Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Kaisar Aji Mumpung

Ibnu Khaldun, pemikir Islam, kelahiran Tunisia, 1332, tekun mendalami naskah-naskah sejarah karya Homerus. Penulis Muqqadima ini, mencatat bahwa kisah sejarah sering dicampuradukkan dengan mitos. Homerus menulis kisah seekor lebah hinggap di bibir bayi Plato yang tertidur pulas. Orangtua Plato merasa heran dengan petunjuk alam ini sehingga mereka mendatangi seorang ahli nujum.
Dikatakan, kelak pada masa dewasa, dari bibir Plato akan meluncur kata-kata manis, penuh hikmat dan petuah kebijaksanaan. Banyak orang akan datang bersimpuh di hadapannya hanya ingin mendengar ajaran dan pengetahuannya. Memang benar, Plato kemudian dikenal sebagai filsuf Yunani masyhur sejajar dengan gurunya, Sokrates. Bahkan, nama muridnya, Aristoteles pun tetap tersohor hingga abad ini.
Setiap zaman selalu melahirkan tokoh-tokoh besar yang berpengaruh terhadap kehidupan sesamanya. Mereka menjadi besar karena kedalaman pengetahuan, kepekaan batin menangkap tanda-tanda zaman, kebeningan nurani dalam mencermati carut-marut kehidupan masyarakat, dan mereka tidak larut dalam eforia gaya hidup temporal. Sebaliknya, ketokohan mereka terletak pada gaya hidup bersaja dan bermartabat yang menjadi obor kehidupan banyak orang.
Di Bumi Nusantara, ada sederetan tokoh besar di bidang ketatanegaraan, agama dan kesusasteraan. Ada nama Kertanegara, Patih Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, KH Agus Salam, Soekarno, IJ Kasimo, Sutan Takdir Alisyahbana, HB Jassin, Abdurahman Wahid, Nuscholish Madjid, atau Iwan Fals.
Satu keunggulan mereka adalah konsistensi sinergis antara pikiran, ucapan dan tindakan. Terkadang pola pikir mereka yang sudah jauh maju ke depan membingungkan orang pada zamannya. Tetapi generasi kemudian akan menikmati loncatan pemikiran mereka. Di sini, seorang tokoh adalah seorang pertapa yang masuk dalam keheningan batin dan mengumpulkan realitas penggalan kebenaran yang tercecer dalam album kebijaksanaan.
Dalam kultur masyarakat feodal-patrilineal, seperti di Indonesia, figur tokoh memegang pengaruh sentral atas kehidupan sosial tertentu. Sebab, konstruksi sosial dan sistem budaya tersebut memberikan privelese tertentu kepada orang yang ditokohkan. Adakalanya, kehidupan dan perkataan sang tokoh menjadi sumber identitas dan rujukan gaya hidup masyarakat sekitarnya.
Dalam iklim inilah, Jayabaya meramalkan akan datangnya seorang Ratu Adil yang memimpin negeri ini. Kerinduan historis akan kehadiran Ratu Adil ini dimanfaatkan efektif para pemimpin negeri ini. Soeharto mengidentifikasi kekuasaannya dengan personifikasi Kerajaan Mataram kuno. Kala meletakkan jabatannya, ia menggunakan term keraton; lengser keprabon. Padahal, kursi presiden itu adalah kursi rakyat, dan tak dapat diwariskan kepada anak cucu.
Demikian pula, kehadiran Megawati Soekarnoputri yang diusung partai Wong Cilik, membangkitkan kembali memorial historis akan sosok Ratu Adil. Namun, dalam fakta politik, Ratu Adil tidak pernah dialami konkrit penduduk negeri ini kecuali dalam wadah harapan. Barangkali, dalam teropong niskala, Jayabaya sudah melihat jauh ke depan bahwa bangsa yang besar ini akan selalu dikendalikan pemimpin yang serakah, tamak, dan otoriter. Mereka semula menjanjikan perubahan namun setelah berkuasa mulai membangun kerajaan bisnis keluarga dan partai. Mereka ibarat serigala berkulit domba.
Dalam seting inilah, mungkin Jayabaya meramalkan kedatangan Ratu Adil sebagai sebuah pelipur lara bagi rakyat yang tertindas agar tetap bertahan hidup. Barangkali pula, Jayabaya membungkus ramalannya sebagai seruan profetis (kenabian) bahwa seorang pemimpin di negeri ini akan dicintai rakyat bila ia perlahan-lahan mengembangkan karakter kepemimpinan Ratu Adil. Bukan sebaliknya, memupuk karakter Ratu Otoriter, Raja Diktator atau Kaisar Aji Mumpung.
Krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia saat ini bersumber pada krisis kepemimpinan. Kita bersyukur, kini bangsa ini berhasil memilih sendiri presidennya. Kelebihannya, rakyat bebas menentukan hak-hak politisnya tanpa didikte kekuatan partai ataupun elit politik. Kekurangannya, kalau presiden pilihan terbaik itu tidak memenuhi harapan rakyat maka rakyat tidak bisa mempersalahkan partai atau MPR/DPR.
Kembali ke akar krisis kepemimpinan nasional. Indonesia bangsa yang besar dalam jumlah penduduknya tetapi untuk menemukan sosok yang memiliki spirit ketokohan seperti mencari jarum di tumpukan 100 ton jerami. Sulit! Kalau mencari tokoh maling berdasi tak perlu repot-repot. Setiap hari wajah mereka selalu nongol di koran dan televisi sebagai pejuang hak-hak rakyat.
Sudah terlihat, para wakil rakyat yang baru terpilih kini melakukan korupsi moral maha dahsyat. Badan-badan kelengkapan DPR hingga kini belum terbentuk, sejak dilantik 2 bulan lalu. Entah kepentingan apa dan siapa yang ada di balik tarik-ulur pembentukan komisi. Yang pasti, bukan kepentingan rakyat. Kedok mereka terungkap jelas menjadikan kursi rakyat sebagai lahan mencari nafkah bukan jadi medan pengabdian. Kesejahteraan rakyat yang mereka dengungkan selama kampanye masih sebatas retorika.
Kini, rakyat Indonesia perlu hati-hati bahwa Ratu Koruptor bukan hanya mengancam pemimpin nasional tetapi juga sudah menjadi embrio raksasa di senayan pusat dan daerah. Ini bukan lagi kisah mitos tetapi fakta riil yang perlu dibongkar dengan linggis kritis dan digilas sterika reflektif. Hati-hati. Rakyat yang terus ditipu akan muak dan marah. Hai, pemimpin dan anggota dewan pilihan rakyat, anda belum terlambat mengkonstruksi jati diri Ratu Adil. Selamat berkarya! KPO/EDISI 69

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :