Selasa, Maret 04, 2008

Beny Uleander

Petaka Jurus Mabuk

Kelaparan adalah tragedi kutukan mengerikan bagi negeri yang subur dan kaya sumber daya alam. Kelaparan itu adalah murni kebijakan politik strategis! Mengapa demikian? Demokrasi tidak bisa bertumbuh ideal saat perut rakyat kosong. Urusan perut harus ditahtakan kembali pada kursi peradaban. Seperti kata pepatah Yunani kuno, engkau tidak dapat berpikir dengan perut yang lapar, karena perut tidak punya telinga. Padahal salah satu sendi demokrasi adalah terbangunnya ruang dialog dan pemahaman sinergis kepentingan pribadi dan umum, keberimbangan simbiosis urusan privat dan ruang kekuasaan negara.
Derita balita busung lapar, bocah-bocah polos kurang gizi, ibu hamil dan anaknya yang mati kelaparan di sebuah kamar kos menjadi ironi di tengah gegap gempita uang miliaran untuk dana kampanye dan pilkada. Seuntai kesadaran mengalir dari kejernihan nurani bahwa wajah kelaparan tengah tergolek bonyok di tangan-tangan kekar kekuasaan. Mulai dari kepala desa hingga presiden, dari pengurus anak ranting partai hingga elite politik di lingkup DPP, dari kemewahan kursi DPRD hingga kemegahan Senayan. Ya, kelaparan adalah buah sistematis dari tumbuh kokoh-kuat-jaya pilar-pilar kekuasaan. Aneh untuk dinalar sekedar dengan minum secangkir kopi di pagi hari.
Di balik awan yang pekat, matahari terus bersinar menerangi bumi. Sebuah contoh alam yang indah untuk dikalungkan pada loh hati. Bahwa serunyam apapun kehidupan, kemerdekaan berpikir dan perpendapat harus terus diperjuangkan dan dipertahankan. Layak bila dikedepankan lagi kebeningan nurani tanpa kebohongan. Sudah banyak litani dusta yang ditebar partai-partai politik dan pemimpin pilihan rakyat. Seorang pemimpin setelah berkuasa –banyak diberitakan media massa—didemo konstituennya karena mereka lupa merealisasikan janji-janji manis saat kampanye. Pendidikan gratis, kesehatan gratis adalah hiburan bagi rakyat dengan perut lapar yang masih ingin anak-anak mereka cerdas, yang masih berharap buah hati mereka tidak kekurangan gizi. Kog tega ya, rakyat miskin terus-menerus dikibuli demi menapaki tangga-tangga kekuasaan!
Bencana kelaparan dan nafsu kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Siapa yang mencintai rakyat negeri ini, yang tulus dan suci hatinya, pasti mengamini bahwa kelaparan bukan kutukan alam! Kelaparan dan kemiskinan bukan semata-mata karena kebodohan. Sebab kemegahan masa lalu telah mewariskan kebanggaan bahwa kita adalah keturunan dari para leluhur yang berbudaya dan berkepribadian adiluhung. Kearifan etis mereka bisa kita temukan dalam lontar dan naskah kuno. Rasa estetis mereka bisa kita nikmati dalam warisan megah Borobudur yang menjadi keajaiban dunia. Kerja akur dan kompak secara organisatoris dalam komunitas dan paguyuban dibangun nenek moyang kita dengan mata rantai gotong-royong, dedikasi, pengabdian dan pengorbanan. Betapa kaya norma-norma sosial yang hidup di berbagai suku dan etnik di negeri ini. Sebuah bukti unggul bahwa kelaparan dan kemiskinan terjadi akibat negeri ini salah diurus.
Kerumitan hidup rakyat negeri ini tidak dilihat sebagai tanda kekalahan. Seting kisah kelaparan massal adalah kisah miris zaman digital. Kebrutalan kapitalistik adalah “jenderal besar” yang otoriter dan anti demokrasi. Pemberdayaan potensi rakyat dan menggali keunggulan lokalitas agar memiliki daya saing di dunia usaha adalah musuh terbesar “jenderal besar kapitalistik”. Upaya melibatkan peran rakyat dalam berbagai kebijakan publik adalah rintangan sebesar pegunungan Jaya Wijaya yang bakal menghambat laju eksploitasi kekayaan alam. Itulah sebabnya tidak ada wakil rakyat di Senayan yang gigih berani memperjuangkan nasib rakyat korban lumpur Lapindo. Sebagian wakil rakyat telah menjadi boneka-boneka kekuasaan rezim kapitalistik yang angkuh, picik, licik dan kejam.
Kebiadaban rezim kapitalistik tidak bisa ditudingkan kepada negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Dalam ranah otonomi dan keberdikarian, kita masih berharap terbitnya wakil rakyat dan pemimpin negeri yang berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Satria yang berani melawan tekanan rezim kapitalistik. Kita meyakini, bila tampil pemimpin demikian, ia akan populer karena dicintai rakyatnya. Lebih dari itu, pemimpin sejati adalah insan yang merayakan kemanusiaan manusia di segala bidang. Itu bukan hal yang mustahil. Gandhi telah membuktikannya. “Luhurlah manusia itu. Baik hati dan suka menolong! Inilah yang membedakannya dari segala makhluk yang kita kenal,” kata Goethe. Dalam humanitas yang terwujud secara nyata inilah, kealamiahan dan kerohanian bersatu. Hugo Chaves telah merintis jalan ke sana. Evo Morales pun demikian, dan masih banyak lagi pemimpin di belahan negara lain yang telah sadar akan penjajahan modern.
Itulah sebabnya Wilhem von Humboldt (1767-1835) menekankan bahwa manusia etis-estetis bukan matematis rasional. Perbaikan mutu batiniah perlu didorong menjadi proyek bersama semua penghuni negara demokratis. Begitu juga di Indonesia. Agar para pemimpin kita berhenti saling mengolok dan menebar jurus mabuk. Agar rakyat tidak terus turun berdemo di jalanan kota hanya karena menagih janji-janji palsu! Semoga!!! (Beny Uleaner/KPOEDISI 147/MARET 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :