Rabu, Juli 14, 2004

Beny Uleander

Berani Berkata TIDAK

Garuda Pancasila, Aku lelah mendukungmu
Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa
Rakyat adil makmurnya kapan
Pribadi bangsaku
Tidak maju-maju; tidak maju-maju
Tidak maju-maju

Plesetan lagu Garuda Pancasila ini dinyanyikan Harry Roesli pada HUT RI 2001, di kediaman Gus Dur. Meski Bang Harry sempat berurusan dengan pihak kepolisian, ia telah membuktikan adanya kekuatan kata di balik lagu nyeleneh tersebut yang mampu menelanjangi borok-borok pembangunan di negeri benalu ini. Bang Harry barangkali figur yang berani mewakili anak-anak bangsa yang mengatakan TIDAK untuk tetap berpegang pada kebersihan dan kebeningan nurani.
HUT Proklamasi RI ke-59; saat yang tepat untuk merefleksikan arah perjalanan bangsa, kesempatan memaknai kembali nilai-nilai kebangsaan yang telah luntur dan momen peneguhan bagi berbagai prestasi pembangunan kehidupan bangsa dan negara. Prinsip peneguhan berakar pada kepekaan dan kemampuan membaca tanda-tanda pembangunan kekinian yang sejalan dengan acuan ideologis negara yakni Pancasila dan semangat dasar pembukaan UUD 1945.
Salahkah Bang Harry ketika melihat bangsa yang besar dalam jumlah penduduk, luas wilayah dan kekayaan hayati yang melimpah tetapi lebih dari setengah penduduknya selalu menjerit kelaparan. Agak menyakitkan, jeritan kelaparan rakyat dibawa penguasa negeri ini ke telinga masyarakat internasional agar ada kucuran dana bantuan. Dana pinjaman pun bukan berkisar ratusan miliar tetapi ratusan triliunan. Namun lagi-lagi uang pinjaman itu identik dengan bayangan hantu; terlihat jelas kemudian cepat menghilang. Rakyat miskin itu kembali diberi beban baru yakni bayar hutang luar negeri beserta bunganya.
Nirmala Bonat dan kawan-kawan keheranan betapa sulitnya mencari uang hantu itu di negeri sendiri. Berbondong-bondong penduduk yang hidup di negeri kolam susu ini seperti didendangkan Koes Plus, memilih menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kelapa sawit di negeri Jiran, Malaysia. Pada zaman penjajahan Belanda dan masa pendudukan Jepang ada istilah kerja Rodi dan Romusha. Tenaga rakyat diperas sebagai suka relawan.
Demikian juga di era kemerdekaan, pemerintah senang ada rakyat Indonesia bekerja di luar negeri karena mereka akan mendatangkan devisa bagi negara. Lalu kas negara itu milik siapa? Tidak mungkin sepenuhnya menjadi milik negara karena banyak duit negara, seperti disinyalir ekonom vokal Kwik Gian Kie, yang menguap hilang seperti hantu per tahun. Siapa pencurinya? Hantu! Nyatanya, bukan.
Lantas? Ya, ada buktinya, lembaga peradilan di negeri ini kesulitan menemukan bukti kalau manusia Indonesia sebagai pelakunya. Kasihan Nirmala Bonat cs bekerja untuk hantu. Kalau zaman nenek moyang jelas, mereka kerja paksa untuk Tuan-tuan Belanda dan Shinse Nippon. Sejarah selalu terulang tetapi dengan wajah baru, dan bermerk tak berperikemanusian dan berperikeadilan, apalagi berperilaku sosial!
Kelirukah Bang Harry ketika berani berkata TIDAK. Tidak benar, kini rakyat adil makmur dan sejahtera. Tidak benar, rakyat Indonesia sudah menikmati kemerdekaan hidup dan hak-hak sipilnya. Pun tidak benar, substansi nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman pembangunan bangsa. Mungkin YA untuk kerangka dan sistem formal kenegaraan.
Pembangunan kembali Indonesia baru harus dimulai dengan keberanian berkata TIDAK, sepenggal kata yang biasa-biasa saja tetapi memiliki kekuatan dan energi kehidupan. Dengan berkata TIDAK (baca: dalam konteks di atas), generasi muda bangsa terlepas dari propaganda semu bahwa bangsa ini siap lepas landas menuju surga kesejahteraan. Katakan TIDAK, meski seruan itu akhirnya dibungkam dengan teror dan penyekapan. Tetapi energi kata TIDAK itu akan selalu menusuk dan menikam hantu-hantu yang bergentayangan di kanal-kanal kekuasaan negeri ini.
Kata TIDAK bukan sekedar seruan perlawanan tetapi juga permakluman diri kalau Saya, Anda dan Kita adalah pewaris sah negeri Katulistiwa ini. Katakan kalau Anda bukanlah pengkhianat saudara sebangsa, apalagi tergolong sekawanan hantu. Katakan Anda bukan hantu. Katakan Anda, Saya dan Kita bukanlah pelaku-pelaku pengkhianat dan jelas bukan hantu-hantu yang bergentayangan di siang bolong. Lebih baik mati daripada menjadi hantu. Itulah sebabnya ada kisah bahwa Gus Dur benar-benar percaya pada isyarat dari makam-makam leluhur. Kelihatannya dia memang percaya, sebab Gus Dur selalu siap dengan gigih dan sungguh-sungguh membela "ideologi"nya itu. Padahal hal tersebut sering membuat repot para koleganya. Tapi, ini mungkin jawaban yang benar, ketika ditanya kenapa Gus Dur sering berziarah ke makam para ulama dan leluhur. ‘’Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.’’
Berbagai kegiatan seputar HUT Proklamasi RI biasanya berubah menjadi ritus seremonial yang bermuara pada renungan politik, yang kebanyakan hanya jadi momentum politik buat penguasa yang tetap korup. Kendati pun merenung makna kemerdekaan dan untuk menghormati para pahlawan, adakah mereka menghargai pengorbanan jiwa dan raga pahlawan-pahlawan yang gugur karena melawan penjajah itu? Andaikan mereka sungguh menghargai, tidakkah mestinya korupsi dan kebobrokan manajemen kekuasaan tidak akan sampai seperti sekarang?
Suatu ketika Soekarno, seorang pemuda yang larut dalam idealisme perjuangan mencari jalan kemerdekaan bagi bangsanya dari kuk penjajahan, berjalan-jalan di sebuah daerah pedesaan yang sepi. Seperti sikap seorang filsuf yang tengah merenung, Soekarno tertegun kala menyaksikan seorang petani dengan tenang bekerja di sawah. Terlintas dalam benaknya, keasyikan bekerja membuat orang lupa akan keadaan di sekelilingnya. Petani itu bernama Marhaen.
Sejak saat itu, Soekarno terobsesi membangun sebuah negeri dengan semangat Marhaen dan hasil karya pembangunan harus menyentuh langsung kalangan Marhaen. Memang sekelebat ide Soekarno terasa dangkal namun bukan Soekarno namanya kalau tidak menuangkan ide Marhaen menjadi sebuah guratan ideologi pembangunan negara yang berpijak pada kepentingan wong cilik dan semangat kerja keras.
Menyedihkan sekali, khasanah marhaenisme mati suri di negeri ini. Bangsa ini bangkrut karena generasi penerusnya tergelincir dalam ideologi konsumtif paruh akhir abad 20, dengan menjunjung prinsip easy going dan carpe diem; nikmatilah hidup hari ini. Siklus kerja sang petani diabaikan: bangun pagi, mencangkul tanah, menabur benih, menyiram tanaman, membersihkan gulma, panen dan menjual hasilnya guna memperoleh uang untuk biaya hidup sehari-hari. Yang terpelihara cuma nafsu memburu kesuksesan instan tanpa melalui kerja keras.
Menjadi kaya tanpa usaha yang ditempuh lewat dua jalan lebar, --korupsi uang dan waktu, dan menjadi hantu di Legislatif, Yudikatif, Ekskutif, Pers, Lembaga Pendidikan, dan atau di Perusahaan Swasta--. Kehadiran hantu, kata orang, membuat bulu roma merinding, jantung berdegup ketakutan dan kengerian yang luar biasa. Betapa rakyat Indonesia masih dilanda kengerian, ketakutan dan trauma akan teror, penculikan, militerisme, pemerkosaan massal Mei 1998, penembakan gelap atau penataran P4 tanpa jemu. Individu yang bermental hantu cenderung menghancurkan persatuan negara sedangkan rekan kerja yang bertampang hantu merusak visi dan misi kekaryaan dengan gosip dan fitnah. Ngeri deh kalau ada hantu. Apalagi jadi hantu! Mari Kita, Anda dan Saya mengatakan TIDAK untuk YA di hari Kemerdekaan 17 Agustus ini. (Beny Uleander/KPO EDISI 64)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :