Jumat, Juli 08, 2005

Beny Uleander

Ideologi Sandal Jepit Dalam Revolusi Kebebasan

Filsuf dan rohaniwan, Mudji Sutrisno, SJ melihat moment revolusi sosial politik tahun 1998 yang disponsori mahasiswa merupakan suatu ruang historis menyemaikan tekad menggapai kebebasan dilandasi jiwa dan pengalaman ‘kemudaan’. Insting kemudaan menjadi tolok ukur kualitatif nilai-nilai kebaruan. Sayangnya, begitu rezim Orba tumbang, benih kebebasan politik yang ditabur generasi muda dipersempit kembali pertumbuhannya oleh sepak terjang kaum tua. Cita-cita kebebasan dalam membangun Indonesia baru mati muda diterpa pengkhianatan kaum tua yang sok reformis. Itulah kelemahan fundamental ketika reformasi berbuntut ‘repot-masih’ hingga kini.

Kelemahan inilah yang barangkali tak mau diulangi 12 mahasiswa Seni Rupa ISI Denpasar, yang tergabung dalam Komunitas Sandal Jepit. Hanya keledai yang jatuh dalam lubang yang sama. Kebebasan ada pada jiwa yang sederhana. “Kami melihat hanya para pejabat yang selalu bersepatu ke kantor. Sedangkan orang kecil ke mana saja pasti bangga memakai sandal jepit. Kami menilai sandal jepit identik dengan orang kecil yang berjiwa sederhana,” ungkap I Made Mahardika, personil Komunitas Sandal Jepit.

Pelopor Komunitas Sandal Jepit, I Putu Edy Asmara Putra bergulat dengan pertanyaan revolusioner, “Mengapa kaum muda selalu menjadi pelopor perubahan tetapi tak bisa mengarahkan dan mengisi perubahan itu dengan nilai-nilai ‘kemudaan’? Jawabannya singkat. Kaum muda tak mampu menakar kekuatan diri, mudah bangga disemat atribut pahlawan dan tak lihai meramu ideologi perjuangannya. Itulah sebabnya, kaum muda mudah diperalat kaum tua. “Kami sebagai rakyat seperti sandal jepit yang selalu dimanfaatkan mereka para elite politik dalam perjalanan untuk mencapai suatu kedudukan (baca: kekuasaan). Kami hanya dijadikan alas kaki bagi mereka untuk melindungi kakinya dalam perjalanan mereka,” komentar Putu Edy dalam liris Akhir Sebuah Perjalanan.

Menarik, Putu Edy merangkum situasi carut-marut negeri ini dalam suatu seni instalasi. Penikmat seni bisa saja menabur sikap anggap remeh kala melihat berbagai karya seni Komunitas Sandal Jepit. Pasalnya, berbagai karya yang dipajang terkesan biasa-biasa saja. Spiritualitas sandal jepit tidak terletak pada kuantitas ornamen maupun kualitas aksesoris. Sebaliknya, sandal jepit identik dengan kaum terpinggirkan yang mudah diinjak-injak haknya oleh masyarakat kelas atas. Namun kaum sandal jepit selalu menjadi ‘prajurit pagar betis’ di medan laga revolusi sosial budaya dan sosial politik. Bahkan, penggerak utama bangkitnya roda-roda humanitarian di perhelatan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.

Sejauh mana keunggulan spiritualitas sandal jepit ada pada karya instalasi Putu Edy. Ada dunia ideal ‘gaya Plato’ yang mau dicapai lewat pendakian tangga simbol proses perjuangan dan kematangan. Tangga awal ada sandal jepit, tangga tengah ada sandal jepit, di puncak pun ada sandal jepit dan di jurang kematian (keranjang kardus) ada sandal jepit. Ini artinya, jiwa revolusioner merupakan gerak daya cipta, karsa dan kreasi yang tak ternoda dengan nafsu kekayaan dan kekuasaan.

Lihat, tak ada sandal kulit apalagi sepatu kulit di puncak perjuangan. Kelemahan mendasar kaum muda dalam setiap perjuangan revolusioner adalah selalu cepat tergoda dengan tawaran kekuasaan dan bisa menjual cita-cita dengan tawaran rupiah atau dollar. Kebebasan hanya dicapai dengan memupuk dan mempertahankan jiwa kesederhanaan sampai ajal menjemput. Selamat berkarya buat I Putu Edy, I Wayan Darmawan, Miranti Kusuma Putri dkk! (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :