Senin, Juni 27, 2005

Beny Uleander

Pemerintah Tengah Mengkaji Standarisasi Jamu

Standardisasi jamu tradisional hingga kini masih menjadi dilema bagi pemerintah. Dilemanya antara mutu dan biaya yang tinggi. ‘’Memang dunia per-jamu-an kita sedang sementara daya beli masyarakat masih kurang. Sementara itu, para dokter akan mengalami dilema dengan peuntukan jamu serta komposisi jamu. Kita tidak bisa hanya berpatokan jamu sebagai produk kesehatan yang sudah dipergunakan lama oleh nenek moyang kita,’’ kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika menghadiri Rakernas GP Jamu 2005 di Jakarta, 26 Juni 2005.

Menurutnya, saat ini obat-obatan herbal terstandar yang jumlahnya saat ini baru ada 17 produk maupun fitofarmaka yang terdiri atas 5 produk. Pemerintah tengah mengkaji solusi standardisasi jamu secara internasional yang tidak membuat harganya menjadi mahal. ‘’Untuk meningkatkan penerimaan jamu tradisional di tingkat internasional memang butuh standardisasi mutu tinggi. Caranya, dengan penerapan sistem uji klinis (fitofarmaka). Harus diteliti benar kandungan dan khasiatnya.Namun persoalannya, untuk uji itu pengusaha butuh biaya yang cukup besar, yaitu sekitar Rp 3-4 miliar,’’ katanya.

Tingginya biaya itu, jelas Fadilah, ujung-ujungnya bisa memicu mahalnya harga jamu di masyarakat. Padahal, menurut Siti, sebanyak 40 persen masyarakat Indonesia masih menggunakan jamu untuk pengobatan ketimbang obat-obatan dari dokter. ‘’Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sedang memikirkan solusinya. Dan kami sedang pikirkan standardisasi yang dapat diterima di luar negeri, namun tidak membuat harga jamu jadi mahal’’tandasnya.

Tentang produksi jamu sebagai sarana pelayanan sosial, Menteri Kesehatan ini menjelaskan bahwa, obat asli Indonesia kurang didukung oleh penelitian sebagai bukti ilmiah atas khasiat suatu produk. Akibatnya pemanfaatan obat asli Indonesia di sarana pelayanan kesehatan masih sangat sedikit atau baru pada tahap awal. Siti Fadilah Supari juga mengutarakan, penelitian terhadap obat asli terbentur kendala berupa waktu penelitian yang lama, biaya yang besar, serta prosedur untuk mendapatkan ethical clearance uji klinik yang cukup ketat.

Obat bahan alam dibagi menjadi tiga kelompok, terdiri dari jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah obat tradisional yang terbukti aman, bermanfaat, dan bermutu. ‘’Para menteri dari kawasan Asean, ditambah menteri kesehatan dari Cina, Jepang, dan Korea pada tahun lalu menandatangani kesepakatan mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional di negara masing-masing sepanjang memenuhi syarat keamanan, manfaat, mutu, serta dipergunakan secara rasional,’’ jelasnya.

Peningkatan mutu bahan baku atau simplisia, lanjut Siti Fadilah, sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pengembangan agroindustri tanaman obat yang saat ini belum berkembang. Dengan kondisi seperti ini bukannya semakin jauh jamu sebagai pelayanan nasional tetapi belum dekat.

Standardisasi Obat Tradisional 2010
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) H. Sampurno, mengatakan standardisasi obat tradisional dan makanan suplemen se-Asean akan dilaksanakan paling lambat 2010. Standardisasi tersebut sangat penting karena menyangkut kualitas bahan baku tanaman obat. "Kalau sudah ada harmonisasi regulasi dan standardisasi se-Asean, maka obat tradisional Indonesia akan mudah masuk ke negara-negara Asean. Begitu juga sebaliknya," katanya.

Menurutnya, bila sudah terjadi harmonisasi, maka akan menjadi potensi pasar yang besar. ‘’Prediksi saya pada tahun 2010 nanti, penduduk Asean berkisar 400 juta orang dan merupakan market besar. Sebab industri obat tradisional herbal di dunia pada 2000 termasuk bahan baku mentah, mampu meraup keuntungan sebesar US$43 miliar dan pertumbuhannya berkisar 5-15%,’’ katanya.

Dibandingkan negara Asian lainnya, Indonesia merupakan paling kaya sumber tanaman obat. Dari sekitar 1.000 jenis tanaman obat yang tumbuh di Indonesia, baru 200 jenis saja yang dimanfaatkan untuk obat tradisional.

Namun demikian diakui Sampurno, tidak mudah memasukkan obat Indonesia ke negara-negara Asean. Selama ini obat farmasi Indonesia bisa masuk ke Malaysia karena adanya hubungan bilateral dalam bentuk agreement antar-Badan POM negara masing-masing. Obat Indonesia boleh masuk ke Malaysia demikian juga sebaliknya.

Sebelum ada perjanjian bilateral, obat-obat farmasi yang jumlahnya sekitar 40 produk sulit masuk ke Malaysia. ‘’Dengan agremeent itu seluruh produk farmasi dari Indonesia sudah teregistrasi dan bisa masuk ke Malaysia.’’katanya

Kerja sama tersebut sudah dirintis sejak tiga bulan lalu dan Badan POM juga akan melakukan hal yang sama dengan Thailand maupun Filipina. Sampurno menambahkan, selain melakukan kerja sama, juga harus diikuti dengan upaya peningkatan kualitas bahan baku produk. ‘’Ini harus dipersiapkan secara khusus soal bahan baku ini,’’katanya.

Menurut Sampurno, Pemerintah dan BPOM terus menghimbau berbagai pihak untuk mengintensifkan penelitian obat-obat tradisional berbahan alami. BPOM sendiri sejak tahun 2004 sudah memprakarsai penelitian tanaman obat, dimulai dengan sembilan jenis tanaman unggulan, dan hingga tahun 2006 mendatang ada 19 tanaman unggulan yang akan dikembangkan.

‘’Ada 4 kriteria dalam pemilihan bahan alami berkhasiat obat tersebut, yakni sadah dikenal dan digunakan secara luas, baik untuk mencegahan maupun untuk pengobatan penyakit tertentu, mempunyai data-data awal yang cukup banyak dan menggunakan empirisnya cukup luas, tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia, serta memiliki prospek yang baik untuk menjadi komoditas atau tanaman obat unggulan,’’ katanya.

Sampurno juga menjelaskan, negara-negara Asean mulai bersidang membahas standardisasi produk obat tradisional dan makanan kesehatan terkait dengan rencana implementasi harmonisasi regulasi di sektor tersebut pada 2010.

Kepala BPOM ini mengharapkan ada kesepakatan tentang ruang lingkup produk makanan kesehatan dan obat tradisional dan membahas kemungkinan dilakukannya mutual recognation agreement (MRA) di bidang tersebut serta menyusun pemetaannya. ‘’Sampai sekarang, benturan kepentingan antara negara Asean berkaitan dengan produk makanan kesehatan dan obat tradisional sangat sering terjadi, karena dua hal itu bukan komoditi dagang biasa melainkan produk berisiko tinggi terhadap keselamatan konsumen yang bersifat kompleks. (Reporter Agus Salam. Editing: Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :