Senin, Juni 27, 2005

Beny Uleander

Harmonisasi ASEAN 2010, ‘PR’ GP Jamu Indonesia

Rakernas GP Jamu 2005

Pendulum: Akankah Harmonisasi ASEAN 2010 dalam bidang Obat Alami Indonesia dapat terwujud? Pertanyaan ini, terkait rencana perdagangan bebas jamu dan obat tradisional antar negara ASEAN pada tahun 2010. Ini tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi para pengusaha yang bergerak di bidang indusakan menjadi pekerjaan rumah alias ‘PR’ Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) dalam menanggapi tantangan industri tanaman obat ke depan. Berbeda dengan negara lain, mereka tengah giat berlomba-lomba membangun dan mengembangkan obat herbal. Walhasil, negara-negara lain, akan menjadi ancaman serius bagi industri obat herbal Indonesia jika tidak cepat dilakukan langkah-langkah antisipasi yang tepat dan komprehensif. Berikut laporan wartawan Koran Pak Oles dari Jakarta, Agus Salam yang menghadiri Rakernas GP Jamu 2005 di Jakarta.

Pengembangan pengobatan di Indonesia hingga kini masih terkategori ke dalam pengobatan taradisonal. Berbeda dengan Eropa, Amerika dan Jerman yang lazim menggunakan bahan alami atau fitofarmaka. Karena itu, pengobatan herbal sudah menjadi pilihan terutama dalam penyembuhan.

Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat di Indonesia memang terus berkembang sejalan dengan timbulnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya tanaman obat untuk kesehatan. Karena berdasarkan pengalaman empirik, hasilnya baik. Karena itulah tradisi tersebut diwariskan secara turun menurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Selain itu sekarang ini – walau masih jarang -- terdapat pula kecenderungan para dokter untuk menggunakan tanaman obat dalam pelayanan kesehatan formal. Pelayanan kesehatan formal yang menggunakan tanaman obat antara lain bisa ditemui di RSUD DR Sutomo Surabaya serta beberapa Puskesmas di Jawa Timur dan beberapa klinik swasta yang mulai ditemukan di beberapa kota.

Sayangnya dengan kemajuan ini, obat-obat yang berasal dari bahan alami hingga kini masih belum terangkat derajatnya dibandingkan dengan obat modern. Menurut Ketua Umum GP Jamu, Dr. Charles Saerang dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) GP Jamu 2005 di Hotel kartika Chandra (27/6) lalu, banyak faktor penyebabnya antara lain, terdapat kecendrungan dunia kedokteran di Indonesia masih berorienasi dan berkiblat kepada dunia medik ala barat, yakni belum sepenuhnya melirik dunia medik ala timur yang cendrung menggunakan obat-obatan alami.

Sebab lain adalah masih minimnya penelitian ilmiah untuk membuktikan secara medik prihal khasiat, mutu dan keamanan obat dari bahan alami. Sebagaimana diketahui di Indonesia tumbuh sekitar 7000 spesies dan dari jumlah tersebut sudah 283 yang telah digunakan dalam industri obat tradisional sebanyak 50 species telah dibudidayakan secara komersial.

Tanaman ini umumnya diperoleh bukan dari hasil budidaya melainkan diambil dari tanaman liar, dari hutan atau dari pekarangan. Akibatnya tidak ada jaminan kualitas yang memenuhi persyarakat industri. Untuk menelusuri khasaiat tanaman ini, ada kecendrungan menarik minat ini, kegiatan tersebut menjadi lahan proyek berbagai penelitian para akar diperguruan tinggi lembaga-lembaga penelitian berbagai instansi yang kadang-kadang tumpang tindih satu sama lain.

‘’Untuk menghindari hal-hal demikian, kami dari GP Jamu menghimbau dan mengharapkan peran Departemen Kesehatan, agar penelitian obat-obatan tradisional dapat dikoordinir dalam satu atap saja, sehingga mudah dimonitoring perkembangannya. Dengan mengkoordinir, penelitian tersebut dalam satu atap, Departemen Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan Bursa Tanaman Obat, penelitian obat-obat herbal terstandar secara periodik,’’ kata Charles kepada wartawan di Jakarta.

Karena itulah, penggunaan obat alami itu harus diketahui secara pasti khasiat dan keamanannya dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai. Meskipun secara empiris obat herbal terbukti cukup aman dikonsumsi manusia -- mengingat pemanfaatan yang sudah diterapkan masyarakat selama ini – namun pembuktian secara ilmiah tetap merupakan tuntutan.

Peraturan tentang keamanan, efektifitas dan kuaitas obat herbal merupakan salahsatu langkah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya obat herbal yang banyak beredar digunakan oleh masyarakat. Selain itu memudahkan penelitian penunjang apabila obat herbal tersebut akan dikembangkan menjadi obat herbal berstandar dan fitofarmaka sesuai dengan kelompok obat alam Indonesia yang diatur pemerintah (Badan POM) yaitu jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka.

Perkembangan terakhir dalam bidang pengobatan herbal didorong oleh tekanan kebutuhan di masyarakat. Tekanan kebutuhan ditujukan oleh kenyataan bahwa, banyak jenis penyakit tidak bisa disembuhkan seperti diabetes, hipertensi dan penyakit-penyakit genetis. Banyak penyakit hanya dapat disembuhkan pada stadia awal seperti kanker, radang atau gagal ginja serta beberapa penyakit lain peluang keberhasilan kesembuhan relatif kecil. Kemudian, efek samping obat yang secara bertahap menimbulkan penyakit lain yang lebih serius telah mengkhawatirkan sebagian masyarakat serta harga obat dan biaya pengobatan yang tinggi menjadi beban serius bagi masyarakat baik di kelas bawah maupun kelas menengah.
Keadaan inilah yang mendorong masyarakat mencari pilihan (alternatif) pengobatan yang lain. Dengan dorongan iklim ‘’back to nature’’ maka desakan kebutuhan masyarakat yang sangat besar itu diarahkan terutama kepada obat-obat dan pengobatan yang bersifat alamiah khususnya pengobatan herbal. (Editing: Beny Uleander
/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :