Senin, Juni 28, 2004

Beny Uleander

Free Man Vs Preman

Secara harafiah, kata preman berasal dari kata Free dan Man (Free Man); yang berarti orang yang bebas atau merdeka, dan yang mempunyai hak penuh sebagai warga negara. (Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford University Press 1969). Paruh abad ke-16, masih ada jejak-jejak orang yang mengasingkan diri dari keramaian dunia (fuga mundi) untuk mencari makna kehidupan. Mereka tinggal di hutan, gua-gua atau di padang gurun dalam kesunyian dan doa. Masyarakat abad pertengahan menghormati mereka sebagai guru kebenaran. Sebab, mereka yang tidak mau sibuk dengan urusan duniawi itu dianggap manusia bijak yang bebas dari ambisi, aroma balas dendam dan apalagi intrik politik.
Mereka ini disebut manusia bebas (free-man). Dalam kultur feodal itu, figur manusia bebas dicari dan didambakan rakyat jelata sebagai tokoh pembebas. Karena mereka tidak tahan hidup dalam situasi tertekan dan tertindas oleh ulah kerakusan tuan-tuan tanah. Tokoh free man yang mendengarkan suara rakyat dan terlibat aktif memperjuangkan hak-hak pokok rakyat inilah yang disebut bandit, yang berani berbicara atas nama kebenaran dan terus mengutuki kelaliman penguasa. Alhasil, bandit adalah tokoh intelektual, pembebas rakyat dan musuh nomor wahid kalangan bangsawan dan penjilat raja.
Dalam perjalanan sejarah ada bandit yang tidak puas di jalan ahimsa ala Ghandi. Segelintir bandit tergoda menggunakan cara-cara kekerasan untuk membela kepentingan rakyat. Mereka menghasut rakyat untuk membakar ladang, merampas tanah kaum ningrat atau membunuhnya. Akhirnya, tokoh bandit merosot menjadi penjahat berbahaya, ditakuti rakyat dan penguasa tentunya. Di Indonesia, bandit identik dengan preman yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan suka mengganggu orang lain. Kaum preman di Indonesia berkembang pesat di era 1980-an mulai dari desa sampai kota. Sepertinya ada rasa bangga dan tidak malu menyebut dirinya sebagai seorang preman. Bentrok antara preman (gangster) sering terjadi dan menyisakan virus keresahan bagi warga sekitar. Jika belum ada terapi yang jitu, Indonesia ini bisa menjadi negara Barbar. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa.
Di sudut ini, preman sudah memasuki hampir semua lembaga institusi pemerintahan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka cukup lihai mencatur permainan di Indonesia termasuk suksesi kepala daerah. Mereka lantang berbicara tentang aspirasi tapi dalam aksinya sangat tidak aspiratif. Sering berbicara tentang HAM, tapi aksinya banyak yang melanggar HAM, berbicara tentang berantas korupsi tapi justru penyubur korupsi, bicara tentang membuka lapangan kerja, tetapi banyak selingkuh dengan pengusaha demi sebuah keputusan PHK sepihak, dan seterusnya.
Untuk itu, rakyat tidak boleh malu-malu berkata bahwa ada preman yang menjadi wakil rakyat. Sebelum duduk di kursi rakyat, mereka menampilkan citra diri sebagai pembebas masyarakat dari rezim otoriter dan penguasa diktator. Dalam pidato, mereka biasa menelanjangi kebobrokan pemerintah, lalu mengajak rakyat berkoalisi mendepak penguasa dan antek-anteknya untuk membangun negara dan pemerintahan baru. Rakyat jelata yang selama puluhan tahun dibekukan kesadaran politis sering terkecoh dengan ‘ketokohan’ orator tipe ini.
Ingat! Bukankah pohon yang baik dikenal dari buahnya? Berbagai kebijakan publik yang amburadul, membingungkan dan membawa perpecahan dalam masyarakat bisa menunjukkan sejauh mana kualitas para perumus dan pengambil keputusan. Misalnya, UU Penyiaran dan UU Pendidikan Nasional yang kontroversial tetap disahkan, padahal secara substansial berpotensi membawa perpecahan. Yang tak kalah seru adalah pembatalan UU Teroris oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalih lebih mengedepan hukum formal ketimbang memperhatikan fakta riil di lapangan.
Ada yang lupa bahwa saat dua bom diledakkan di Jl Legian Kuta, Bali, ratusan nyawa melayang sia-sia, denyut nadi lokomotif industri pariwisata Bali sempat terhenti, ribuan pekerja di-PHK. Lupa, kali. Singkatnya, banyak pejabat yang tidak rela menangis dengan rakyat banyak yang sedang menangis dan tidak ingin tertawa bila rakyatnya sedang tertawa seperti kata penerima Nobel Perdamaian 1997, Mgr Carlos Ximenes Belo, SDB dalam bukunya The Voice Of Voiceless (1997).
Di Bali sendiri, belakangan ini banyak warga yang mengelus dada menyaksikan tingkah wakil rakyatnya yang lantang berjuang untuk dapat Dana Purna Bhakti atau dana pengabdian (supaya agak halus). Ketika gaung purnabhakti mendapat sorotan dan penolakan dari berbagai unsur masyarakat, mereka bukannya minta maaf malah ngotot dengan dalih pengabdian wakil rakyat harus dihargai. Ini juga dalih mereduksi pengabdian sebatas uang. Bisakah kita memilah mana yang preman dan yang benar-benar free man. Mungkin lupa bahwa mereka itu wakil rakyat, ber-Bakti dan meng-Abdi karena dan demi rakyat banyak. Jika demikian, mengapa para wakil rakyat yang terhormat dan dihormati itu menuntut untuk tetap mendapat Dana Purna Bakti.
Pribadi yang tergolong dalam tipe free-man adalah mereka yang mengabdi dan bekerja tanpa pamrih serta menunjukkan kualitas diri sebagai solving maker bukan trouble maker. Memang setiap pekerja layak menuntut upah sebab untuk hidup manusia membutuhkan biaya alias duit, tapi bukan satu-satunya, melainkan dari semua yang disabdakan Tuhan. Tetapi besarnya angka Dana Purna Bhakti menunjukkan kurangnya kepekaan wakil rakyat akan situasi kemiskinan yang membelenggu rakyat akibat terpaan krisis ekonomi.
Kriteria seorang pejabat itu preman adalah saat kepentingan rakyat banyak terang-terangan diabaikan dan dirugikan. Contoh, pencemaran teluk Buyat yang diketahui ada pejabat yang super cuek dan mengeluarkan statemen bahwa kondisi itu lumrah dalam dunia industri. Menyakitkan sekali, kala mendengar mereka berbicara tanpa beban dalam dialog interaktif di TV.
Sudah saatnya, individu dalam masyarakat harus peka nurani --berani berbicara atas nama kebenaran guna melawan para ‘preman’ yang berbicara atas nama perut. Di tikungan ini, kehadiran seorang preman jalanan jelas meresahkan masyarakat tetapi keberadaan dan keberanian preman di lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif justru akan meruntuhkan negara. KPO/EDISI 63

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :