. Keprihatinan yang berujung pada pandangan yang berujung pada pandangan keliru masyarakat.

Kenapa masyarakat berpandangan miring atau keliru terhadap kaum homoseksual?

Anggapan miring terhadap kaum homoseksual selama ini, sebagai akibat dari pengaruh romantisme budaya kaum barat yang merembes ke Indonesia lewat ideologi pembangunanisme. Kebudayaan borjuis mengidentikkan perkawinan yang terbaik dan ideal itu dengan keluarga inti (nuclear family), yakni suami-istri (laki dan perempuan) dengan beberapa anak (kandung).

Bagaimana awal mula anda membuka diri dengan kondisi ada yang sebenarnya?

Awal mula saya membuka kenyataan diri sebagai gay, saat mengambil gelar doktor di Universitas Conell, Amerika Serikat dan membuang jauh-jauh kehidupan kepura-puraan yang saya lakoni selama ini. Saat itu, dekade tahun 1980-an. Gerakan emansipasi kaum gay sedang merebak di kampus-kampus Amerika. Saat itulah saya menemukan jalan keluar dari kemelut batin yang menimpa saya selama di Indonesia.

Bagaimana tanggapan masyarakat setelah dengan terbuka menyatakan diri sebagai gay?

Setelah berani menyatakan sebagai gay, banyak tamparan yang saya terima dari masyarakat. Salah satu diantaranya, sepulang dari USA, saya ditolak menjadi dosen di dua perguruan tinggi terkenal di Surabaya. Akan tetapi, berkat rekomendasi seorang profesor bijaksana, kemudian saya diterima sebagai dosen di FISIP Unair. Kedua orangtua saya selanjutnya juga berbesar hati dan menerima anaknya sebagaimana adanya dalam segala situasi untung maupun malang.

Menurut anda, sejak kapan kaum homoseksual ada di Indonesia?

Budaya homoseksual, sesungguhnya terlihat dalam budaya-budaya Nusantara. Misalnya di Bugis, Bali, Dayak, Jawa, Madura, Minangkabau, Papua, dan Toraja. Di Sulawesi Selatan, sampai akhir penjajahan Belanda, terdapat bissu (kaum homo) dengan tugas khusus menjaga arajang (pusaka) kerajaan dan mengatur upacara sakral. Para bissu, seiring amblesnya sistem monarki di zaman republik, kehilangan sebagian besar fungsi religio magis. Di Ponorogo, jawa Timur, sampai awal abad ke-20, mudah ditemukan gemblak (lelaki muda piaraan warok). Di Yogyakarta bahkan ada juga kampung bernama Gemblakan, asal katanya juga dari kata gemblak itu. Ada keyakinan, kesaktian lelaki akan disedot perempuan, maka para warok lalu tidak beristri, dan untuk menyalurkan gairah lalu memelihara gemblak. Tradisi gemblakan ini juga bisa ditemukan dalam Serat Centhini.

Bagaimanakah pendapat masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya tentang kaum homoseksual sekarang?

Secara umum, homoseksual masih dianggap sebagai penyimpangan psikologis maupun norma social. Pandangan ini jelas berasal dari Barat yang muncul bersamaan dengan perkembangan peradaban borjuis abad ke-19, di mana psikologi punya pengaruh luas termasuk di kalangan kelas menengah di Indonesia. Tapi di Barat sendiri, para psikolog tersebut telah meralat pendapatnya. Sehingga sekarang, di Barat homoseksual tidak lagi dikategorikan kelainan jiwa.

Apakah keinginan Anda saat ini?

Saya mencita-citakan kemungkinan kaum gay maupun lesbian de jure, bisa kawin-mawin. Cita-cita ini sepenari dan sependendangan dengan konsep keluarga idaman ala borjuis barat yang hendak didekonstruksinya.

Tidakkah dengan melegalkan, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti HIV/AIDS?

Penyakit ini merajalela bukan karena perilaku semburit di kalangan kaum homo melulu. Pun perilaku seks gonta-ganti pasangan di kalangan heteroseks dan pemakaian jarum suntik serampangan di kalangan pemadat narkoba. Dalam rangka mencegah menyebarluasan HIV-AIDS, saya dan teman-teman di yayasan GAYa Nusantara menjelaskan dengan gamblang, sopan, dan konkret praktik-praktik seks tidak aman berikut cara-cara menghindarinya.(Wuri Wigunaningsih/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Biodata
Nama : Dede Oetomo
TTL : Pasuruan, 6 Desember 1953
Pendidikan : Sarjana IKIP Malang, Doktor Cornell University USA
Pekerjaan : Dosen FISIP Unair,
Guru Besar Universitas Kebangsaan Malaysia

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :