Rabu, November 30, 2005

Beny Uleander

Binatang Teknologi

Manusia adalah binatang teknologi. Inilah salah gelar manusia yang diperoleh bukan oleh faktor genetis tetapi karena hasil pergulatan intelektual manusia dalam pengembangan sains dan teknologi. Lagi-lagi revolusi industri menjadi obor sejarah bahwa manusia dalam kontemplasi (perenungan) teori empiris dan dorongan spiritual terus memaknai hidup sebagai proses pencarian dan penanaman nilai-nilai kebudayaan.

Perubahan teknologi merupakan faktor fundamental dalam evolusi manusia. Inilah pengungkapan yang sederhana bahwa manusia adalah binatang kebudayaan. Sebenarnya dalam dunia binatang berlaku pula penerapan teknologi elementer yang diturunkan lintas generasi. Contoh, berang-berang mendirikan bendungan dan burung membangun sarang. Sementara manusia menciptakan teknologi dan menggunakannya. Teknologi dan pengetahuan ilmiah kerap digunakan manusia untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, menghapus kemiskinan, mencegah pencemaran lingkungan atau membuat tempat hunian menjadi jauh lebih menyenangkan. Inilah sekilas gambaran manusia sebagai binatang teknologi.

Dalam perkembangan, ternyata teknologi ciptaan manusia selain bersifat mandiri (autonomous), juga pertumbuhan teknologi tidak dapat dikontrol masyarakat manusia. Benarkah hidup manusia harus dikendalikan oleh aneka teknologi temuannya? Ini sebuah pertanyaan yang bernada ‘canggung’ di telinga masyarakat industri era ini. Inilah gugatan dilematis. Suka atau tidak suka, berbagai perangkat teknologi racikan manusia adalah pendukung cara dan pola hidup manusia.

Pada simpul penilaian ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa manusia industri hasil besutan kemajuan pilar-pilar teknologi kini dililit aneka masalah yang kompleks dan beragam. Negara maju mendorong percepatan pembangunan di negerinya dengan menyedot sumber-sumber energi dari negara ‘dunia ketiga’. Sedangkan, negara-negara berkembang sibuk melakukan ‘penyesuaian sistem atau perombakan ‘aturan’ demi keseimbangan pertumbuhan ekonomi negerinya. Contoh klasik, negara maju memproduksi pepsi dan coca cola melebihi jumlah penduduk di negara-negara miskin. Sasarannya jelas. Negara ‘dunia ketiga’ menjadi areal pasar yang digarap serius. Dengan kata lain, negara berkembang harus membuat ‘aturan’ yang mendukung arus impor demi konsumen pepsi dan coca cola. Ini sekedar contoh di bidang ekonomi-perdagangan. Belum lagi contoh di bidang politik, hukum, pertahanan dan masih banyak lagi.

Persoalan serius yang dihadapi negara Indonesia adalah julukan sebagai negeri ‘kotak sampah’ penjualan barang bekas maupun tata nilai impor. Kita membeli kapal-kapal bekas untuk memperkuat armada angkatan laut dan udara. Kita pun membeli senjata-senjata bekas untuk latihan perang-perangan TNI. Kita mengadopsi sistem pendidikan luar negeri dengan pola asal comot tanpa mengintegrasikan dengan kultur budaya lokal. Rupanya jauh sebelumnya, kita mengadopsi hukum penjajahan kolonial menjadi pilar-pilar penetapan pasal-pasal KUHAP. Hasilnya, penjajah adalah rezim penguasa, raja adalah kaum berduit dan nasib hidup berjuta-juta rakyat di negeri ini ada dalam genggaman segelintir elite politik.

Lahir sebuah seruan kegelisahan, kalau manusia adalah binatang teknologi mengapa manusia Indonesia belum mandiri membangun teknologinya. Kenapa kita bangga mengimpor teknologi luar negeri. Memang harus diakui bahwa negeri kita masih tertinggal dalam segala bidang kehidupan. Namun ada hal-hal mendasar yang harus terus-menerus diingatkan kepada khalayak bahwa leluhur kita pun sudah memiliki perangkat teknologi tertentu yang kini diabaikan generasi penerusnya. Lihatlah kemegahan Candi Borobudur. Sebuah mosaik kebudayaan yang kini menjadi monumen tanpa nyawa historis.

Leluhur kita tidak mengenal cara merakit bom. Tetapi kini, anak cucu mereka begitu terampil membuat bom untuk menebar teror. Uniknya lagi, kita mengadopsi tata laku bom bunuh diri lengkap dengan perangkat ‘ajaran spiritualnya’. Juga beragam aksi teror yang meresahkan masyarakat kini bergentayangan di setiap daerah. Ini gambaran bahwa segelintir anak bangsa amat lihai menerapkan taktik-taktik teror dari luar negeri. Ada keresahan bila ‘budaya kekerasan dan teror’ mengurat-akar di negeri ini maka Indonesia dapat menjadi ‘daerah Timur Tengahnya’ Asia. Gejala ke arah sana sudah ada bila tidak ditangkal sejak dini. Ini bukan kegelisahan sepele. Ini keprihatinan serius bahwa anak-anak bangsa lemah dalam menyeleksi nilai-nilai budaya dan teknologi impor.

Indonesia dapat kembali bangkit menjadi negeri yang besar bila pemerintah dan rakyatnya kembali menghidupkan teknologi warisan leluhur yang tidak lain adalah nilai-nilai budaya masyarakat nomaden dan agraris yang sangat dekat dengan alam, berjiwa solidaritas dan sangat menjunjung tinggi keharmonisan hidup dengan sesama dan Pencipta. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :