Sabtu, Oktober 08, 2005

Beny Uleander

Mencari Pesan Angin Surga Di Pantai Muaya, Jimbaran

Angin malam Minggu (8/10) di Pantai Muaya, Jimbaran bertiup segar menerpa tubuhku yang duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang tumbuh antara Menega Café dan Teba Café. Mataku menatap nanar ke arah laut lepas. Lampu-lampu dari perahu nelayan yang sedang melaut seperti lambaian tangan bocah-bocah yang kegirangan. Secercah kedamaian menelusup masuk dalam jiwaku. Aku duduk bersila di bibir pantai Muaya tepat depan Menega Cafe dan Nyoman Café, yang hancul luluh lantak dihantam bom. Meski sendirian, aku tidak takut.

Aliran rasa damai seperti mengikuti gerakan mataku. Pandanganku beralih melihat ‘ujung laut’ setapak demi setapak mengikuti gelora gulungan ombak yang datang silih berganti. Itulah gelora kehidupan yang dimiliki manusia juga pasutri Dharmawan dan Mintarsah yang menjadi korban pemboman saat sedang menikmati sajian sea food dengan aroma lobster bersama putri dan menantunya Shery dan Reza di tempat ini. Gulungan ombak kehidupan itu berakhir pecah ketika tiba di bibir pantai. Itulah simbolisasi kematian. Sangat sederhana memahami kehidupan dan kematian sebagai awal dan akhir seperti diucapkan Gede Pramana. Khasnya, kehidupan itu terus berlanjut dalam gulungan ombak yang datang silih berganti.

Bidadari malam menatapku dengan cahaya yang lembut seakan mendekatkan aku dengan pesan surga dan episode ketragisan hidup manusia. Hidup adalah anugerah Pencipta dan kematian adalah pintu manusia bersua lagi dengan Khaliknya. Namun sulit diterima detik-detik kematian itu seperti pencuri di tengah malam, tak terduga dan merenggut nyawa di tempat yang kerap dicari manusia untuk menanam kemesraan, membenihkan keromantisan dan melepas lelah kehidupan yang berat bergelayut di dada ke arah lautan bebas.

Sudah sejam aku sengaja berada di pantai ini. Kala waktu menunjukkan pukul 17.45 Wita, aku mengamini kejahatan dan aksi teroris tak mampu membinasakan nilai-nilai kehidupan. Mataku kembali merekam para korban tewas dan terluka yang masuk silih berganti diantar ke RS Sanglah, Denpasar. “Entah apa yang dicari para teroris di tempat ini. Kog tega mereka membunuh orang yang sedang makan di lokasi ini,” gumam Made Loka (52) pemilik Pantai Sari Café Jimbaran yang kembali terngiang di telingaku.

Air mata itu sudah sirna berganti harapan. Termasuk air mata ibunda Dwi Yuniatri yang menyaksi kematian anaknya Teuku Deffansyah dalam pelukannya di RS Sanglah. Deffansyah terluka parah di bagian belakang kepalanya saat sedang makan malam dengan ibu dan ayahnya Danielsyah di Madeka Café. Kini bingkai harapan itu kembali merekah di dada penghuni Pulau Seribu Pura ini. Betapa sabarnya masyarakat Pulau Dewata ini menerima cobaan kedua kalinya setelah peristiwa Sabtu kelabu 12 Oktober 2002 lalu. Pantai Muaya yang tetap damai mewakili taksu Bali yang senantiasa menebarkan angin surgawi. Itulah yang dicari para pelancong dalam dan luar negeri yang siang hari tetap berlarian di tepi pantai berpasir putih ini seakan merayakan kehidupan sebagai anugerah. (Beny Uleander/KPO EDISI 91/NOVEMBER 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :