Senin, Desember 15, 2008

Beny Uleander

Kita Perlu Jalan Baru

Untuk menjadi bangsa yang maju dan memiliki daya saing global, pembangunan di Indonesia memerlukan jalan baru! Carut-marut wajah reformasi selama 10 tahun terakhir menjadi bukti bahwa spirit menuju Indonesia baru masih sebatas wacana.
Agenda reformasi berantakan karena pergesekan kepentingan politik dan hegemoni kelompok aliran. Nilai-nilai Pancasila yang mengakomodir kebhinekaan dicampakkan. Perbedaan agama, budaya, adat istiadat, maupun suku kerap diperdebatkan dengan sikap batin yang jauh dari kematangan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Akibatnya bangsa ini mengalami kemunduran dalam menata misi kebudayaan dan kemanusiaan.
Saatnya, negara membentuk ‘dewan reformasi’ yang beranggotakan kelompok kecil lintas agama, suku dan tidak mewakili kepentingan politik partai tertentu. Mereka adalah budayawan dan filsuf yang berdiam di setiap kota/kabupaten.
Peran dewan reformasi ibarat nabi yang terus “berteriak-teriak” di jalan-jalan kebenaran. Artinya, agenda-agenda dasar reformasi di bidang pendidikan, hukum, ekonomi, politik dan pertahanan negara perlu dirumuskan dan dikawal secara strategis. Mana substansi permasalahan dari setiap bidang yang mendesak untuk diperbaharui. Mana hal-hal ideal masa lalu yang harus dipertahankan demi kemajuan bangsa.
Di bidang politik, harus diakui bahwa ada perubahan dan perbaikan amat mencengangkan di ranah demokrasi. Bila dibandingkan dengan negeri tetangga seperti Thailand dan Myanmar, kita bersyukur masih unggul dalam kematangan berdemokrasi. Namun biaya politik saat ini sangat menguras keuangan negara. Kita gagal membangun fondasi kepartaian yang kuat. Ini karena akrobat politisi di Senayan yang kerap terjebak dalam kepentingan politik temporer. Rakyat kini bingung menjatuhkan pilihan pada partai yang berjumlah puluhan itu. Bisa-bisa, pilihan rakyat pada partai tertentu karena terjebak pada “kamuflase iklan” untuk pencitraan partai.
Di bidang pendidikan selama era reformasi terjadi kemerosotan mutu pendidikan yang luar biasa. Siswa sekolah tidak terpacu lagi untuk belajar lebih gigih. Contohnya, saat ujian tiba, siswa-siswa sekolah tidak “jatuh-bangun” mempersiapkan diri. Sebaliknya, kepala sekolah dan para guru yang “pontang-panting” berpikir bagaimana agar anak didik mereka lulus ujian. Hal yang amat lucu, usai ujian kita mendengar ada kepala sekolah atau oknum guru yang dijemput polisi karena dugaan pembocoran soal ujian.
Di bidang sejarah bangsa terjadi kemunduran mahadashyat. Politik rekonsiliasi tidak berjalan lancar. Padahal sejarah masa lalu yang jelas dan terang adalah harta karun untuk membangun masa depan. Kita gagal memetakan mana sejarah kelam yang perlu diluruskan. Contohnya, generasi muda masih bingung soal fakta kelam 30 September 1965: apakah PKI sebuah partai politik saat itu punya senjata dan strategi militer untuk membunuh pucuk pimpinan militer angkatan darat yang berpengaruh saat itu? Demikian juga dosa-dosa kebijakan rezim Sukarno sampai Suharto perlu diungkapkan secara hukum, lalu dimaafkan sebagai bagian dari persoalan masa lalu. Sayang spirit reformasi ini hilang ditelan akrobat kepentingan politik. Generasi mendatang yang amat dirugikan!
Demikian pula di bidang pertahanan dan keamanan negara masih mengikuti “strategi kependudukan” militer penjajah dengan membangun pangkalan militer di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Padahal negeri ini adalah negeri kepulauan yang membutuhkan visi baru pertahanan regional. Basis-basis pertahanan militer apa salahnya ditempatkan di setiap pulau terluar di negeri ini. Dengan demikian, migrasi lokal ke pulau-pulau yang masih kosong disenergiskan dengan kebijakan transmigrasi. Rakyat merasa aman bermigrasi karena dilindungi oleh pertahanan militer.
Sementara bidang pertanian dan agroindustri yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan tidak menjadi lokomotif perekonomian negara. Padahal dari sektor pertanianlah kita berharap tumbuh industri-industri lokal berskala nasional. Yang terjadi selama ini, Indonesia menjadi pasar produk-produk jadi pertanian dari negara lain. Ironisnya, bahan bakunya berasal dari Indonesia.
Dari catatan di atas yang masih jauh dari lengkap, agenda reformasi perlu dikawal budayawan dan filsuf, termasuk mahasiswa dan duta-duta kemanusiaan yang tersebar di berbagai kampus dan daerah! Mereka akan selalu menjaga “jalan baru” kebangkitan Indonesia.
Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :