Standardisasi jamu tradisional hingga kini masih menjadi dilema bagi pemerintah. Dilemanya antara mutu dan biaya yang tinggi. ‘’Memang dunia per-jamu-an kita sedang sementara daya beli masyarakat masih kurang. Sementara itu, para dokter akan mengalami dilema dengan peuntukan jamu serta komposisi jamu. Kita tidak bisa hanya berpatokan jamu sebagai produk kesehatan yang sudah dipergunakan lama oleh nenek moyang kita,’’ kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika menghadiri Rakernas GP Jamu 2005 di Jakarta, 26 Juni 2005.
Menurutnya, saat ini obat-obatan herbal terstandar yang jumlahnya saat ini baru ada 17 produk maupun fitofarmaka yang terdiri atas 5 produk. Pemerintah tengah mengkaji solusi standardisasi jamu secara internasional yang tidak membuat harganya menjadi mahal. ‘’Untuk meningkatkan penerimaan jamu tradisional di tingkat internasional memang butuh standardisasi mutu tinggi. Caranya, dengan penerapan sistem uji klinis (fitofarmaka). Harus diteliti benar kandungan dan khasiatnya.Namun persoalannya, untuk uji itu pengusaha butuh biaya yang cukup besar, yaitu sekitar Rp 3-4 miliar,’’ katanya.
Tingginya biaya itu, jelas Fadilah, ujung-ujungnya bisa memicu mahalnya harga jamu di masyarakat. Padahal, menurut Siti, sebanyak 40 persen masyarakat
Tentang produksi jamu sebagai sarana pelayanan sosial, Menteri Kesehatan ini menjelaskan bahwa, obat asli
Obat bahan alam dibagi menjadi tiga kelompok, terdiri dari jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah obat tradisional yang terbukti aman, bermanfaat, dan bermutu. ‘’Para menteri dari kawasan Asean, ditambah menteri kesehatan dari Cina, Jepang, dan Korea pada tahun lalu menandatangani kesepakatan mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional di negara masing-masing sepanjang memenuhi syarat keamanan, manfaat, mutu, serta dipergunakan secara rasional,’’ jelasnya.
Peningkatan mutu bahan
Standardisasi Obat Tradisional 2010
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) H. Sampurno, mengatakan standardisasi obat tradisional dan makanan suplemen se-Asean akan dilaksanakan paling lambat 2010. Standardisasi tersebut sangat penting karena menyangkut kualitas bahan
Menurutnya, bila sudah terjadi harmonisasi, maka akan menjadi potensi pasar yang besar. ‘’Prediksi saya pada tahun 2010 nanti, penduduk Asean berkisar 400 juta orang dan merupakan market besar. Sebab industri obat tradisional herbal di dunia pada 2000 termasuk bahan
Dibandingkan negara Asian lainnya,
Namun demikian diakui Sampurno, tidak mudah memasukkan obat
Sebelum ada perjanjian bilateral, obat-obat farmasi yang jumlahnya sekitar 40 produk sulit masuk ke
Kerja sama tersebut sudah dirintis sejak tiga bulan lalu dan Badan POM juga akan melakukan hal yang sama dengan
Menurut Sampurno, Pemerintah dan BPOM terus menghimbau berbagai pihak untuk mengintensifkan penelitian obat-obat tradisional berbahan alami. BPOM sendiri sejak tahun 2004 sudah memprakarsai penelitian tanaman obat, dimulai dengan sembilan jenis tanaman unggulan, dan hingga tahun 2006 mendatang ada 19 tanaman unggulan yang akan dikembangkan.
‘’Ada 4 kriteria dalam pemilihan bahan alami berkhasiat obat tersebut, yakni sadah dikenal dan digunakan secara luas, baik untuk mencegahan maupun untuk pengobatan penyakit tertentu, mempunyai data-data awal yang cukup banyak dan menggunakan empirisnya cukup luas, tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia, serta memiliki prospek yang baik untuk menjadi komoditas atau tanaman obat unggulan,’’ katanya.
Sampurno juga menjelaskan, negara-negara Asean mulai bersidang membahas standardisasi produk obat tradisional dan makanan kesehatan terkait dengan rencana implementasi harmonisasi regulasi di sektor tersebut pada 2010.
Kepala BPOM ini mengharapkan ada kesepakatan tentang ruang lingkup produk makanan kesehatan dan obat tradisional dan membahas kemungkinan dilakukannya mutual recognation agreement (MRA) di bidang tersebut serta menyusun pemetaannya. ‘’Sampai sekarang, benturan kepentingan antara negara Asean berkaitan dengan produk makanan kesehatan dan obat tradisional sangat sering terjadi, karena dua hal itu bukan komoditi dagang biasa melainkan produk berisiko tinggi terhadap keselamatan konsumen yang bersifat kompleks. (Reporter Agus Salam. Editing: Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)