Langkah Ekonomis Bernilai Ekologis
Ide kreatif layak disematkan kepada para pelaku bisnis barang bekas. Bukannya digudangkan atau dikotaksampahkan, barang bekas dijual kembali setelah dibersihkan, diolah atau diperbaiki kerusakannya. Inilah langkah ekonomis bernilai ekologis, terutama bagi kebersihan lingkungan. Salah satunya dilakoni Putra Widiantara, SE (33), Manajer B3 (Barang Bekas Berkualitas) yang terletak di Jl P Maluku II/IC, Denpasar. Sesuai namanya, Anda dapat menemukan barang bekas tetapi masih bisa bersaing dengan produk baru. Inilah kejelian Widiantara menangkap peluang usaha sekaligus memburu rupiah.
Usaha ini dimulai 1 November 2004 dengan fasilitas gedung 3 lantai. Langkah awal adalah menerima penitipan barang bekas yang tidak dibutuhkan lagi pemiliknya. Barang bekas yang masih bisa dipakai meliputi elektronik, furniture, meubel, handicraft, alat-alat musik, olahraga, rumah tangga, kantor, bengkel, bangunan, aksesoris mobil & motor, jam, busana, sepatu helm, tustel, dll.
“Kami mengutamakan barang bekas yang masih berkualitas. Tentunya, kami kenakan biaya penitipan sebesar 10 persen. Sebelumnya, barang tersebut kami periksa kondisinya apakah masih layak dipakai atau tidak. Setelah itu, kita tentukan harganya,” ungkapnya.
Barang bekas yang paling laris adalah meubel dan furniture karena kualitasnya dapat dilihat langsung konsumen ketimbang alat elektronik yang dijual tanpa garansi. Diakuinya, ada harapan agar bisnis ini terus berkembang dan ada pembukaan unit-unit baru di Kota Denpasar dan sekitarnya.
Bisnis barang bekas sebagai mata pencarian juga dilakoni Sukri Abu Susanto asal Mojokerto yang sudah sepuluh tahun menjual sepatu bekas di Pasar Kreneng,Denpasar. “Saya dari dulu jual sepatu bekas. Untungnya memang besar hanya saya tidak bisa menyimpan uang,” akunya ketika diajak ngobrol suasana kehidupan harian para pedagang barang bekas di Pasar Kreneng.
Ia menerima sepatu bekas dari pemilik yang tidak membutuhkannya lagi. Juga Sukri harus memburu dari barang rongsokan yang dikumpulkan pemulung. “Sepatu yang sudah rusak, saya perbaiki. Kadang ganti alasnya atau dijahit bagian yang robek. Meski bekas, orang yang beli masih lihat merknya seperti Pacalolo, Pinoti, Piero yang paling laris,” ujar pria kelahiran 16 September 1970.
Penghasilannya diterimanya amat mencukupi untuk membayar kos dan makan minum. Itulah sebabnya, papar Sukri, dirinya merasa betah dengan penjualan sepatu bekas. Selain laris, di antara para pedagang barang bekas di Pasar Kreneng telah terjalin rasa persaudaraan yang demikian kental. “Ya kami di sini sudah seperti kakak dan adik. Semua sudah mengerti sifat masing-masing,” ungkap pria yang mengaku berstatus duda lajang. (Beny Uleander/KPO EDISI 94/November 2005)