Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Pendidikan Kreatif

Pendidikan yang dibangun, entah formal, informal atau non formal hendaknya memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Praktek pendidikan yang hanya mementingkan ilmu pengetahuan yang dimasukan dalam otak peserta didik lewat kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tidaklah cukup untuk membentuk pribadi peserta didik yang utuh menyeluruh. Peserta didik harus dibantu untuk belajar hidup secara lebih manusiawi dalam masyarakat, sebagai manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang seimbang baik jasmani maupun rohani. Hal ini berarti pendidikan yang dibangun, harus senantiasa berpusat dan bersumber pada pribadi manusia dalam arti orientasi dasar dari pendidikan tersebut adalah pembentukan pribadi-pribadi manusia, memberikan ruang gerak bagi kreasi pengembangan kepribadian manusia, mampu menghantar subyek atau peserta didik untuk memahami dirinya, dunianya dan sesamanya. Peserta didik adalah subyek dan pelaku utama pertama dari pendidikan itu sendiri.
Bila kehidupan masa depan peserta didik menuntut kemampuan memecahkan masalah baru secara inovatif, maka apa yang diajarkan kepada peserta didik mesti menuntut kemampuan untuk memecahkan masalah baru secara lebih baik. Kenyataan yang dialami selama ini adalah proses pendidikan didominasi oleh penyampaian informasi berupa KBM yang tertuang dalam kurikulum. Padahal idealnya peserta didik diajarkan tentang pengolahan informasi, interpretasi dan pemberian makna terhadap apa yang dipelajari. Bukan kegiatan mendengar dan menghafal. Pengolahan informasi, interpretasi dan pemberian makna terhadap KBM adalah media dan sarana membangun ilmu pengetahuan yang akan mengarah pada kualitas individu.
Kenyataan psikologis yang lain menunjukkan bahwa proses pendidikan masih didominasi oleh pendidikan yang bersifat otoriter, represif dalam arti peserta didik selalu ditempatkan dalam posisi yang lemah bila berhadapan dengan para pendidik, lembaga atau institusi. Seharusnya pendidikan memberikan suasana yang menyenangkan, yang memberikan kesempatan dan peluang bagi peserta didik untuk berkreasi, mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya yang beraneka ragam sehingga tercipta suasana belajar yang demokratis.
Kepribadian peserta didik menuntut pola perilaku yang unik dan divergen. Sebaliknya apa yang diajarkan kepada peserta didik adalah pola perilaku yang konformitas dan serba seragam. Pola pikir yang sentralistis, monolitik, uniformistik sangat kental terasa dan mewarnai pengemasan berbagai bidang kehidupan. Pendidikan yang sungguh menganggungkan pembentukan perilaku keseragaman dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian. Padahal hasilnya peserta didik sangat sulit untuk menghargai perbedaan. Bahkan perilaku perbedaan dilihat sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum. Akibatnya nilai kerja sama dan semangat persaudaraan menjadi kabur karena peserta didik diajar untuk berkompetisi dan bersaing.
Kenyataan-kenyataan seperti ini menyebabkan sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi peserta didik untuk belajar melainkan sekolah sebagai tempat yang tidak menyenangkan karena mereka harus bersaing satu sama kain. Hal ini tidak selaras dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran yang komprehensif. Praktek pendidikan sangat diwarnai oleh landasan terotis dan konseptual yang tidak akurat dan tidak menjawabi persoalan hidup peserta didik yang sedang dialami dan dijalaninya.
Berikut langkah taktis mencapai konsep pendidikan yang berorientasi pada pribadi manusia sebagai subyek. Pertama, teacher - pupil planning yaitu kegiatan atau strategi belajar dan pembelajaran direncanakan dan dipilih bersama antara pendidik dan peserta didik, bukannya direncanakan oleh pihak ketiga yaitu pihak penyelenggara pendidikan. Kedua, cooperative learning yaitu belajar bersama, saling memberi dan menerima namun dengan tujuan masing-masing perserta didik akan saling mengoreksi pemahaman mereka terhadap suatu pengetahuan serta berusaha saling melengkapi dan menghargai satu sama lain. Ketiga, individual learning and independent learning, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualkan dirinya dengan memilih metode dan isi yang dibutuhkan. Alasan utama dari model ini karena belajar adalah kegiatan individu dan sangat independen. Setiap pribadi tahu betul tentang dirinya sendiri, apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya. Keempat, group discussion, yaitu memecahkan masalah bersama dalam kelompok, saling mendengarkan pemikiran-pemikiran setiap anggota kelompok, saling menghargai perbedaan pendapat, kerja sama dalam menggali ilmu pemgetahuan, berani mengemukakan pendapat dan mengoreksi pendapatnya sendiri. Kelima, guru atau pendidik harus tampil sebagai nara sumber, fasilitator, kawan belajar serta pembimbing dalam proses pembelajaran. Pendidik tidak mesti selalu menggurui, menguasai peserta didik. Dengan demikian kelas bukanlah merupakan pusat kegiatan pendidikan (not the center of the class). Guru atau pendidik bukanlah penentu segala kebijakan dan strategi belajar. Keenam, sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik, termasuk kemampuan untuk mengekspresikan dan mengaktualkan dirinya. Dengan demikian pendidikan yang benar adalah pendidikan yang bersumber dan berpusat pada pribadi manusia, menjadikan manusia sebagai subyek pendidikan, bukanlah obyek pendidikan itu sendiri. KPO/EDISI 80

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :