Sabtu, Desember 29, 2007

Beny Uleander

Revolusi Hijau Jilid II

Ada selarik harapan yang terujar dalam kesepian, serajut impian yang terkubur dalam keheningan, serangkum kecemasan yang menggelayut di dinding waktu. Itulah suara prediksi Robert Thomas Malthus (1766-1834). Pertumbuhan penduduk berdasarkan deret ukur, tapi kemampuan alam menyediakan kebutuhan manusia seperti deret hitung.
Bertebar momen yang terekam apik dalam sepenggal episode, indah dalam kesan, tak bosan untuk dikenang dan abadi untuk dipahat dalam loh hati. Itulah sekelumit kisah “Revolusi Hijau” yang indah untuk dikenang, bukan karena semarak kisah sukses, tapi karena petani tidak berkawan dengan kesejahteraan, rasa kenyang bukan sahabat karib rakyat kecil-buruh-jelata dan lahan tandus kurus terkapar loyo dari Sabang hingga Merauke.
Umat manusia (pemerintah/swasta/LSM) berlari menghindari “tsunami Malthus” yaitu ancaman bencana kelaparan global. Lantas beragam pola, teknik dan program meningkatkan ketahanan pangan diretas peneliti dan akademisi di laboratorium penelitian.
Di saat pola pertanian kita masih berskala sub sistem --tanam untuk keperluan perut, dibagikan ke tetangga dan kalau ada kelebihan baru dijual di pasar tradisional--, pemerintah meretas visi peningkatan produktivitas
pertanian tradisional diarahkan ke industri pertanian. Gema Revolusi Hijau yang sukses di Meksiko dan Filipina, lalu pada tahun 1970-an dipinang Indonesia untuk meraih kemandirian pangan dengan nama Bimas.
Padi (karbohidrat) menjadi anak tunggal swasembada pangan yang dikembangkan di seluruh negeri. Tahap awal adalah meretas teknik-teknik pertanian yang efektif untuk meningkatkan kuantitas pangan. Salah satunya adalah teknik pemupukan dengan menggunakan pupuk-pupuk modern (kimiawi). Mulailah saat itu, petani di berbagai daerah mengenal betul jenis, sifat, penggunaan dan manfaat pupuk kimia dan pestisida bagi kesuburan tanaman.
Memang ada parade kemenangan yang dituai dari Revolusi Hijau. Surplus pangan terjadi di mana-mana. Bahkan dengan gagah, pemerintah Indonesia mengirim bantuan beras bagi rakyat Vietnam yang saat itu mengalami paceklik pangan. Ada program subsidi terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, diberdirikannya Bulog, pembangunan irigasi dari pinjaman luar negeri, penanaman bibit yang seragam, hingga penyuluhan.
Ternyata, 35 tahun kemudian, tepat tahun 2005, bangsa Indonesia menerima kiriman beras impor dari Vietnam dan Thailand. Apa yang terjadi selama kurun waktu yang panjang itu? Mengapa negeri yang awalnya kaya raya dengan tanah yang luas dan subur lalu tertimpa musibah kelaparan?
Pakar pertanian dan hortikutural dengan gamblang menyebut praktek pertanian berbasis pupuk dan pestisida kimiawi sebagai keruntuhan mazhab Revolusi Hijau. Air dan tanah rusak karena penggunaan pestisida dan pupuk yang tidak terkendali. Lambat laun alam jadi rusak dan produk pertanian pun tidak bebas dari racun kimia. Ujung-ujungnya pestisida meracuni tubuh manusia.
Revolusi selalu melahirkan kontra revolusi. Demikian pula kemegahan kerajaan Revolusi Hijau mulai digusur ekspansi Revolusi Organik dengan slogan mendunia, back to nature. Masyarakat modern, terutama negara maju di Eropa dan Amerika serius merintis produk-produk pertanian organik. Tapi di Indonesia kebijakan pertanian organik belum memiliki blue print (cetak biru) dalam hal: aplikasi teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Hampir semua gerakan dan perjuangan kelompok tani maupun LSM kini menyuarakan kata: pertanian organik, tanaman organik dan pupuk organik. Namun mengapa lahan pertanian kian tandus dan berita busung lapar terungkap dari daerah dekat istana negara sampai pedalaman Irian Jaya?
Rupanya sinergi advokasi kalangan LSM dan swasta amat rapuh. Sama-sama bersiul tentang pertanian organik, tapi saling menjelekkan-jelekkan produk dan teknik pertanian yang ramah lingkungan. Di tengah kegamanan situasi pertanian nasional dan kerusakan lingkungan hidup, Koran Pak Oles memantapkan kembali kiprah awalnya sejak terbit Mei 2000 silam. Mulanya bernama Warta Oles sebagai media cetak dengan format sederhana untuk mensosialisasikan semboyan Organik, Lestari, Sehat dan Sejahterah (OLES).
Semboyan ini lahir seiring dengan visi Dr Ir Gede Ngurah Wididana, M.Agr merintis pertanian organik berbasis teknologi effective microorganisms, sejak tahun 1990. Teknologi EM kini telah diterapkan lebih dari 160 negara di dunia. Di Jepang dan Thailand, teknologi ini didukung pemerintah. Dan, teknologi temuan Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus Okinawa ini, sudah diaplikasikan sebagian kalangan petani di Indonesia menuju Revolusi Hijau Jilid II. Produktivitas tanaman meningkat, kesuburan tanah diperbaharui dan tentunya kita mulai mengonsumsi produk organik. Karena itulah, menyambut perguliran tahun 2008, redaksi Koran Pak Oles memfokuskan areal liputan pemberitaan di bidang pertanian organik, kesehatan organik dan pengembangan industri yang ramah lingkungan. Semoga komitmen ini kian mendorong pemerintah dan petani meninggalkan teknik pertanian yang merugikan kesuburan tanah, tanaman dan kesehatan manusia. (Beny Uleander/KPO EDISI 143/DESEMBER 2003)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :