Selasa, Juni 15, 2004

Beny Uleander

Pertikaian Seputar Perut

Karl Marx, pria kelahiran Trier, Jerman yang populer dengan ‘Sosialisme Ilmiah’, menuangkan intisari pemikirannya dalam Das Kapital (1867) yang membingungkan kawan dan lawannya. Ia terobsesi bahwa kemakmuran suatu masyarakat bakal tercipta ketika unsur kapitalisme seperti kepemilikan modal dan penguasaan sumber-sumber produksi atas nama pribadi atau kelompok swasta dipangkas tuntas.
Pendapat Marx ini berangkat dari keprihatinannya akan realita kemiskinan yang membelit masyarakat kecil. Kaum bangsawan Eropa begitu bangga dengan keningratannya dan puluhan hektar tanah yang dimiliki. Kedudukan sosial mereka kian melambung berkat akses kuat dalam semua bidang kehidupan baik politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama. Rakyat jelata seperti anjing piaraan yang menunggu jatuhnya remah-remah nasi dari meja tuannya.
Bagi Marx, revolusi sosial adalah solusi terampuh menghapus struktur sosial dan menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas. Ini sebuah jalan tunggal menghalau kemiskinan dan kemelaratan. Patut disayangkan, Marx sampai hembusan napas terakhir tak sempat menikmati realisasi idenya tersebut bahkan ia mati di London, dalam kemiskinan yang mengenaskan.
Juga para pengikut Marxisme harus dengan rendah hati mengakui, sehebat apapun sebuah ideologi maupun mazhab jika gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat, cepat atau lambat akan tereliminasi dalam perjalanan sejarah dan waktu. Memang terbukti, negara-negara komunis seperti Uni Sovyet bangkrut dan mati muda. Cina sendiri walau berpegang pada dalil-dalil Marxisme tetapi tidak bersikap puritan menata perekonomian negaranya.
Ada kolaborasi elegan antara ortodoksi masyarakat tanpa kelas dan kebebasan individu mengejar kekayaan dan kesejahteraan pribadi, asalkan sumber-sumber produksi dikuasai dan diawasi negara. Sikap politik ini urgen untuk memancing masuknya investor ke negeri tirai bambu ini dan mencegah perut rakyat kosong tanpa makanan.
Adakah hal yang istimewa berhasil ditorehkan seorang Marx dalam menggagas dasar-dasar kemanusiaan yang universal? Ada! Marx seorang pemikir besar yang melahirkan ide marxisme sebagai sebuah ‘teriakan’ dan ‘peringatan’ telah matinya rasa senasib dan sepenanggungan antar sesama manusia. Marx kecewa terhadap kehadiran agama yang dianggapnya cuma membius umatnya dengan semangat ketabahan, mati raga dan asketisme sebagai jalan spiritual, sementara realitas kemiskinan umat dibiarkan.
Hanya saja, Marx jatuh dalam pandangan ekstrim sampai menolak kehadiran agama yang merupakan sarana membangun hubungan antara yang ilahi dengan manusia atau sumber inspirasi membangun tatanan sosial yang berlandaskan moral, etika dan hati nurani. Minimal, Marx berhasil menjewer telinga tokoh agama dan penguasa yang tuli dengan kemiskinan dan mencabik egoisme yang mengakar kuat dalam diri manusia.
Terlepas dari debat kusir ideologi marxisme yang diharamkan Orde Baru dan memperoleh stigma sebagai bahaya laten, kita mesti bersikap arif bahwa keprihatinan dan teriakan Marx harus juga menjadi kegelisahan dan teriakan kita kala urusan perut menjadi wacana yang memalukan di negeri yang berlimpah susu dan madu. Negeri ini kaya akan hasil alam dan memiliki tanah subur berkat curahan hujan yang tinggi, plus harta karun lautan yang luas terbentang dari Sabang-Merauke.
Tetapi mengapa kita masih mengimpor beras dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan pokok si Yoyo dan si Cecep agar bisa berangkat sekolah dengan perut kenyang? Mengapa anak-anak negeri yang berapi-api meneriakan slogan nenek moyangku orang pelaut, mengimpor garam dari negeri tetangga? Seharusnya kita seperti induk ayam yang mengerami telurnya di atas tumpukan jerami.
Kenyataan pahit ini tidak menjadi keprihatinan pemerintah dan dikritisi sosiolog Ignas Kleden sebagai aktus penyangkalan diri yang sempit dan picik. Di satu sisi, pemerintah mengutuk ajaran marxisme dalam segala bentuk. Pada sisi lain, pemerintah memelihara kemiskinan sistematis dan terstruktur. Buktinya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan. Bayangkan saja saat ini rakyat Indonesia harus memikul beban utang luar negeri yang begitu besar.
Para koruptor yang melarikan uang negara dibiarkan bebas berkeliaran. Satu hal yang pasti, kemiskinan terstruktur adalah bahaya laten lahirnya revolusi sosial bila pemerintah tetap bersikap apatis dan kaum elit politik termasuk para capres-wapres cuma berusaha membuktikan sayalah yang terbaik. Fatalnya, korupsi yang semula dilakukan kalangan eksekutif beralih ke para wakil rakyat. Alhasil, rakyat dikepung jaringan koruptor.
Perbaikan ekonomi memang penting tetapi lebih penting adalah upaya penelitian tentang akar utama krisis ekonomi Indonesia dengan mendalami sebab-sebab, kaitan-kaitannya, faktor-faktornya dan apa yang perlu dibuat sekarang agar krisis ini tidak kembali terulang di masa depan. Justru yang terjadi adalah pertikaian ‘soal perut’, yakni kepentinganku yang lebih utama, keluargaku harus dinomorsatukan dan partaiku yang paling reformis.
Ilmu dan pengetahuan (baca: kaum teknokrat) diprodusir untuk urusan kekuasaan dan menumpuk kekayaan pribadi. Segelintir orang puas mengisi perut sendiri sementara saudara sebangsanya menjerit kelaparan. Namun ketika negara berada dalam kondisi yang terpuruk justru rakyat kecil yang datang sebagai penyelamat. Lihat saja saat krisis ekonomi melanda negeri ini, usaha berskala besar langsung gulung tikar tetapi rakyat yang bergerak di sektor riil menjadi penyelamat. Memang saat ini dunia usaha kecil dan menengah (UKM) kekurangan modal uang dan akses di jaringan pasar internasional tetapi kita lihat saja apa yang dibuat negara?
Apabila kaum aristokrat (baca: wakil rakyat) terus terbuai dengan aroma kekuasaan yang ada di tangan mereka, para elit politik terus berlomba menciptakan citra tanpa ethos pengabdian dan pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tanpa merinci usaha-usaha konkrit dengan warna pembangunan asal tambal sulam, maka jeritan kelaparan rakyat miskin, yang pernah hinggap di kuping Karl Marx, berubah menjadi jeritan ketidak percayaan rakyat.
Cepat atau lambat, negara yang menolak individualisme tetapi secara telanjang mata menganut prinsip tersebut, republik ini akan runtuh bukan karena perbedaan ideologi tetapi hanya karena pertikaian soal perut. Keprihatinan Marx perlu dicerna tetapi yang perlu dipangkas demi kesejahteraan rakyat bukan para pemilik modal dan kaum partikelir tetapi keserakahan dan kerakusan. Mengutip Gandhi, alam sudah cukup menyiapkan segala kebutuhan manusia tetapi tidak untuk keserakahannya. Pantas, Indonesia negeri yang kaya-raya tetapi rakyatnya miskin melompong! (Beny Uleander/KPO EDISI 60/MINGGU II JUNI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :