Selasa, Maret 28, 2006

Beny Uleander

Tawa Global

Deru gesek konflik global kian keras meruncing memekakkan gendang telinga makhluk di muka bumi ini. Hampir tiap sisi kehidupan menjadi akar perpecahan. Masih dan akan terus hangat bagaimana ketegangan George W. Bush sebagai pion negara adikuasa dengan Osama bin Laden sebagai sosok yang dicitrakan penghancur dunia. Bagaimana pula dengan kategorisasi Timur dan Barat yang menjadi identitas kemakmuran. Belum lagi perbedaan warna kulit yang tetap menjadi momok perselisihan di lapangan sepak bola hingga sekarang.
Sungguh mengerikan wajah bumi ini. Seakan Tuhan sengaja melahirkan kerusakan dan permusuhan dengan menciptakan makhluk yang berbeda-beda. Padahal perbedaan bukan untuk menjadi simbol dan identitas, tetapi lebih sebagai lahan kreatifitas Tuhan yang menginginkan makhluk-Nya memiliki keluasan hati dalam mengagumi ciptaan-Nya.
Sebagai bentuk imanen dan kepanjangan transenden, kasih sayang, persaudaraan, persahabatan dan keharmonisan seyogyanya menjadi dasar perilaku sosial dan interaksi di dalamnya. Sekat-sekat lokalitas berbasis suku, ras budaya kelas sosial dan agama hendaknya tidak menghalangi perdamaian universal yang hakiki.
Tertawa sebagai jelmaan bentuk ekspresi kemanusiaan yang lahir dari panggung ziarah imanen telah banyak ditinggalkan. Hidup terasa mencekam, kelam dan tidak variatif. Padahal tawa adalah salah satu peruntuh sekat yang menghinggapi setiap manusia. Dengan tertawa, manusia akan selalu merasa hidup dan memiliki kehidupan tanpa batas. Ketika tawa muncul secara massif, maka kebahagiaan dan keharmonisan lahir tanpa memandang identitas individu atau kelompok.
Keprihatian ini mencuri perhatian Dr Madan Kataria, seorang dokter yang lahir dari keluarga petani di India. Ia menciptakan sebuah klub tawa pada 13 Maret 1995 di sebuah taman umum di Bombay, India dengan lima orang anggota. Dari klub mini yang kemudian berkembang menjadi ribuan dan tersebar di seluruh penjuru dunia, ia merasakan manfaat luar biasa dari tertawa yang saat ini mulai hilang dari sisi behaviouritas manusia.
Madan menilai, saat ini manusia cenderung melupakan tawa sebagai ‘Kebijaksanaan Illahi’. Hal itu menyebabkan manusia terlelap dalam arus kehidupan yang tidak menentu dan mengikis rasa kasih sayang, persaudaraan dan perdamaian serta kerap melahirkan kekerasan horizontal.
Ketika tawa dianggap sebagai anugerah Tuhan yang dimiliki setiap manusia, maka secara eksplisit muncul iman dari dalam nurani. Dan ketika iman mencuat, maka segala bentuk sekat sosial yang membedakan individu akan lebur dan terganti oleh sebuah keharmonisan yang bernafaskan persamaan. Karena, menurut Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, kedudukan manusia dibangun berdasarkan hubungannya denganTuhan, sedangkan persaudaraan antar manusia dibangun atas landasan iman. Dengan kata lain, tawa memiliki potensi disketsa menjadi obor perdamaian.
Meleburnya sekat lokalitas dicontohkan ketika imperium Kristen-Romawi tidak saja menyatukan Eropa, tetapi juga masyarakat lain dengan latar budaya sangat berbeda. Bangsa-bangsa di wilayah Afrika Utara tetap disebut orang Romawi meskipun mereka mendiami Eropa Barat dan Selatan.
Dalam konteks masyarakat tradisional atau bahkan dalam transisi menuju masyarakat modern dan pascamodern, persaudaraan berdasarkan iman merupakan terobosan besar yang berhasil membongkar tembok pembatas. Bisa terlihat ketika pemuatan kartun Nabi Muhammad oleh salah satu media massa Denmark yang mengundang reaksi dari seluruh penjuru dunia.
Tawa dapat menjadi spirit pemersatu dunia. Karena tiap manusia diberi kemampuan untuk tertawa tanpa batasan apapun. Tidak terbayangkan jika Bush, Osama dan Saddam Hussein duduk bersama sembari tertawa bebas tanpa melihat ras, budaya maupun warna kulit. Damailah dunia ini.
Sudah saatnya kita membentuk sebuah telogi sosial baru, yaitu agama tawa. Dikatakan teologi, karena tawa merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga dan berimplikasi sosial secara luas. Teologi tidak melulu berobyek agama, tapi lebih dari sebuah spirit untuk menciptakan sebuah tatanan global yang tenteram, aman, rukun dan sejahtera tanpa rasa takut oleh perbedaan. Jangan sampai kita terjebak dalam perilaku yang mengatasnamakan Tuhan dan menghancurkan sesama. Haruskah darah manusia terus tececer demi kekudusan Tuhan. Benarkah Tuhan memerlukan sikap brutal penganutnya dan jejeran mayat korban kekerasan demi kemulian-Nya? Saatnya kita meletakkan nilai-nilai humaniora tanpa dibalut dengan tafsiran agama maupun mazhab yang lahir dan tumbuh dalam suatu konteks kultur sosial.
Fenomena berkembang pesatnya klub-klub tawa di berbagai belahan dunia seperti di India, AS, Inggris, Australia, Jerman, Perancis, Italia, Swiss, Norwegia, Swedia, Denmark Singapura, Malaysia dan Dubai menjadi suatu realitas sosial yang perlu didukung keberadaannya. Sebab tertawa sebuah ekspresi kebahagiaan batin yang bisa dilakukan secara bersama tanpa memandang sekat budaya, perbedaan warna kulit ataupun keyakinan agama. Di tikungan reflektif ini, kita mengami bahwa tawa adalah personifikasi nilai-nilai kemanusiaan yang bisa hidup sejalan dengan nilai-nilai keabadiaan yang diusung setiap agama di bawah kolong langit ini. Mari kita tertawa secara alami mulai dari diri sendiri agar bisa melihat sesama sebagai saudara yang seudara. Semoga.
KPO/EDISI 101 MARET 2006

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :