Sabtu, April 15, 2006

Beny Uleander

Basis Kecerdasan

Indonesia sebuah negeri yang kaya dengan belitan pelik persoalan ketidakjelasan tatanan negara maupun kesimpang-siuran blue print proyek pembangunan. Payahnya lagi, anak-anak Indonesia di setiap pembabakan jaman selalu bertikai liar di antara bandul ‘ketunggalan’ dan kemajemukan. Ketika kebebasan dalam pluralisme dituai, rasa congkak ketunggalan (ika) mulai dihidupkan lagi. Kala, nafsu ketunggalan itu mengancam kesatuan bangsa yang majemuk maka kembali terdengar teriakan untuk bersama mengusung bendera kebhinekaan. Uniknya, api konflik kehancuran maupun gempa perpecahan sosial datang silih berganti, Republik ini tetap kokoh berdiri. Entah semu atau memang suatu saat Republik akan mengikuti tesis roboh atau hancur.
Dalam tesis roboh, ibarat bangunan tua yang dimakan rayap, rumah Republik akan keropos perlahan-lahan. Itulah gambaran yang cocok menyorot aksi jual beli asset negara yang penuh dengan trik keuntungan sekarang, rugi belakangan (baca: kesepakatan berdasarkan KKN). Perilaku korupsi ibarat rayap yang melemahkan pembangunan bangsa ini dari dalam.
Pemerintah dengan departemennya menggunakan ‘habis-habisan’ anggaran negara yang dikucurkan per semester dan per tahun anggaran. Tidak peduli anggaran negara sedang cekak. Langkah pemerintahan yang efisien bisa dihitung dengan jari, Pemkab Jembrana di Bali atau Solo di Jawa Tengah. Transaksi pinjaman demi pinjaman terus berlangsung yang akan dibayar ‘generasi impian’ tahun 2045. Secara diam-diam kedaulatan negara mulai digadaikan. Itulah kegelisahan eksitensial yang harus didiskusikan generasi muda saat ini.
Dalam tesis runtuh, arogansi mayoritas kadang kala tergoda untuk mendikte aturan normatifnya menjadi standar baku untuk seluruh bangsa. Sementara minoritas dalam kepongahan geografis dan kultur yang cantik kadang merasa bisa hidup mandiri tanpa perlu terdaftar dalam peta NKRI. Ruang dialog diganti parade demo tandingan sembari menebar aroma kemarahan di ujung golok. Bayangkan betapa sadis dan tragis jika kemarahan 200 jutaan penduduk negeri ini bermuara pada sabetan golok. Kekayaan heterogenitas menjadi lahan subur separatisme. Inilah masalah pencarian demokrasi yang sejati. Jika gagal, maka runtuhlah Republik ini.
Ketika, bangsa ini baru keluar dari penjara rezim Orba, DPR kini kembali bertingkah pola menjadi wakil pemerintah. Sebagian rakyat mulai gerah akibat hak-hak publiknya mulai terpinggirkan. Banyak persoalan kenegaraan yang tidak tuntas diurus hingga ke akar-akarnya karena kepentingan politis temporal lebih dilihat sebagai keabadian masa kini. Bentuk-bentuk investasi sosial, politis maupun ekonomi amat rapuh. Akibatnya di bidang ekonomi, rakyat yang produktif menjadi penganggur aktif. Geliat sektor swasta tertatih-tatih oleh urusan birokrasi maupun tagihan-tagihan pemerasan ‘super liar’. Biaya izin terlampau besar sehingga perusahaan akhirnya tutup sebelum bisa menjual produk barang maupun jasa. Sementara upaya pemerintah untuk mendukung sektor swasta khususnya UKM hanya basa-basi di ujung lidah yang memang tidak bertulang.
Suara-suara kegelisahan itu kian mencemaskan kala pemerintah pun mendandani dirinya menuju tatanan ordo kekuasaan. Kegelisahan tentang masa depan Indonesia terus mekar kala isi perut bumi nusantara mulai dikeruk tangan-tangan asing yang biasanya tidak peduli dengan masa depan anak cucu orang Papua, masyarakat Cepu, warga Kalimantan atau saudara-saudara kita di Lampung.
Adalah suatu hal yang wajar sekaligus suatu pujian bahwa di kalangan generasi muda saat ini kembali tumbuh sikap kritis untuk melembagakan ‘badan-badan’ oposisi sebagai sebuah opsi terkini mengagendakan tatanan demokratis. Tapi satu hal jelas, ungkap YB Mangunwijaya, demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang berkebiasaan berpikir rasional, emosi-emosinya yang wajar lazim dikendalikan oleh otak. Suatu nasion demokratis adalah nasion dari bangsa yang cerdas. Lebih tajam lagi, ungkapan sarkastik Mangunwijaya bahwa lelaki atau perempuan yang dungu dan tolol secara alamiah bukan orang demokratis.
Di tikungan kesadaran ini, kita layak meneropong gejala kehancuran ekologis dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, pemukiman maupun pedesaan karena kita dipimpin oleh mereka yang berpikiran idiot. Contoh sederhana, pengolahan sampah atau limbah organik maupun non organik di kota besar dan kecil di Indonesia tidak memiliki cetak biru yang konkrit untuk semua daerah. Padahal berbagai kemajuan teknologi dan peneletian pertanian terkini mengkondisikan bahwa sampah bisa didaur ulang menjadi produk pertanian maupun industri yang ramah lingkungan. Ada segelintir putra/i bangsa ini yang berjuang sendiri mengubah sampah menjadi gelembung ekonomi disertai penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus pendidikan kesadaran ekologis.
Sampah kadang dijadikan sebagai lahan proyek untuk mencari bantuan lembaga keuangan dunia. Dalihnya bisa bermacam-macam seperti mengubah sampah menjadi energi listrik atau menjadi pupuk pertanian. Setelah uang datang, proyek sampah diresmikan secara meriah penuh glamoritas. Rakyat tersenyum bangga dalam kepolosan. Hasil akhir, sampah terus menumpuk sementara pengelola proyek yang mangkrak saling melempar tudingan. Itulah situasi riil yang perlu dilihat pemerintah sebagai tantangan agar pengolahan sampah ditangani secara profesional bukan demi proyek sesaat.
Memang banyak kendala dalam merumuskan satu persoalan untuk semua daerah kabupaten/kota se-Indonesia. Salah satunya, kuantitas begitu banyak penduduk Indonesia. Dua ratus juta orang, tesebar di sekian ribu pulau, terpisah oleh lautan-lautan luas, selalu memberi segudang dalih untuk mengesahkan kebijakan uji coba, selaku conditio sine qua non agar efektif penanganan suatu persoalan.
Akhirnya, pemerintah pusat maupun daerah dituntut ketegasan untuk menindak tegas proyek-proyek di bidang pemeliharaan lingkungan yang tidak jelas visi maupun implementasi program-programnya. Sebab, penanganan yang asal-asalan ibarat bom waktu yang akan menghancurkan keseimbangan ekologis. Alam Indonesia hancur berantakan karena proyek-proyek siluman yang terus bergentayang di mana-mana. Hak kelola hutan menjadi hak tebang, hak kelola sampah menjadi ajang bagi-bagi uang proyek di luar DAU maupun DAK dan hak pakai pulau menjadi ladang menyelundup sampah-sampah kimiawi dari luar negeri.
Pendidikan kecerdasan lingkungan adalah bagian integral dari membangun negara demokratis. Sebab, bangsa mana saja di bawah kolong langit ini mendiami sebuah wilayah (darat, udara dan atau laut). Pelanggaran terhadap keseimbangan ekologis merupakan sebuah tindakan melawan nilai-nilai demokrasi. Kita berharap anak bangsa yang konsisten mengelola sampah dengan tujuan mulia demi keseimbangan ekologis masih mendapat tempat di bumi Indonesia. Semoga.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :