Rabu, Juli 14, 2004

Beny Uleander

Geliat Pasar Malam Di Pentas Seni PKB XXVI 2004

Pesta Kesenian Bali (PKB) XXVI 2004 meninggalkan banyak catatan yang perlu dievaluasi secara cermat. Sebagai ajang tahunan apresiasi seni dan budaya, rangkaian acara yang dipentaskan tetap mendapat respon positif dari pengunjung. Membludaknya jumlah pengunjung terutama pada malam hari di areal Taman Budaya Art Centre, Denpasar ini menjadi indikasi tingginya minat masyarakat akan pementasan dan pameran karya-karya puncak para seniman.
Memang ajang PKB telah menjadi perhelatan seni baik lokal, nasional maupun internasional. Selain mengenal seni budaya Bali, para pengunjung juga dimanjakan dengan pementasan kesenian daerah dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat atau NTT. Di sisi lain, yang juga sangat menyita perhatian pengunjung adalah kehadiran pasar malam akibat disiapkan kavlingan tempat. Jumlahnya stand pasar malam jauh lebih menjamur dibanding stand pameran.
Ini penting dicatat dan menjadi bahan refleksi buat panitia, karena berbagai kalangan cukup serius menyoroti fenomena bisnis di tengah menggelindingnya acara PKB. Ada kesan bahwa PKB lebih ditonjolkan unsur bisnisnya, justru benar adanya. Ratusan stand yang dijadikan tempat berdagang bisa disaksikan para pengunjung. Di pasar tersebut, juga terjual obralan barang dengan harga, mulai setara super market, restoran hingga paling murah. Terkesan terjadi pemindahan tempat jualan bagi para pebisnis yang lihai membaca peluang pasar. Jika di Pekan Raya Jakarta, kesan yang mencuat adalah pemindahan mall, maka di PKB, terkesan pemindahan pasar rakyat dan taman mainan anak-anak. Bila ini dibiarkan, bagaimana regenerasi pelestarian budaya bisa ditanamkan kepada anak-anak.
Deretan los pakaian dan sepatu dengan jalan selebar 1 meter, pengunjung pada malam hari jauh lebih berdesakan. Kondisi ini menyiratkan plus membenarnya layak sebuah pasar, dan denyut nadi perekonomian jauh lebih terasa dibanding pementasan karya-karya seni yang sudah lama dipersiapkan. Banyak orang tua yang datang bersama anaknya cuma sekedar membeli sepatu sekolah, mainan atau menikmati ‘taman’ hiburan anak-anak. Ibu Angga, yang berdomisili di Banjar Geladag, Denpasar Selatan, mengaku mengunjungi lokasi PKB bersama anggota keluarganya sekedar membeli sepatu sekolah untuk anak keduanya yang siap duduk di bangku TK.
Beberapa pedagang sepatu dan pakaian mengakui, mereka menjual dagangannya dari pameran ke pameran. Dikatakan, kegiatan PKB selama sebulan penuh menjadi lahan subur memanen duit. Pasalnya, banyak pengunjung yang usai menikmati kegiatan seni bertandang ke los pakaian dan sepatu. Bahkan pantauan reporter pada malam hari, ada pengunjung yang langsung datang untuk berbelanja dan menonton pementasan kesenian.
Pada siang hari, los pakaian dan sepatu pun tetap ramai dikunjungi pembeli. Selain itu terdapat beberapa ‘stand judi’ yang masih bebas berkeliaran seperti mainan menebak angka, lemparan bola pingpong berhadiah dan gangsing berhadiah tape rekorder. Fakta ini seakan menciderai perhelatan seni adiluhung tersebut.
Padahal Ketua Panitia Penyelenggaraan PKB XXVI, Ir I Wayan Subagiarta menilai event tersebut bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai budaya bangsa. Kehadiran para pedagang yang begitu ramai bukan berarti mengurangi kadar pementasan karya-karya puncak para seniman di ajang ini. Hanya saja mutu penyelenggaraan yang ditangani kalangan birokrat perlu dievaluasi dan direfleksikan, demi perbaikan kualitas penyelenggaraan event bergengsi ini agar kesan terutama bukan pasarnya yang lebih mengundang pengunjung tetapi atraksi-atraksi para seniman. Eksploitasi
Pada sisi lain, sejumlah praktisi seni dan budaya baik di maupun di luar Bali menilai, PKB yang seharusnya dijadikan salah satu mosaik promosi wisata seni budaya Bali dan Indonesia umumnya, sedang digiring menjadi ‘lahan eksploitasi’. Sayangnya, Kadis Pariwisata Propinsi Bali, Drs Gede Nurjaya, MM ketika dimintai keterangannya malah mengungkapkan keengganannya untuk diwawancarai dengan alasan sakit. Padahal wartawan menyaksikan sendiri orang nomor satu bidang pariwisata ini dengan wajah segar menyambut dan menerima sejumlah tamu di ruang kerjanya. ‘’Maaf, Bapak sedang sakit,’’ kata Agung salah seorang sekretaris di kantor tersebut.
Bukan tidak mungkin, kalau acara PKB tak dikemas dengan baik, perhelatan seni ini menjadi bumbu di tengah hingar-bingar pasar malam. Akhirnya yang lebih mengemuka cuma komersialisasi PKB itu sendiri. PKB 2004 yang mengambil tema ‘Sabda Alam Kedamaian dan Keindahan dalam Kebhinekaan’ seharusnya menjadikan seni sebagai panglima perhelatan tersebut.
Menomorsatukan seni merupakan tuntutan mutlak bagi kelangsungan PKB itu sendiri yang telah menasional dan mendunia ini. ‘’Berkesenian bagi masyarakat Bali adalah sebuah persembahan, oleh karena seni merupakan sebuah karya cipta, maka yang dipersembahkan adalah karya terbaik, dan kekuatan inilah yang menjadikan kreativitas berkesenian orang Bali tidak pernah terhenti,’’ ungkap Subagiarta .
(Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :