Sabtu, April 15, 2006

Beny Uleander

Amanda Et Amiranda

‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’ (Demikian ungkap Erich Kastner dalam In Memoriam Memoriae).
Ungkapan Kastner kembali aktual dalam melukis-kenangkan situasi paradoksal yang menimpa negeri Indonesia sejak kemerdekaan hingga era SBY-Kalla berkuasa. Di mata Cornelis de Houtman, Nusantara adalah surga rempah-rempah yang selalu menggoda untuk dicintai dan dikagumi (amanda et admiranda). Alam yang indah, kekayaan flora dan fauna yang beragam, perut bumi menyimpan emas, besi dan tembaga dan letaknya strategis di jalur perdagangan dunia. Itulah keindahan Indonesia. Lantas muncul pertanyaan bernada kegusaran. Kenapa kekayaan alam melimpah tetapi rakyatnya berjubel di lorong kemelaratan. Hidup keseharian penuh dengan kegaduhan. Mengapa penduduknya yang banyak lebih membesarkan mata untuk menyorot kehidupan moral orang per orang. Sementara wajah kemiskinan, aktor koruptor dan pengangguran yang terus meningkat tidak dilihat sebagai persoalan mendesak untuk diselesaikan? Ada apa denganmu bangsaku?
Ada banyak analisis sosial, budaya, politik dan ekonomi untuk mencari akar kelemahan manajemen bangsa. Salah satu kajian kaum budayawan menyebutkan bangsa ini tidak memiliki tradisi tata kelola sebuah nasion yang kokoh di semua lini.
Tentu perbandingan atau kiblat selalu terarah kepada negara tetangga di Asia Raya maupun Asia Tenggara. Jepang, pernah menjalani sebuah periode isolasi diri yang cukup lama terhadap dunia luar. Setelah kehidupan internal sosial, budaya, politik dan ekonomi maupun pertahanan kokoh baru membuka diri terhadap dunia luar yang dirintis Kaisar Meiji (Restorasi Meiji). Kebijakan isolasionisme Tokugawa yang berlangsung selama 250 tahun itu sukses dari segi konsolidasi psikologi dan identitas nasional. Organisasi masyarakat dan kenegaraan yang konstan, kuat dan kokoh ketika terjun dalam percaturan dunia internasional. Adaptasi hasil kebudayaan luar tidak merusak tetapi justru memperkaya. Patokan moral umum adalah keseimbangan tempat antara kebaikan dan kejahatan. Ada tempat untuk hal yang indah dan jelek.
Dalam kurun waktu yang sama dengan Tokugawa, Amangkurat II langsung mengundang VOC untuk campur tangan militer langsung dalam negeri sendiri. Berbeda dengan China yang setali tiga uang dengan Jepang. Mao Zedong dan kawan-kawan juga menerapkan isolasionisme politik dan ekonomi RRC sekian dasawarsa, sehingga fase pembukaan diri kemudian oleh Deng Zioping terhadap adikuasa politik ekonomi Barat terasa tidak membahayakan lagi. Soekarno pun pernah mencobanya tetapi momentum kurun maupun taktik tekniknya kurang memadai. Persoalan dikacau lagi dengan revolusi sosial yang ingin dipercepat PKI. Akhirnya yang terjadi konsolidasi politik terdahulu lalu diikuti ekonomi. Di era Orba terjadi pergeseran, konsolidasi ekonomi sebagai panglima pembangunan diikuti bidang politik. Di era Reformasi, konsolidasi di bidang hukum menjadi trend. Lalu ada pembenahan sistem politik yang masih labil dan ekonomi sangat kocar-kacir. Kondisi keuangan negara yang cekak ‘memaksa’ SBY harus ambil komando nasional dengan paling awal membayar pajak yang disaksikan publik. Besar harapan para wajib pajak bisa mengikutinya.
Awal tahun 2006, ada ‘arah angin baru’ yaitu konsolidasi investasi asing. Langkah awal, pemerintah membabat habis semua perda maupun peraturan birokratis yang menghambat keluarnya izin usaha. Fakta di lapangan menyisakan kisah duka. Pejabat di daerah ‘enggan’ mengikuti gebrakan presiden. Alasannya, kurang koordinasi pusat atau daerah tidak bisa diterima secara moral. Seruan presiden di back-up media massa. Pasti didengar pula birokrat di penjuru Nusantara. Alasan yang tepat soal kelambanan yaitu mental pungli sukar dihapus hanya dengan seruan presiden. Sementara elite kekuasaan tidak melakukan ‘turba’ alias cek dan ri-cek. Keputusan yang diambil soal keengganan investor karena hak-hak kaum buruh terlalu ‘istimewa’ sehingga UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi. Sungguh tragis.
Bagaimana dengan kiprah DPR? Justru isu paling hot adalah bagaimana menggolkan UU Polisi Moral yang membuat kisruh di tingkat akar rumput. Kita dihadapkan pada sebuah parade kebodohan tentang ruwet-rentengnya relasi ranah publik dan privat. Yang privat dijadikan bahan pembicaraan publik, sementara urusan publik dicarikan penyelesaiannya secara privat, seperti debat para presiden Indonesia tentang ayam panggang atau para caleg yang malahan konsultasi ke juru kunci kuburan. Kita terjebak dalam permainan klise massal yang penuh kegenitan, gossip bernada fitnah (baca: lebih kejam dari membunuh). Kita bak gerbong kereta digiring melakukan distorsi terhadap logika dan common sense.
Di pojok kebingungan ini, kita bertanya kapan agenda konsolidasi sosial, keamanan dan kebudayaan? Masih amat jauh, entah sampai kapan. Hasilnya, bangsa ini menderita krisis identitas di tengah serbuan arus globalisasi politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Buktinya, secara politik kita belum siap menerima liberalisasi ekonomi tetapi secara de facto pemerintah sudah menerapkannya?
Lemahnya tata kelola kenegaraan dan sistem pendidikan menjadi titik keprihatinan menyorot keterpurukan ekonomi bangsa yang tak kunjung berubah pasca resesi global tahun 1997. Thailand kembali bangkit karena konsolidasi kemasyarakatan dan kenegaraan sudah kokoh. Thailand dan Korut bisa bangkit karena mereka pun pernah menerapkan kebijakan isolasionisme. Korea Utara masih berlangsung hingga kini. Intelijen maupun investor asing sukar masuk ke negaranya.
Persoalan terkini yang dihadapi bangsa ini adalah tingginya angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun. Sementara lapangan kerja yang terbatas menyebabkan lebih dari setengah angkatan kerja yang tidak terserap pasar. Kondisi ini diperparah lagi dengan kegiatan ekonomi makro yang lesuh. Akibatnya, banyak perusahaan besar membatasi jumlah karyawan dan mengurangi/pemotongan gaji.
Sementara di tingkat global, berdasarkan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pertumbuhan ekonomi global gagal menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi kemiskinan.
Saat ini, kata Direktur Jendral ILO, Juan Somavia, setengah pekerja di dunia memiliki penghasilan di bawah dua dolar AS per hari sehingga tidak mampu mengangkat dirinya dan keluarganya ke atas garis kemiskinan. Laporan tersebut menekankan bahwa di banyak negara berkembang, permasalahan utamanya bukan pengangguran namun sedikitnya kesempatan kerja dengan pendapatan yang memadai.
Di Indonesia, pada bulan Oktober 2005 lalu terdapat sebanyak 106,9 juta angkatan kerja dan 95,3 juta di antaranya bekerja serta 11,6 juta orang penganggur. Selama periode Agustus 2004 - Oktober 2005, jumlah angkatan kerja bertambah sekitar 2,9 juta, sementara dalam periode yang sama jumlah pertambahan tenaga kerja yang terserap hanya 1,6 juta orang. Perkembangan ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesempatan kerja adalah masalah yang sangat serius bagi Indonesia. Langkah isolasi diri yang urgen saat ini (jangkah pendek dan pragmatis) adalah perbaharui UU demi melindungi hak-hak rakyat (buruh dan kelas pekerja) agar tidak sekedar jadi mesin produksi tetapi dijadikan mitra kerja. Kekayaan alam sudah terlanjur dijual seperti kasus Freeport dan Blok Cepu. Akankah kita menjual keindahan kita yang terakhir yaitu: manusia Indonesia yang sudah lama menderita? ‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’
KPO/EDISI 103 APRIL 2006

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :