Selasa, Maret 28, 2006

Beny Uleander

Potret Realitas & Impian Sidik Jari

Jati Diri Museum Dalam Jejak Cap Jempol
Istilah sidik jari selalu identik dengan cap jempol untuk urusan pembuatan KTP, SIM dan persoalan kriminal dan kejahatan. Istilah ini akan berubah bila orang berkunjung ke Museum Sidik Jari di Jl Hayam Wuruk 175, Denpasar. Museum milik Ngurah Gede Pemecutan ini memajang berbagai ukuran lukisan sidik jari yang dikerjakan dengan sentuhan ujung jari tangannya sendiri.
Dengan sentuhan warna yang ingin ditampilkan, Ngurah, demikian sapaan pria asal Puri Pemecutan, Denpasar ini, mulai ‘menjempol’ kanvas atau kertas. Hasil sentuhan tersebut akan meninggalkan bekas-bekas guratan layaknya cap sidik jari. Itulah sebabnya, hasil lukisannya disebut lukisan sidik jari (pointilisme).
Gaya lukisan ini sebenarnya sama dengan aliran pointilisme barat, yang melukis hanya menggunakan sidik jari atau ujung jari tangan. Setiap lukisan sidik jari dari berbagai aliran mesti memiliki ciri, karakter dan pesan berbeda. Kesamaannya terletak pada pengerjaan dengan menggunakan sidik jari atau ujung jari tangan. Fungsi kuas dipakai saat proses pewarnaan dasar kanvas atau kertas.
Bagi pengunjung baru, sepintas akan kelihatan bahwa lukisan itu sudah jadi, lalu baru diberi titik-titik sidik jari. Semua dilukis dengan menggunakan sidik jari, baik yang kelihatan berupa garis maupun bentuk. Beda antara jauh dekat, cembung cekung hanya menggunakan permainan warna cerah dan gelap secara kontras.
Selaku pemilik museum, Ngurah Gede Pemecutan tentunya memiliki sejarah panjang penemuan jati diri lukisan sidik jari. Awalnya, Ngurah muda menapak karir sebagai pelukis biasa dengan menggunakan kuas. Suatu saat di awal tahun 1967, ada sebuah lukisan berjudul Tari Baris yang gagal diselesaikannya. ‘’Kegagalan ini membuat perasaan jengkel, marah, tidak senang. Karena perasaan ini muncul seketika, maka lukisan yang belum selesai tersebut diaduk-aduk dengan jari yang diberi cat warna,’’ kata seniman yang belajar melukis sejak duduk di bangku SD ini.
Ketika lukisan tersebut diperhatikan, ternyata punya efek, kesan yang indah dan memuaskan perasaan. Saat itulah timbul suatu pikiran dan niat bahwa kalau seandainya suatu lukisan seluruhnya hanya dikerjakan dengan sentuhan ujung jari pasti akan menjadi suatu lukisan yang indah dan luar biasa. Sejak itulah, perlahan-lahan penggunaan kuas dikurangi dan akhirnya tidak dipakai sama sekali. Hingga kini, Lukisan Sidik Jari menjadi jati diri museum itu.
KPO/EDISI 101 MARET 2006

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :