Jumat, Februari 15, 2008

Beny Uleander

Politikus Paternalistik

KETIKA kebohongan dibicarakan setiap hari, maka orang akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Demikian pula saat posisi wanita dalam tatanan sosial ditempatkan sebagai makhluk kelas dua, maka eksistensi wanita sebatas menjadi pelayan bagi kaum pria. Serta merta, hak-hak kaum wanita dalam ranah publik dipangkas. Selebihnya, ruang gerak wanita --makhluk yang lemah-lembut-- ada di rumah saja. Paradigma yang telah terbangun ini butuh waktu berabad-abad untuk memperbaikinya. Sampai-sampai Friedrich Nietzsche (1844-1900) mengatakan bahwa wanita adalah kesalahan terbesar Allah yang kedua!
Pada era Winston Churchill (1874-1965), banyak kalangan memprediksikan bahwa para wanita akan menguasai dunia pada tahun 2010. Lantas apa tanggapan Churchil? Ia terhenyak sambil berkata, “Tapi….? Hanya itu kata sanggahan Churchill. Singkat, padat dan jelas kandungan artinya. Meski hanya kata “tapi”, khalayak umum sudah paham kalau Churchill sealiran dengan Sokrates yang berpendapat bahwa sekali disamakan dengan pria, wanita menjadi superiornya. Maklum di daratan Eropa, pandangan filsuf Philo amat dominan, yaitu para isteri harus bekerja untuk suami-suami mereka. Mereka harus bekerja dengan mengembangkan ketaatan dalam segala hal.
Di jaman digital ini, posisi wanita yang layak dan bermartabat menunjukkan kemajuan sosial tertinggi sebuah komunitas. Sebab, wanita adalah manusia istimewa. Di mata Rudyard Kipling dalam Plain Tales from The Hills, tebakan seorang wanita adalah lebih tepat daripada kepastian lelaki. Wanita dengan sejumlah keunggulan adalah teman sepadan bagi pria. Apalagi Joseph Conrad menegaskan bahwa menjadi seorang wanita adalah ketrampilan yang sangat sulit, karena pada dasarnya tugasnya adalah menangani pria. Luar biasa apresiasi yang disematkan Conrad pada kualitas keibuan yang diemban kaum wanita.
Pergumulan menempatkan eksistensi wanita di kancah domestik dan publik tak pernah tuntas. Sinetron komedi “Suami-suami Takut Istri” yang ditayangkan Trans TV memantulkan “kelucuan yang lahir dari ketidakpantasan” sikap para istri terhadap suaminya. Perguliran wacana emansipasi dan demokratisasi peran setara pria dan wanita terus diprodusir dari lembaga agama hingga intelektual kampus. Sayang seribu sayang, saat debat dan perjuangan pengakuan akan kiprah wanita di ruang publik kian gencar, para aktivis hak wanita lupa akan rajutan moral kesehatan reproduksi wanita. Ya, termasuk batasan kewajiban negara menjamin kesehatan ibu dan anak sejak dalam kandungan.
Apalah artinya perjuangan emansipasi wanita, sementara banyak kaum ibu dan anak yang jauh dari pelayanan kesehatan. Perhatian negara terhadap kesehatan ibu dan anak merupakan ekspresi peradaban yang luhur. Sebab, negara dibentuk oleh komunitas pria dan wanita. Aktivitas seksual pria dan wanitalah yang terus menambah daftar penghuni planet bumi ini. Tidak ada kisah mitologi sekalipun yang mengisahkan pria melahirkan anak. Yang ada adalah kisah nenek masih bisa melahirkan anak. Dan, tidak ada cerita rakyat soal seorang manusia yang keluar dari rahim batu.
Perjuangan emansipasi wanita yang sejati terkandung di dalamnya perjuangan menjaga panggilan suci ibu dalam mengandung, melahirkan dan merawat anak. Kita akan menjadi bangsa yang prematur bila terus membiarkan angka kematian ibu dan anak terus meningkat, yakni 307/100.000 kelahiran. Reformasi gagal memperbaiki persoalan perempuan Indonesia. Kasus kekerasan, perdagangan, tekanan budaya dan adat istiadat, rendahnya pendidikan, serta dominasi kaum pria dalam rumah tangga masih terjadi. Dalam hal ini, pemerintah sekarang tidak perlu malu meniru gebrakan posyandu yang dahulu dipopulerkan Presiden Suharto. Bagaimana posyandu masuk sampai di desa-desa pelosok. Ada tenaga medis yang telah dikondisikan untuk mengabdi di daerah terpencil.
Saat gerakan posyandu redup,kita terkejut melihat fakta busung lapar yang menyayat hati. Pada simpul ini kita bisa menggugat bahwa kematian ibu dan anak yang terus bertambah dari tahun ke tahun menjadi tanda bahwa kaum wanita masih dijajah “politikus paternalistik”. Bukankah negara dikelola oleh lembaga-lembaga yang beranggotakan manusia? Jadi kepedulian negara terhadap kesehatan reproduksi wanita menjadi barometer tingkat kepedulian sebuah komunitas sosial.
Pertanyaan terbesar…yang belum dapat kujawab, meskipun aku telah melakukan penelitian selama 30 tahun mengenai jiwa wanita adalah “Apakah yang diinginkan oleh wanita?” Itulah kata Sigmund Freud (1856-1939). Mungkin pertanyaan kegelisahan Freud ini layak pula diajukan kepada kaum wanita Indonesia. Di mana suaramu sebagai mayoritas penduduk Indonesia? Ataukah sebagian besar wanita Indonesia masih dininabobokan petuah Aristoteles bahwa kaum perempuan adalah kaum laki-laki yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dihasilkan oleh ketidakmampuan seorang ayah atau oleh pengaruh jahat dari angin selatan yang basah! Pada simpul ini kita mengamini bahwa perjuangan demi kesejahteraan kaum ibu dan anak (juga kaum yang lemah) adalah perjuangan peradaban yang menjadi tanggung-jawab setiap individu. Pria dan wanita mengembangkan tugas terberi untuk menyucikan kehidupan ini demi kelanjutan generasi yang berkualitas, sehat rohani dan jasmani. (Beny Uleander/KPO EDISI 146/FEBRUARI 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :