Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Subsidi Belaskasihan

Sejarah merekam, saat Perang Dunia II berkecamuk, banyak pilot AS dengan identitas palsu masuk Angkatan Udara Inggris, RAF, yang kesulitan memperoleh tenaga pilot pesawat tempur. Akibatnya, prestasi pilot Inggris 'palsu' ini melejit tapi membingungkan rakyat Inggris. Betapa mudahnya mereka menguasai ilmu penerbangan dalam waktu yang sekejab.
Kisah tua di atas seakan kembali berinkarnasi di negeri ini. Usai lengsernya Soeharto bermunculan orang-orang pintar di mana-mana. Ada yang mengklaim sebagai pengamat politik, pengamat sosial ekonomi, pengamat HAM, pengamat koruptor, pengamat birokrat, pengamat polisi dan kini lagi bertebaran pengamat alasan rasional kenaikan BBM. Uniknya pengamat dadakan ini pintar memberikan argumen dengan serangkaian pembenaran yang cukup logis. Namun, ujung-ujungnya rakyat kecil seperti hidup di antara lintasan lalu-lalang pendapat. Rakyat bingung dan mulai bertanya-tanya kog si anu itu tiba-tiba pandai bicara dan mampu menguasai berbagai persoalan pelik di negeri ini.
Di tengah hujaman kebingungan itu, para pengamat yang pro kenaikan harga BBM mulai berasumsi bahwa menurut data Worldbank (2004), masyarakat berpenghasilan tertinggi rata-rata menikmati subsidi Rp 393.000 per tahun sedangkan yang berpenghasilan terendah hanya menikmati subsidi Rp 72.500 per tahun
Bahkan, data distribusi konsumsi BBM dan minyak tanah yang dikeluarkan Bappenas (2004), masyarakat berpenghasilan terbawah hanya mengkonsumsi 6% BBM. Sementara distribusi konsumsi minyak tanah untuk kalangan berpenghasilan tinggi mencapai 55% dan 35% untuk kelompok berpenghasilan menengah. Sedangkan kelompok berpenghasilan rendah hanya menikmati 10%. Kesimpulan mereka bahwa kebijakan pemerintah itu tepat sasar. Khan lebih baik dana subsidi itu dialihkan untuk pendidikan gratis, pengobatan gratis untuk rakyat miskin dan pembangunan rumah untuk rakyat tak mampu. Ini langkah menciptakan keadilan subsidi.
Rasanya berbagai argumen di atas itu masuk akal karena disertai berbagai premis mayor dan minor dengan kekuatan fakta penelitian. Pada akhirnya kesimpulan yang ditarik amat sinkron, runut dan logis. Tinggal satu pertanyaan menggugat. Kalau suatu kebijakan publik itu untuk kepentingan banyak orang maka secara substansi tidak boleh ada pertentangan intern atas persoalan substansial tersebut.
Agar lebih sederhana gugatan primer di atas, kita memasuki contoh adanya keterpecahan substansial alias ‘schizroferenia’ internal alasan kenaikan harga BBM. APBN 2004 lalu mencatat pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM Rp 73,556 triliun (sekitar 14% di antara total pengeluaran pemerintah). Sedangkan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan hanya Rp 19,143 triliun dan kesehatan Rp 5,391 triliun. Berarti APBN selama ini memihak orang kaya.
Akan tetapi ada pula subsidi yang lebih memihak orang kaya yaitu dana subsidi talangan untuk bank-bank bermasalah yang mencapai Rp 60-an triliun yang tidak dicabut. Padahal dana subsidi yang diambil dari uang negara itu sama sekali tidak dicicipi rakyat miskin. Bukankah ini suatu gejala keterpecahan kebijakan substansial? Premis kedua, pemberian subsidi sejatinya untuk pemberdayaan rakyat bukan sekedar bagi-bagi duit untuk alasan keadilan. Selama kerangka subsidi lahir dari paradigma pemerataan antara rakyat kecil dan rakyat kaya, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Keadilan itu adalah suatu proyek baru yang dibiayai dengan duit negara dan dengan ongkos yang besar. Betapa tragis. Begitu besar pemerintah mengeluarkan uang untuk biaya memperdayai rakyatnya sendiri.
Sejatinya, kerangka dasar subsidi harus bermuara pada usaha penyerapan angkatan kerja. Sebab tidak ada orang yang terus makan dari belaskasihan orang lain. Belum terdengar ada negara yang sejahtera karena terus menerima bantuan dari negara kaya. Hingga kini tak ada kisah sekelompok warga menjadi jutawan karena dianugerahi harta oleh PBB.
Sebaliknya Jepang yang porak-porandan usai PD II bangkit menjadi negara industri maju di Asia karena kerja keras rakyatnya sendiri. Mereka menyingsingkan lengan baju, bekerja dihayati sebagai hobi bukan beban dan berkarya sebagai panggilan hidup. Kekuatan etos kerja inilah yang menyebab Jepang mampu menjadi negara donatur bagi negara miskin seperti Indonesia. Andai saja kala itu pemerintahnnya sibuk membagi-bagikan uang negara kepada warganya maka orientasi berpikir warganya adalah bagaimana memenuhi persyaratan agar mendapat dana subsisi.
Secara tak langsung di Indonesia dengan angka pengangguran yang tinggi, rakyat miskin semakin diberi subsidi belaskasihan. Akibatnya, kualitas mental anak bangsa adalah mental proyek dan ingin cepat kaya tetapi mengemis pada oranglain. Kalau ditolak maka segala macam cara ditempuh termasuk menjadi pencuri harta dan akhirya bisa mencuri isteri orang. Kisah ini ada dalam berita selebritis, kisan seputar selebritis dan sebagainya.
Padahal pemerintah harus mengalihkan dana itu untuk penciptaan lapangan pekerjaan. Caranya dana subsisi itu disalurkan untuk usaha kecil menengah. Nah, sudah pasti ada penciptaan lapangan kerja dan penyerapan angkatan kerja. Mereka yang tadinya menganggur kini sudah punya uang untuk biaya pengobatan, bisa membangun rumah atau untuk membiaya pendidikan anak dan kerabatnya.
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh institusi negara yang sah (pemerintah atau parlemen) dengan memenuhi persyaratan/peraturan kenegaraan yang berlaku umum. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak, kebijakan publik itu tidak boleh bertolak belakang dengan tujuan berdirinya sebuah negara yang diatur dalam konstitusi negara.
Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM bertentangan dengan beberapa persyaratan standar. Pertama, apakah kebijakan itu berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat? Kedua, apakah kebijakan itu telah melalui mekanisme baku dalam penetapan dan pelaksanaannya?
Kebijakan Pemerintah menaikan harga BBM merupakan langkah misterius yang menyakitkan hati rakyat. Pasalnya, tercium kolaborasi elegan antara elite penguasa dan elite politik di senayan. Pertama, penerapan kebijakan itu berlangsung mendadak tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Rakyat bingung, alasan mendasar kenaikan harga BBM sangat simpang-siur. Lihat saja, di satu sisi prosentase kenaikan BBM 29%, sementara Menteri Perhubungan meminta pemerintah daerah mengatur kenaikan harga jasa angkutan antara 7-12%. Sisanya, disubsidi siapa atau siapa yang nanggung. Pengusaha? Gila kan. Kedua, DPR terkesan membiarkan pemerintah berjalan seenaknya tanpa melalui tahap dengar pendapat. Ini berarti ada kolusi tingkat tinggi yang kembali terjadi di republik ini. Kita bertanya, apakah kebijakan ini sesungguhnya untuk kesejahteraan rakyat?
Kenaikan harga BMM dalam alur logika sederhana: mengkritisi alasan mendasar kenaikan harga BBM oleh pemerintah. Perlu dikaji sejauh mana efektivitas pengalihan dana subsidi ke bidang kesehatan maupun pendidikan di propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Hingga kini belum ada petunjuk khusus penyaluran dan penggunaan dana subsidi itu untuk setiap desa dan kabupaten. Kelemahan mencolok, dalam suatu analogi, ibu menyuruh anaknya yang lapar untuk segera makan. Sedangkan di atas meja sama sekali tidak ada makanan. Demikian pula dalam kasus pengalihan dana subsidi. Pemerintah beralasan dana itu untuk kesejahteraan rakyat miskin. Kita bertanya apakah pemerintah sudah menyiapkan perangkat dan aturan atau implementasi penyaluran dana tersebut dari pusat sampai daerah? Lalu bagaimana mengoptimalkan bantuan tersebut agar tepat sasar.
Perlu dikritisi kalau penyaluran dana tersebut sudah tentu memerlukan perangkat aturan dan tenaga pelaksana. Departemen mana saja yang diberi wewenang menjalankannya dan bagaimana biaya operasionalnya? Tentu dan pasti kebijakan ini menjadi ladang proyek menambang duit. Ini bukan suatu tudingan tetapi selama sistem belum disiapkan di suatu negara yang lemah penegakan hukumnya maka lalu lintas dana bantuan itu akan dinikmati ‘rakyat miskin’ yang miskin hati, miskin mental dan miskin rasa malu. Rakyat jelata ya tetap duduk kelaparan menanti makanan di atas meja pembangunan yang kosong melompong. KPO/EDISI 77

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :