Rabu, Juni 30, 2004

Beny Uleander

Badung Tak Diskriminatif Terhadap Pendatang

Peribahasa ada gula ada semut amat tepat melukiskan fenomena melonjaknya angka kaum urban di Kabupaten Badung, yang terkenal sebagai salah satu kawasan wisata dunia. Pasir putih Pantai Kuta yang indah dipenuhi hotel-hotel dan aneka industri kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan asing dan lokal. Tentu saja, lahan empuk mengais rejeki bagi kaum urban.
Pemda setempat memang telah menyiapkan seperangkat peraturan di bidang kependudukan agar tidak ada perlakuan diskriminatif antara urban lokal dan luar Bali. Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Badung Drs Tjok Ngurah, B A, di kantornya pekan kemarin. Salah satunya adalah Perda Kependudukan No 5/2001, yang mengatur kelengkapan identitas bagi kaum pendatang. Sedangkan kepemilikan KTP dikuatkan dengan kesepakatan bersama gubernur, walikota, dalam Perda No 153/2003 tentang besaran rupiah untuk kepemilikan kartu identitas.
Sampai April 2004, total penduduk Badung sebanyak 352.953 orang; 177.336 (L) dan 175.517 (P). Kaum pendatang 73.544 orang tersebar di 6 kecamatan; Abiansemal, Kuta Utara, Mengwi, Kuta, Petang dan Kuta Selatan. Artinya, selain sebagai tempat pariwisata, Badung juga menjadi salah satu sasaran serbuan kaum urban. ‘’Kabupaten Badung ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikerubungi semut. Untuk mengatur kaum urban kami melakukan pembinaan dan penertiban melalui perda berdasarkan kesepakatan bersama gubernur dan walikota,’’ jelas Tjok.
Penduduk pendatang tanpa identitas, diakui Tjok, menyulitkan aparat kabupaten dalam melakukan pendataan jumlah penduduk. Apalagi keberadaan mereka tidak dilaporkan tuam rumah. Pemda senantiasa melakukan penyuluhan dan pembinaan pada kaum urban, tanpa membedakan asal, agama dan jenis kelamin. ‘’Pemda Badung tidak pernah membedakan atau berlaku diskriminatif terhadap pendatang atau penduduk asli. Semua sama, sebab orang Indonesia yang berhak hidup di mana saja tetapi dengan catatan melengkapi administrasi kependudukan,’’ tegas Tjok.
Namun, yang perlu diantisipasi adalah masalah identitas karena bisa berakibat fatal bagi yang bersangkutan dan pariwisata Bali. Misalnya, kaum urban yang tidak membawa KTP terlibat kasus pencurian, yang terkena imbasnya pasti seluruh urban termasuk yang memiliki pekerjaan dan identitas. Ujung-ujungnya kalau tidak ada pembinaan dan saling toleransi akan menuju SARA. Tjok menilai kelengkapan identitas merupakan sarana penertiban penduduk pendatang untuk mengurangi peluang terjadinya tindak kriminal. Ia menghimbau desa adat agar mendorong warganya untuk selalu melengkapi identitas kependudukan. “Jangan sampai urusan administrasi kependudukan menjadi ajang perpecahan atau diskriminatif terhadap kaum minoritas,” tegasnya. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :