Kamis, Juli 15, 2004

Beny Uleander

Panggung Sandiwara

William Shakespeare (1564), dramawan dan penyair kenamaan Inggris yang paling produktif melahirkan karya-karya sastra, suatu ketika dilanda kebingungan mengapa ia harus terus berpikir, menghayal dan menulis sebuah dunia angan-angan di atas kertas. Mengapa suatu impian tentang kebenaran, kesucian, kebaikan, cinta kasih, pengorbanan, ketulusan dan keindahan harus diungkapkan sebatas panggung sandiwara? Mengapa nilai-nilai kehidupan hanya bisa dijumpai di bioskop, teater dan gelanggang seni? Padahal semua insan mendambakan keberadaannya dalam alur kehidupan terberi ini.
Kemurungan sang penyair legendaris ini seakan menjadi akar kegelisahan eksistensial manusia zaman ini yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian antara cita-cita dan tuntutan kehidupan yang harus dijalani dan diatasi. Kehidupan itu seperti panggung sandiwara memang tepat, karena memang disajikan sebuah alur kisah kehidupan yang dikemas apik dan artistik agar 'pesan-pesan humaniora' tertanam menjadi sebongkah impian tak bertepi di hati dan benak penonton. Itulah tujuan akhir pementasan sebuah karya seni bagaimana melukis keindahan cinta lewat gerakan kanvas, memahat kesedihan batin dalam rupa patung, meneriakan dendam dan benci dalam karikatur yang konyol, mengekspresikan religiositas dalam penjiwaan sebuah tarian dan terakhir di atas panggung sandiwara, bagaimana 'segenggam hiruk-pikuk kehidupan' didandani epilog, dialog ataupun monolog agar penonton sadar, hidup itu indah, seni dan abadi.
Kebesaran seorang seniman tidak terletak pada kuantitas karya-karya artistik yang dilahirkan tetapi lebih pada kegelisahan eksistensial yang tumbuh, bergema, berdentang dan menabuh dinding-dinding hatinya. Raga, akhirnya mengalah pada panggilan jiwa untuk menuangkan suara kegelisahan dalam karya-karya puncaknya. Suara itu abadi, sejak kehidupan manusia bergulir, hadir dan ada di dunia. Anehnya, suara kegelisahan terngiang di telinga jiwa hanya ketika ada kekecewaan, kegagalan, duka cita dan kematian sendiri yang menggoncang kekekalan hidup.
Pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset tentang kekecewaan, dan dia menemukan di Library of Congress terdapat 1.500 judul buku tentang kesuksesan, sedangkan buku tentang kekecewaan hanya 16 judul. Ini mengherankan Gerhard karena observasi menunjukkan, kekecewaan sebetulnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Duka cita lebih sering terjadi daripada suka cita. Mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan suka cita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak?
Menurut kamus Webster, kekecewaan adalah perasaan yang terjadi karena menginginkan sesuatu namun tidak mendapatkan. Misalnya orang bekerja jujur, rajin dan sungguh-sungguh, tetapi sejawatnya yang brengsek dan cuma pandai menjilat atasan malahan naik pangkat, maka orang juga kecewa. Begitulah orang bisa kecewa pada bupati, kecewa pada Amerika, kecewa pada orang tua, kecewa pada anak, menantu, tetangga, kawan, suami, matahari, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan seterusnya. Bahkan orang pun bisa kecewa pada Tuhan.
Barisan kekecewaan yang kian tak bertepi ibarat pergantian babak demi babak sebuah sandiwara. Harapan akan kehidupan memacu setiap kita untuk tabah menyaksikan pergantian babak walau akhirnya kembali kecewa, entah bercermin diri sekalipun. Ada kekecewaan bodoh yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, namun terjadi juga karena kita bodoh. Akibatnya kegembiraan yang wajar terampas, suka cita yang sudah di tangan hilang. Dengan bodohnya kita mau kecewa dan membiarkan hati larut dalam kepahitan dan dendam, amarah dan duka cita, stres dan depresi, benci dan sungut-sungut, fitnah dan kekerasan.
Sebab utama kekecewaan bodoh adalah harapan yang tidak realistik, ambisi yang tidak masuk akal, keinginan yang mustahil, ilusi dan impian di siang bolong. Umumnya, tidak semua keinginan tercapai. Ingatlah, Tuhan saja tidak memperoleh semua yang diinginkan-Nya. Buktinya, adalah keinginan Tuhan agar semua manusia masuk surga tetapi kita tahu ada banyak yang masuk neraka. Jadi, jangan bodoh dengan berharap semua keinginan Anda bisa tercapai.
Agar terhindar dari kekecewaan bodoh, Pertama dan Ter-Utama; hiduplah yang realistik, jangan berharap yang aneh-aneh dan terus berharap-harap. Kedua, pelajarilah hukum alam dan kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, curigalah pada apa saja yang terlalu indah, terlalu muluk atau terlalu gampang. Biasanya, di balik itu ada penipuan. Keempat, ingatlah bahwa karya tangan Anda sendirilah yang akan membuat Anda senang, berkecukupan dan merasa bahagia. Apa yang Anda terima dengan sangat gampang akan lenyap dengan sangat gampang. Kelima, renungkanlah nasib orang-orang seperti Marcos, Shah Iran atau Mobutu Sese Seko (di Indonesia nama seperti mereka juga ada) serta manusia-manusia serakah lainnya.
Lawan kekecewaan bodoh ialah kekecewaan yang sehat, yaitu kekecewaan yang Anda rasakan ketika rasa keadilan diinjak-injak, kebenaran dijungkirbalikkan. Ketika kebaikan dibalas kejahatan, kekejian mendapat pujian. Ketika kerja keras dilecehkan, penipuan dihargai. Ketika cinta tulus dibalas pengkhianatan, kasih suci diimbali dosa. Ketika orang malas naik pangkat, orang jujur disingkirkan. Ketika kebaikan disepelekan, kesucian diolok-olok. Ketika orang kaya diperkaya, orang miskin dipermiskin. Ketika konglomerat dilindungi, seluruh rakyat dicurangi dan dimiskinkan, apalagi kemiskinan spiritual terus mendapat godaan murahan seperti kongkalikong, neko-neko yang terbias dari sebuah negosiation. Karena itulah, hidup, ada dan hadirnya kita di sini, (di manapun) pantas dan patut untuk tetap disyukuri.
Jika yang begini terjadi, maka kekecewaan adalah reaksi yang wajar. Bahkan jika Anda tidak marah dan kecewa ketika hal-hal di atas, barangkali hati nurani Anda sudah gelap, kotor pekat dan hitam kumuh. Kekecewaan ini berpotensi mengubah Anda menjadi orang besar. Kata orang bijak, kekecewaan seperti ini diberikan Tuhan agar 'manusia biasa' dapat menjadi 'manusia luar biasa'. Tengoklah, Abraham Lincoln. Hampir seluruh riwayat hidupnya diisi oleh rangkaian kegagalan dan kekecewaan. Tetapi ia selalu bangkit. "Tidak penting berapa kali engkau gagal," kata Lincoln, sebab yang penting, lanjutnya, berapa kali engkau bangkit. Ujung-ujungnya dia berhasil menjadi presiden pada tahun 1861, dan dicatat sebagai presiden Amerika tersohor dalam litani nama-nama besar lain di negeri Paman Sam itu.
Tokoh-tokoh besar dunia di bidang kemanusiaan menemukan kebenaran di balik kekecewaan yang mereka alami. Mahatma Gandhi yang ditendang dari kabin kereta api kelas I hanya karena kulitnya tidak putih, lalu berubah menjadi pejuang gerakan emansipasi tanpa kekerasan (satyagraha) yang kelak mampu mengusir penjajah Inggris dari bumi India.
Nelson Mandela yang hidup di penjara selama 29 tahun tanpa dendam dan sakit hati setelah menghirup udara segar. Nama Mandela lebih harum ketika dia mampu berdamai dengan penjajah kulit putih, bahkan bekerja sama meruntuhkan sistem aphartheid di negerinya. Dan, namanya jauh lebih mendunia kala ia dipercaya rakyatnya menjadi presiden demokratis Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam pada usia 76 tahun. Thomas Alva Edison yang pabrik dan laboratoriumnya terbakar habis namun sanggup mengagumi kobaran api yang hebat, seraya berkata, 'Biarlah semua ini terbakar habis karena sekarang kita memiliki kesempatan untuk membangun gedung yang lebih modern dan lebih besar'.
Pada akhir babak kekecewaan di atas panggung sandiwara, justru yang tertinggal cuma kesadaran akan kefanaan dan keabadian sebagai pintu gerbang menemukan arti cinta, pengabdian tanpa pamrih, pengorbanan yang tuntas dan tulus, penyerahan diri yang mutlak dan terutama adalah tujuan hidup itu sendiri. Kenapa aku terlempar dari rahim ibu, untuk apa aku hidup dan bagaimana mengisi kehidupan itu sendiri. Karya-karya seni, umumnya mengungkapkan suara kegelisahan eksistensial kemanusiaan manusia itu. Inilah kaidah mengukur kedalaman refleksi dan mutu sebuah karya seni dalam hidup dan kehidupan.
Sungguh tepat kita meletakkan kesenian sebagai bagian integral kehidupan. Di tepi ini pula, sebenarnya muara kesenian sebagai sarana membangun kesadaran sosial masyarakat yang lumpuh oleh egoisme dan etnosentrisme. Kesenian juga alat menyampaikan makna keabadian di balik kerapuhan dan kefanaan hidup. Kesenian bisa menjadi bensin dan api yang membakar kerakusan dan ketamakan sang tiran, asalkan tidak main pemantik di seberang sana lalu menyala di seberang sini. Kesenian menggerakan orang untuk berpikir dan bertindak adil, berbicara santun dan melawan nafsu setan dalam dirinya. Seni akhirnya merekatkan manusia yang berbeda suku, agama dan bangsa. Itulah khasanah kekuatan dahsyat kesenian dalam alam kehidupan ini plus meretas sekat-sekat perbedaan yang penuh bilur keserakahan. Lantas, Siapa AKU ini dan Siapa pula ENGKAU itu? Ah... Ada-Ada Saja....(Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :