Kamis, Agustus 14, 2008

Beny Uleander

Kala Pintu Liberalisasi Kian Terbuka Lebar

Pemerintah Indonesia membuka pintu liberalisasi ekonomi yang selebar-lebarnya kepada perusahaan-perusahaan raksasa internasional. Sebuah kenyataan ekonomi yang sulit dikelit negara berkembang. Lantas, rakyat kecil tertatih-tatih menggarap celah-celah usaha medioker dengan omzet di bawah Rp1 jutaan.
Mal, supermarket maupun hypermarket, misalnya, secara simultan dikelola pemodal asing. Carefour misalnya, mulai menancapkan jejaring usahanya di beberapa kota besar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan eksistensi pasar tradisional dengan ciri komunikasi interaktif pembeli dan penjual itu? Tak bisa dipungkiri kini pasar tradisional di daerah perkotaan kian termarjinal oleh pembangunan supermarket, swalayan dan puluhan outlet. Padahal pasar tradisional menjadi penyangga dan tulang punggung perekonomian rakyat kecil. Dosen Undiknas Drs Ida IDM. Rai Mahaputra MS berharap pemerintah daerah sepatutnya memproteksi keberadaan pasar tradisional.
Jangan lupa, para pelaku ekonomi pasar tradisional adalah kalangan dan komunitas kelas bawah, pebisnis pemula yang baru belajar menjadi entrepreneur. Sebagai ciri budaya bangsa, pasar tradisional perlu dipertahankan dan dipelihara karena memiliki daya pikat bagi pelancong luar.
Suasana pasar yang kumuh, kotor dan perparkiran yang semrawut dilihat sebagai akibat perhatian pemerintah yang setengah hati dan memarjinalkan peran pasar tradisional yang ada. Padahal pasar tradisional memiliki potensi dan andil yang cukup besar dalam menghidupkan roda perekonomian rakyat dan juga mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1997.
Langkah proteksi pemerintah meliputi penyediaan fasilitas dan sarana fisik berupa kios, los, kenyamanan, keamanan, kebersihan, parkir dan akses transportasi serta pemberdayaan SDM para pelaku pasar. Bila langkah pemberdayaan pasar tradisional berjalan efektif bukan tidak mungkin pasar rakyat ini akan menampilkan citra "One Stop Shoping" yang dimiliki pasar modern. Sekali berbelanja berbagai kebutuhan bisa terpenuhi mulai dari produk sampai dengan sarana hiburan lainnya tersedia.
Ada kesan kuat mencuat, pemerintah daerah kurang cerdas mengatur tata ruang lokasi pasar modern dan pasar tradisional. Hampir semua daerah tidak memiliki zona jelas dan tegas terkait kompleks bisnis, ruang sosial, kawasan pemukiman, dan termasuk pasar. Ada alih fungsi tata ruang yang tidak terkendali, misalnya kompleks yang semula dijadikan pemukiman masyarakat, tiba-tiba berubah jadi swalayan atau supermarket dan kompleks ruko.
Akibatnya daya saing pasar tradisional melemah bahkan sekarat dalam segala macam persoalan, --pemasaran, modal dan produksi. Produk-produk yang dipasarkan hanya kelas dua atau kelas tiga. Sedangkan yang kelas satu, kelas super atau kelas istimewa sudah disadap dan dipasarkan pasar modern seperti hypermarket, supermarket dan hotel.
Pemerintah terkesan begitu longgar memberikan payung proteksi kepada pasar tradisional, khususnya sosialisasi aturan dan tata tertib yang berlaku. Misalnya pedagang (pelaku pasar) cenderung berjualan pada sembarang tempat sehingga mengurangi tempat-tempat penimbunan barang atau parkir. Pemda tidak cukup hanya menyediakan tempat berupa gedung, tetapi pembinaan agar pelaku pasar mampu mengadapi persaingan dengan modal yang memadai. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :