Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Ibu Kehidupan

Raja Sulaiman yang hidup 250 ribu tahun silam dan bertahta di Yerusalem dijuluki sebagai Raja Kebijaksanaan. Suatu ketika ia disodorkan perkara perebutan seorang bayi oleh dua perempuan yang mengaku sebagai ibu kandung. Tanpa banyak kata, Sulaiman memerintahkan kepada pengawalnya agar tubuh bayi itu dibagi dua saja dan diserahkan kepada kedua perempuan itu agar hukum keadilan ditegakkan. Kontan, perempuan yang sesungguhnya menjadi ibu kandung sang bayi menangis histeris dan memohon dengan memelas pada Sulaiman agar bayi itu jangan dibunuh tetapi diserahkan saja pada perempuan ‘ibu palsu’ itu.
‘’Pengawal serahkan bayi itu kepada wanita yang menangis itu sebab dialah ibu kandung yang sesungguhnya,’’ tegas Sulaiman. Pembelaan atas kehidupan seorang anak manusia merupakan kriteria dasar bagi Sulaiman dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Seorang ibu yang dengan susah payah mengandung dan melahirkan anaknya mengusung harapan agar rajutan kehidupan yang dijalinnya secara rahasia dalam misteri penciptaan di rahimnya tak binasa.
Sepenggal kisah tua di atas seakan menjadi inspirasi yang kuat dalam mendengar kembali nyanyian tangisan akan lakon sepak terjang manusia yang terus saja saling membinasakan. Dahulu peperangan antara kerajaan atau dinasti sekedar untuk memperluas imperium kekuasaan. Raja taklukkan diwajibkan membawa upeti tahunan sebagai ungkapan pengakuan atas kekuasaan Raja ‘penjajah’ dan penduduknya dijadikan budak. Ingat, penduduknya tidak dibantai. Bahkan diberi makan agar menjadi pekerja yang giat.
Kini suara tangisan penduduk dunia tak pernah berhenti karena selera membunuh antar manusia tak pernah pudar. Bau anyir darah tersebar di mana-mana. Wajah kematian begitu akrab di mata kita. Televisi dengan setia menayangkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan potongan daging manusia yang berserakan. Ada mayat berambut pirang di Irak, ada jasad tak berkepala di Poso, Kalimantan, ada tubuh tua renta terbujur kaku di jalan metropolis Bombay, dan ada badan yang terus hidup tanpa ditopang kesadaran jiwa. Ini yang paling tragis, mati sebelum ajal. Itulah sosok getir tubuh para pecandu narkoba. Umumnya mereka masih muda.
Generasi muda Indonesia kini di ambang kehancuran. Tak ada upaya pemerintah yang konkrit menciptakan angkatan muda yang berkualitas dalam berbagai lini kehidupan. ‘’Siapakah yang peduli dengan nasib kelam generasi muda Indonesia saat ini,’’ tanya Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan kawakan yang lama meringkuk di penjara kini mengisi hari tua dengan sepenggal harapan melihat kebangkitan generasi muda yang penuh kreativitas dan gairah meracik cita-cita. Mungkin sampai hidup berkalang tanah penulis tua itu tak bakalan melihat kebangkitan kaum muda Indonesia dalam membawa perubahan arah dan masa depan bangsa.
Alasannya, generasi muda yang melek akan menjadi ancaman kemapanan kekuasaan dan bangunan hukum di Indonesia. Bayangkan, hanya membutuhkan sepenggal waktu nan singkat, kaum muda berjuang, tahun 1998, pemerintahan Orba langsung tergusur. Coba kalau generasi muda merakit perjuangan secara sistematis pasti banyak pejabat birokrat dan aparat yang mati serangan jantung.
Mungkin di balik inilah kita bisa memahami mengapa lalu-lintas narkoba begitu lancar, aman dan cepat beredar di Indonesia. Bayangkan, uang kartal yang beredar dalam perdagangan narkoba diperkirakan mencapai 300 triliun setahun. Sungguh fantastis sekaligus sebuah rekor yang dapat menambah melimpahnya hujan air mata. Orangtua menjerit dengan suara yang meyayat hati melihat anak mereka cuma badannya saja menjadi milik mereka. Sedangkan jiwanya sudah menjadi jiwa pecandu. Pedih, perih dan mengharukan.
Namun bagi sebuah rezim yang berkuasa, situasi generasi yang demikian menjadi incaran mereka. Bukankah setelah kecanduan, generasi muda akan menderita seumur hidup dan tak lagi ambil pusing dengan masa depan negaranya. Bahkan tak peduli hukum dibuat selentur tali karet. Mudah diubah, ditarik dan dijulur ke sana ke mari tergantung kepentingan penguasa dan kalangan berduit.
Mereka juga tak gubris, bandar-bandar besar Narkoba lepas dari tangan polisi dengan alasan kesulitan menemukan barang bukti. Meski mereka tahu ada juga barang bukti yang hilang di tangan aparat. Adakah manusia di bumi pertiwi ini berhati ibu yang peduli dengan kelanjutan hidup angkatan muda? Memang ada! Tetapi para pejuang moral kemanusiaan selalu mati muda. Lihatlah Munir. Ia mati diracuni seperti Sokrates yang dituding meracuni generasi muda pada zamannya dengan pikiran-pikiran progresifnya.
Narkoba memang menjadi racun dan alat efektif dalam tindak genocide sebuah suku bangsa. Hancurkan generasi mudanya dan keruklah kekayaan alam di negerinya. Itulah visi para pelindung keberadaan jaringan narkoba di setiap negara. Mungkin visi serupa ini sedang berjalan di tanah Papua. Di sana terjadi peningkatan penderita HIV/ADIS lewat jarum suntik. Umumnya korban adalah angkatan muda. Duhai penduduk negeriku, masih adakah ibu kehidupan di rumah, sekolah, tempat ibadat, rumah sakit, supermarket dan kantor-kantor pemerintah? Semuanya diam… Ataukah semua sudah diracuninya? Duh, betapa panjangnya duka derita di negeri ini.
Manusia Indonesia abad ini adalah manusia yang menderita kesepian tak berujung. Hukum ditegakkan bagi rakyat jelata. DPR terus ricuh tanpa nada harmonis. Sementara di negara kapitalis, liberal, dan sekuler seperti AS atau Australia, posisi narkoba dan masalah pornografi masih dalam koridor wajar dan ketat.
Tidak bisa sembarang orang berkunjung ke Sex Shop, menyetir melewati kecepatan maksimum, minum alkohol berlebihan, atau menggunakan narkoba. Semua masih ada aturan dan kepastian hukum yang ketat. Hukuman bagi pelanggar adalah, hukuman kurungan badan (penjara), atau membayar,denda dan dalam pengawasan, atau dalam tanggung jawab pengacara.
Di negeri ini, invasi narkoba sudah sedemikian reaktif. Garis edarnya sudah ke pelosok desa. Transaksi narkoba meski masih ngumpet-ngumpet, tetapi sangat mudah mendapatkan sesuai kebutuhan. Karena, pengedarnya gentayangan, siap melayani pembeli.
Seorang kiai di Tasikmalaya, Jawa Barat, pernah mengatakan, narkoba sudah merasuk ke anak-anak SD dan pesantren, dengan modus jualnya berbentuk permen. Korban sudah banyak berjatuhan, masyarakat biasa, anak pejabat, pejabat, sampai selebritis. Nama seperti pelawak Polo, Derry, dan beberapa selebritis lainnya.
Seharusnya, pemerintah sadar, rakyatnya sedang digerogoti virus yang mematikan. Mungkin juga, bisa membunuh Indonesia. Anggota DPR semestinya menjadi ibu kehidupan yang menyanyikan tangisan anak-anak negeri ini, terutama nasib kaum dewasa muda yang menjadi pecandu napza. Hai wakil rakyat buatlah hukum untuk melindungi anak-anak bangsa ini agar tak jatuh dalam pelukan ibu palsu yakni narkoba yang menyusui mereka dengan halusinasi dan impian kosong tak bertepi. Teganya kau berdasi naik Volvo disaksikan daging-daging hidup. Kau bukan ibuku?! KPO/EDISI 70

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :