Eksistensi media massa Indonesia tak bisa dilepaspisahkan dari ‘sejarah’ peran dan campur tangan birokratis (baca: penguasa). Di zaman Orde Baru, Pers Indonesia pernah mengalami masa kegelapan yang ditandai dengan hilangnya kebebasan dan kemerdekaan dalam melakukan kontrol social. Untuk memperkuat eksistensinya, pers perlu memperkuat jati dirinya. Itulah inti diskusi yang digelar Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Cabang Denpasar bekerja sama dengan UNESCO, (7/7), di Inna Hotel Sindhu Beach, Denpasar.
Perwakilan UNESCO Urusan Komunikasi dan Informasi, Ario Gunawan mensinyalir kedudukan pers Indonesia masih amat lemah dengan adanya beberapa kasus pemenjaraan wartawan di Indonesia di era reformasi. Diharapkan, institusi pers selain memperkuat kedudukan hukumnya lewat UU Pers, juga harus berupaya membangun citra pers yang independen dan berwibawa.
Menurut Staf Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, Abdullah Alamudi, kepercayaan masyarakat merupakan kunci eksistensi sebuah media. Ia melihat sebelum reformasi di Indonesia ada 299 koran, namun pasca reformasi bertebaran 1.700 koran yang tumbuh bebas bak jamur di musim hujan. Ternyata pendirian media yang begitu bebas disertai dengan berbagai keganjilan. Pertama, proses rekruitmen wartawan tidak jelas. “Ada orang yang tak pernah mengikuti pelatihan jurnalistik tetapi sudah mengantongi kartu pers,” ujarnya. Padahal menjadi wartawan professional memerlukan proses yang panjang dan diawali dengan masa training sehingga seorang jurnalistik dibekali dengan pengetahuan dasar-dasar peliputan dan etika wartawan yang perlu dijaga. Kedua, idealisme pendirian media diragukan. Karena media local yang bertebaran di mana-mana mengalami kesulitan finansial untuk biaya operasional. Disinyalir banyak media yang melakukan kontrak iklan dengan Bupati atau pemerintah daerah setempat. Akibatnya, media bersangkutan akan sulit mengembangkan fungsi kontrolnya. Pers tidak berdiri di posisi masyarakat yang tergusur. Ketiga, ada keluhan masyarakat bahwa banyak pers yang kurang professional dengan menghidangkan berita picisan dan lebih mengarah pada pencemaran nama baik.
Terkait pers yang tidak professional, anggota peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Haryanto menyodorkan ragam pelanggaran etika atau kesalahan yang dibuat beberapa media belakangan ini. Ada penyajian informasi yang tidak akurat, tanpa klarifikasi atau konfirmasi (informasi sepihak), tidak kredibel sumbernya, tidak jelas sumbernya (rumor), bersifat opini yang menyesatkan, bersifat menghakimi (trial by the press), bersifat mencemarkan nama baik dan informasi bersifat tuduhan palsu (fitnah).
Apalagi ada penelitian bahwa setiap tahun BUMN menganggarkan ‘amplop’ untuk wartawan mencapai angka fantastic Rp 864 milyar. Karena itu, Pemimpin Redaksi Koran Mingguan Tokoh, Widminarko menekankan sampai kapanpun Kode Etik Wartawan Indonesia tetap diperlukan. “kalau kode etik dan idealisme diabaikan, jangan heran preman pun bisa jadi pemimpin redaksi,” ujarnya mengingatkan.
Acara tersebut ditutup dengan session diskusi yang diikuti anggota AJI Denpasar. “Acara ini lebih pada penyegaran bagi wartawan,” tandas Anton Muhajir selaku Ketua AJI Denpasar. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)