Rabu, Oktober 05, 2005

Beny Uleander

Serpihan Ledakan Bom Bersimpuh Di Kaki Penjor

Hari Raya Galungan tiba. Penjor-penjor berdiri berbaris rapi di halaman depan setiap rumah di Bali dalam lengkungan keindahan. Sepanjang Jl Legian Kuta hingga Denpasar menjelang Hari Raya Galungan, Selasa sore (4/10), warga sibuk menggali lubang dan mendandani penjor –bambu melengkung yang dihiasi janur dan bunga- ditanam di halaman depan rumah. Penjor adalah simbol kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan) yang diperingati lewat Galungan.

Keagungan penjor kali ini seakan menyeret manusia penghuni Pulau Bali masuk dalam benteng-benteng perlindungan tak kelihatan. Benteng yang menjaga manusia Bali dari amukan badai bom Bali II yang memporak-porandakan Jimbaran dan Kuta Square, pekan lalu. Juga benteng yang memberi ketenangan batin bahwa kebaikan adalah jiwa kehidupan yang tak mungkin binasa oleh aksi kebiadaban. Serpihan pecahan bom di Sea Food Centre Jimbaran dan Kuata Square bersimpuh di kaki penjor. Itulah dandanan eksotik Pulau Surga ini.

Warga Kuta yang tinggal di jantung pariwisata Bali dengan wajah sukacita menghiasi penjor. Beberapa remaja terlihat bercengkrama akrab menggali lubang. Selain rumah warga, toko-toko, restoran, pub, bar dan warung-warung kecil pun memasang penjor di halaman depannya. Sementara di kawasan Kuta Square beberapa polisi masih berjaga-jaga di lokasi pemboman yang porak-poranda dan sudah diisolasi untuk kepentingan penyelidikan polisi. Sebuah pemandangan yang kontras tetapi memberi peneguhan bahwa kejahatan selalu terjadi di atas muka bumi tetapi kehidupan senantiasa diperkaya dengan kegembiraan, ketenangan, kesabaran dan kedamaian.

Manusia Bali tetap bersolek dalam balutan kecantikan spiritual dalam menyambut Galungan. Sehingga pada Senin (3/10), warga desa Jimbaran beramai-ramai mengadakan upacara penyucian ‘Pamrastitha Sayud Dur Mangala’ di Pantai Muaya, Jimbaran. Prosesi dan ritual penyucian ini untuk mempersiapkan desa secara ‘sekala’ dan ‘niskala’ –jasmani dan rohani—memasuki rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan, yang jatuh pada 15 Oktober depan.

Pada Galungan, Rabu (5/10), sejak pagi pukul 07.00 Wita, warga Kota Denpasar dan Badung melakukan persembahyangan di pura-pura Kahyangan Tiga di banjarnya masing-masing. Sebagian kemudian bersembahyang di Pura Jagatnatha, pura terbesar di Kota Denpasar –setelah rampung menghaturkan sesaji di rumah dan tempat kerja masing-masing. Kaum perempuan berdandan kebaya membawa canangsari, banten berisi bunga dan buah-buahan aneka rupa. Sedangkan kaum lelaki mengenakan destar putih, kemeja putih dan berkain saput putih kuning. Di dalam pura, dua orang ‘pedanda’ –pemimpin keagamaan- perempuan berusia renta memimpin jalannya upacara. Denting genta dari tangan para pedanda memecah keheningan pagi. Untaian doa dalam semangat Galungan membawa harapan pulau ini dibersihkan dari aura kejahatan yang ditebar para teroris.

Usai bersembahyang, warga Hindu melepas lelah, duduk-duduk di lapangan Puputan, tepat di depan pura. Sebagian memesan makanan dari pedagang bakso, sate ayam, dan jajan lain yang sudah memenuhi pelataran pura sejak upacara dimulai.

Perayaan Galungan diperingati setiap tahun dalam kalendar Bali atau tepatnya setiap enam bulan dalam tahun masehi bersamaan dengan hari pertama bulan Ramadhan. Warga Bali yang muslim sejak Selasa malam sudah ramai melakukan sholat tarawih di masjid-masjid yang bertebaran di Denpasar. Terbentang pemandangan indah soal toleransi beragama yang begitu kuat tumbuh mengakar di dada manusia Bali. Waktu Nyepi yang jatuh pada hari Jumat lalu, warga muslim diizinkan keluar bersembahyang di masjid. Padahal semua aktivitas dibekukan pada Hari Nyepi. (Beny Uleander/KPO EDISI 91/Oktober 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :