Selasa, Juli 26, 2005

Beny Uleander

Mengais Peluang Pasar Di Tengah Iklim Kompetitif

Forum sarasehan yang digelar PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Bali, Minggu (26/7), di Hotel Yani Denpasar, meninggalkan banyak pesan yang perlu dicatat sebagai sejarah perusahaan jamu terbesar di Bali dan nomor 5 di Indonesia. Bagaimana sebuah perusahaan lokal terus memantapkan jati diri dengan mengevaluasi kehadirannya di tengah masyarakat.

Pertemuan dihadiri Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, Dr Ir GN Wididana, MAgr, Direktur Ir Agus Urson, Manajer Keuangan Ayu Lidyawati, Kacab Bali Ir Gede Ginarka , para kepala unit se Bali, Divisi Humas, Radio, Jasa Usaha Sehat (JUS), IPSA dan Staf Produksi dan Pemasaran Pupuk Bokashi Bali. Maju mundurnya sebuah perusahaan tidak terletak pada kekuatan modal dan investasi aset tetapi lebih pada kekuatan sumber daya manusia. Inilah inti eksistensi PT Karya Pak Oles Tokcer yang mulai menancapkan kakinya di dunia produksi madu dan obat-obatan berbasis herbal sejak tahun 1997 lalu.

Tak dipungkiri, ada kebanggaan yang diusung saat ini yakni Ramuan Pak Oles sudah dikenal luas masyarakat Bali. Selain itu, kantor cabang sudah berdiri di 5 propinsi selain Bali yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan. Namun apalah arti kebesaran nama perusahaan bila tidak diikuti dengan evaluasi kualitas produk dan pembenahan SIM T (sistem, informasi, manajemen dan teknologi).

Berdasarkan laporan Manajer Produksi, Ir Ruslie Hanafie, Minyak Oles Bokashi masih menjadi primadona Ramuan Pak Oles yang paling laris diikuti kelompok madu-maduan. Karena itu, Koordinator Salesman Bali, Wayan Wardana berharap kualitas produk perlu didukung dengan sistem kontrol untuk mendukung citra Ramuan Pak Oles yang bermutu. Selama ini kualitas kontrol berkisar pada bahan baku, standar bahan dan pencampuran bahan. Wardana pun mewanti-wanti agar nama besar PT Karya Pak Oles di Bali tak membuat semua divisi terlena tanpa melakukan evaluasi berkala.

Karena itulah, Kepala Unit Bali II, Komang Pariatha memberi gambaran bahwa pasar potensial Ramuan Pak Oles tetap ada di Bali. Diusulkan perlu dilakukan pola kontrol produk pasca produksi dan purna produksi. Dengan begitu, ada kesatuan integral mata rantai antara produksi dan pemasaran. Kesatuan ini diharapkan memicu semangat SPG sebagai ujung tombak pemasaran untuk meningkatkan penjualan Ramuan Pak Oles. Memang diakui, terjadi iklim kompetisi yang tinggi antara unit dan team SPG di Bali. Namun, kondisi ini bernilai positif bagi tim pemasaran untuk membangun komitmen.

Pariatha juga menggambarkan 3 tantangan pemasaran yang ada di Bali. Pertama, bagaimana menjaga komposisi berimbang antara jumlah SPG dan jumlah penduduk yang ada di Bali. Penduduk Bali sekitar 3 juta orang idealnya harus dilayani 200-300 SPG. Kedua, percepatan pertumbuhan harus diikuti dengan pembentukan 3-4 team leader baru di Unit Hayam Wuruk dan Letda Kajeng. Ketiga, kesulitan rekruting SPG bisa diatasi dengan bekerjasama bersama Disnaker Bali untuk memanfaatkan bursa angkatan kerja. (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :