Jumat, Juli 08, 2005

Beny Uleander

Menilik Perilaku ‘Sakit’ Waria Dan Homo

Reposisi Hak Dan Peran Dari Panti Waria

“Hati kami sakit kalau disuruh orangtua harus berpenampilan seperti laki-laki,” ungkap Corazon, salah seorang waria yang menjadi Miss Kudos dalam acara Bali Fashion Week VI lalu di Kuta dalam nada suara nan getir. Memang di mana-mana, kehadiran waria selalu ditolak, dilecehkan dan posisi mereka kian termarjinalkan dalam ruang-ruang sosial yang hanya menyiapkan format peran bagi manusia berjenis kelamin pria dan wanita.

Sementara, waria adalah manusia yang terlahir sebagai pria lengkap dengan organ-organ seks kepriaan tetapi pribadi dan jiwa mereka sesungguhnya adalah wanita. Kenyataan inilah yang membuat kaum waria selalu merasa terpojok dan menjadi barisan manusia sakit hati. Pertama, mereka umumnya ditolak oleh keluarga dengan melarang keras bersikap kewanita-wanitaan. Mereka dianggap sebagai aib keluarga. Perasaan tak diterima keluarga merupakan penderitaan batin maha dahsyat. Bukankah mereka tak menghendaki lahir sebagai waria?

“Coba tanya apakah ada waria yang mau jadi waria kalau tidak karena pembawaan sejak lahir,” ujar Komang Sri Marheni, S.Ag yang kerap melakukan penyuluhan bahaya HIV/AIDS kepada kaum waria di Denpasar.

Kedua, kaum waria dianggap sebagai manusia yang ‘sakit’ karena keterarahan seksual kepada kaum sejenisnya. Padahal agama wahyu di bawah kolong langit mengutuk perilaku tersebut sebagai dosa yang paling berat. “Kami ingin dilindungi oleh pria seperti wanita normal lainnya,” tutur Ria, bukan nama sebenarnya, waria yang sering mangkal di kawasan Renon.

Lanjut, Ria yang sedang menempuh S1 di Fakultas Hukum Unud, mereka amat kesal dengan prilaku munafik kaum homo. “Mereka itu (kaum homo –Red) sih munafik. Jiwanya perempuan tetapi tidak berani mengaku terus terang. Khan takut ditolak dalam pergaulan masyarakat. Kalo kami (Waria –Red) ya sejak kecil berpenampilan layaknya wanita. Memang kaum homo itu tidak berani menyatakan diri kalo mereka itu banci,” sindirnya.

Masyarakat awam umumnya menyamaratakan waria dengan kaum homo atau lesbi. Padahal ada bedanya. Menjadi waria bukan suatu pekerjaan atau status tetapi merupakan pembawaan sejak lahir ‘given’ (terberi -Red) bukan to be (menjadi -Red). Sebaliknya, orientasi seksual kepada sesama jenis masuk dalam daftar kelainan seks setara dengan hiperseks, masochisme atau bestialisme. Manusia memiliki kemampuan bi-seks hanya kemampuan untuk menyalurkan secara tepat merupakan suatu tantangan. Corazon sendiri mengaku meski terlahir dengan jiwa perempuan tetap merindukan suatu saat punya anak.

Reposisi hak-hak dan peran homoseksual bertabrakan dengan konstruksi orientasi mereka yang masuk kategori penyakit sosial, tren kebobrokan moral yang wajib diatasi, bukan hak azasi manusia yang mesti dilindungi seperti dituntut oleh kaum gay sekarang.

Kaum konservatif (baca: institusi agama) memegang kisah Luth, masyarakat Sodom dan Gomora untuk mengingatkan manusia untuk menjauhi kebejatan moral yang tercermin dalam praktek homoseksual. Artinya, prilaku homo seks dilihat akibat lingkungan pergaulan yang salah dan bisa ditularkan kepada sesama jenis.

Hasil penelitian dan penelusuran Yayasan Priangan Jawa Barat di Bandung menunjukkan tingginya kasus homoseksual terjadi di kalangan pelajar. Sebanyak 21% siswa SLTP dan 35% siswa SMU disinyalir telah melakukan perbuatan homoseksual. Survei di tujuh kota besar di Jawa Barat semakin memperjelas kondisi itu.

Survei ini dipertegas lagi dengan adanya temuan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Jawa Barat. Setelah melakukan polling antara bulan September-November 2002 dengan menyebar angket sebanyak 400 lembar, hasilnya cukup mencengangkan. Sekitar 75% pelajar dan mahasiswa di berbagai kota di Jawa Barat melakukan penyimpangan kategori kenakalan remaja. Mereka terlibat tawuran, narkotika dan penyimpangan perilaku seksual.

Survei menunjukkan 45% pelajar melakukan perilaku penyimpangan seksual dan di antaranya 25% pelajar pria melakukan perbuatan homoseksual. PII menggunakan responden berusia antara 12-24 tahun. Disinyalir pula ada komunitas kaum homoseksual di kalangan pelajar tersembunyi dan mereka berada di sekolah-sekolah favorit.

Sejarah pengakuan hak-hak sipil termasuk izin bagi kaum homo untuk berkeluarga sejauh ini baru dikeluarkan oleh tiga negara yaitu Belanda, Belgia dan Kanada. Di Indonesia sendiri, kehadiran waria, homo atau lesbi masih dianggap sebagai aib. Lantas, di manakah titik awal kaum berprilaku sakit ini membangun identitas politik mereka?

Menarik, hadir gagasan orisinal yang dilontarkan gadis remaja, I Dewa Ayu Kusuma Wardani siswa kelas III SMP Saraswati I Denpasar. “Kasian aja liat waria mangkal di jalan merusak pemandangan. Saya setuju kalo ada perkumpulan waria ya seperti panti waria-lah yang cocok buat mereka,” timpal field commander Drum Band Saraswati I, kelahiran Denpasar, 2 Oktober 1991.

Gagasan sederhana Kusuma Wardani mendapat dukungan dari Guru Olahraga SMP Sila Chandra Batubulan, Wayan Gita. Dikatakan, para waria perlu bersatu di panti waria. Di tempat itu mereka belajar menempa diri di bidang intelektualitas, mendalami ketrampilan tertentu dan bisa juga menjadi atlet yang berprestasi. “Selama ini mereka sudah mulai membentuk tim bola volley yang bertanding sampai di desa-desa. Itu kegiatan yang positif,” timpal pria kelahiran Batubulan tahun 1964.

Menurut tokoh pendidikan Bali, Drs IB Arthanegara, kaum waria harus dilihat sebagai manusia yang tetap memiliki kelebihan dan kekurangan seperti manusia lainnya. Upaya konkrit membangun kesadaran identitas kaum waria tidak harus dengan melokalisasikan mereka di suatu tempat. Memang diakuinya ada waria yang menyalurkan seks secara serampangan di pinggir-pinggir jalan, seperti di Denpasar di kawasan Renon dan Gatsu Barat. Itu tidak berarti pemerintah harus mengakomodir wacana membangun lokalisasi khusus waria agar tertib, mudah dipantau dan tidak liar.

Cara yang tepat? Ya dirikanlah Panti Waria. Langkah elegan ini direspon positif I Gusti Made Adi Kusuma mantan Ketua Harian Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMNS) Cabang Bali. “Contohnya di Bali sudah ada Gaya Dewata (Perkumpulan Waria –Red). Ya tinggal ditingkatkan saja visi dan mutu kegiatannya. Selain itu, Depsos harus memberikan alternatif lain yang dapat mengangkat citra positif kaum waria. Jangan mereka sebatas dikasari dan dikejar trantib dan tibum saja,” ujarnya.

Memang masih panjang jalan yang harus dilalui kaum waria, homo dan lesbi akan pengakuan masyarakat atas peran dan hak-hak sipil mereka. Namun perjuangan itu harus dimulai dari kaum waria sendiri. Caranya, ya bersatu membangun panti waria. Pasti di sana ada gagasan sosial dengan paradigma yang konkrit dan terarah. Kalau perjuangan meraih hak secara sporadis, sudah pasti waria hanya berani ngumpet dan tetap menjadi manusia yang berprilaku sakit dan sekaligus jadi barisan sakit hati sampai ajal menjemput.

Selama ini baru Dede Oetomo, staf pengajar di FISIP Universitas Airlangga yang berusaha merintis posisi identitas kaum homo, tetapi masih berjalan sendirian ibarat nyanyian sunyi di padang jagat semesta. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :