Jumat, Juli 15, 2005

Beny Uleander

Evakuasi Tradisi

Dunia semakin tua. Demikian lontaran kegelisahan penduduk dunia akhir abad 20 silam. Tahun 2000 sempat diklaim sebagai tahun penutup kisah hidup manusia. Apalagi banyak ramalan tokoh visioner yang melihat perguliran sejarah berhenti di akhir milenium II. Ternyata, paradigma akhir jaman yang diyakini institusi agama dan juga beberapa sekte menjadi ruang persemaian tradisi versus modernitas, pertarungan kebijaksanaan dan keahlian serta terkini tarik ulur globalisasi dan evakuasi tradisi.

Semula gagasan dunia semakin tua ketika melihat alam sebagai ibu kehidupan tidak ramah lagi membentengi manusia dari bencana dan prahara semesta. Adanya pemanasan global akibat rentetan efek rumah kaca, perubahan iklim yang sulit diramalkan diikuti hutan di muka bumi yang kian berkurang ratusan hektar setiap tahun dan rahim bumi yang kian keropos digaruk tangan-tangan serakah. Para pakar lingkungan membuat prediksi bakal ada persatuan manusia antar bangsa dengan satu sikap, nasion-global, mempertahankan bumi dari kehancuran dan penyakit. Sungguh sebuah estimasi yang menakutkan –kalau benar terjadi- sekaligus suatu pengakuan bahwa manusia adalah entitas sejarah, subyek peradaban dan kumpulan daging hidup yang berakhlak.

Ketidaksiapan menuju akhir jaman adalah ‘tahun rahmat’ manusia komunis-sosialis, liberal-kapitalis atau ekstrimis kanan-kiri dan konservatif-moderat untuk kembali memetakan batas-batas kemampuan intelek-psikisnya, cakupan pola interaksi yang mengglobal dan penggalian identitas kultural-politis individu sebagai manusia, masyarakat dan warga negara.

Lantas tradisi-tradisi besar yang dikawal para penjaga agama rasional menjerit histeris ketika terjadi pergolakan soal pengawasan atas hidup dan perilaku manusia. Tradisi besar yang membangun fondasi pada rasionalisasi agama, sebuah proses yang bergantung eksistensi teks-teks skriptural.

Di persimpangan ini, masyarakat dunia harus jeli melihat dan menempatkan secara proporsional gerakan kaum homoseks, gay, waria dan lesbian dalam mencari identitas politik dalam tata sosial.

Selama ini, sisi humanis kaum waria selaku golongan minoritas jauh dari sentuhan ‘tradisi kasih sayang’ masyarakat lokal dan juga sentuhan jurnalisme empati. Sepak terjang mereka dibredel dengan teks-teks wahyu yang sudah diintepretasi masyarakat feodal dan patrialkal. Lalu, waria manusia yang tercipta dengan keunikan dilihat sebagai musuh atau manusia ganjil berperilaku sakit dari kacamata pria dan wanita.

Pernyataan batin Henry Wadsworth layak dijadikan pijakan melihat waria sebagai insan terberi yang lahir atas kehendak penguasa kehidupan manusia. “Jika kita dapat membaca kisah rahasia tentang musuh-musuh kita, kita seharusnya menemukan cukup banyak kesedihan dan penderitaan dalam kehidupan setiap orang untuk menghapus segala permusuhan,” ungkap Henry Wadsworth.

Saatnya, manusia sebagai individu menikmati anugerah kehidupan yang gratis ini dengan segala bakat dan kemungkinan-kemungkinan terjauh pengembangan diri yang dapat diaktualisir individu. Adalah suatu visi humanis bila masyarakat dan negara mengembangkan ketrampilan lunak di era bertebarnya beragama perangkat lunak elektronik.

Ketrampilan lunak mengacu pada teknik-teknik yang berhubungan dengan pengelolaan diri (intra-personal skills), ketrampilan dalam pengelolaan orang lain (inter-personal skills) dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya atau lingkungan di luar dirinya (extra-personal skills). Ketiga komponen ketrampilan lunak tersebut, menurut, Aribowo Prijosaksono (Bisnis Maya Laba Nyata, 2002), disebuat sebagai Skills of Life Trilogy.

Memang tidak mudah menerjemahkan secara praktis ketrampilan lunak dalam jelajah pencarian pengakuan eksistensi kaum waria, gay dan lesbian di ranah agama dan komunitas sosial. Meski keinginan kelompok tengah (baca: bukan pria atau wanita) untuk berkeluarga mengguncang tradisi-tradisi besar tidak berarti kiprah mereka di sektor publik dikutuk dan dianggap najis. Norma moral keagamaan tetap kukuh mempertahankan institusi perkawinan sebagai persatuan pria dan wanita untuk melahirkan keturunan. Bukan berarti, kaum waria terus ditindas sebagai makhluk kutukan Tuhan. Mereka perlu dicintai dan diberi kebebasan berekspresi sebagai manusia.

Karena itu, kaum waria dan lesbi harus memulai pencarian jati diri dengan mengembangkan tiga ketrampilan lunak di atas. Intra-personal skills dimaknai sebagai memberdayakan diri sebagai manusia yang bermartabat, pola pikir (mindset), sikap (attitude), karakter dan kepribadian, kemampuan untuk belajar (skill of learning), manajemen waktu (time management), ketrampilan mendayagunakan pikiran (mind management), mengelola emosi (emotion management), self marketing dan kecerdasan spritual.

Inilah kunci membuka diri bagi komunitas social dan langkah elegan mengevakuasi tradisi sepihak yang merantai identitas waria. Selama kaum waria dan lesbi berjalan sendiri tanpa bersatu di atas ‘panti waria’ maka gema perjuangan mereka akan hilang ditelan kesunyian jagat semesta nan tandus. Bukan tidak mungkin, waria dan kaumnya akan menjadi manusia yang membawa sakit hati hingga ke liang kubur.

“Ini di atas segalanya: kepada diri sendiri engkau harus jujur, dan begitu pula, seperti siang berganti malam, engkau tidak boleh bersikap tidak jujur kepada siapapun.” (Shakespeare-Hamlet). Semoga. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/15 Juli 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :