Kamis, Agustus 14, 2008

Beny Uleander

Selebritas Pemberitaan

Setiap insan dalam segala keelokan talenta menyisir alur kehidupan terberi. Jejak fase kehidupan menghidangkan kerumitan dari masa kana-kanak, remaja hingga dewasa. Di belahan pengalaman kegembiraan maupun semburat duka bercampur tangis bersemi sinar harapan. Ya…manusia mencari dan terus mencari hari demi hari sebuah alasan eksistensial. “Untuk apa saya hidup dan ke mana saya akan melangkah!”
Kegamangan yang amat mendalam ini kerap mendorong manusia masuk dalam alam refleksi. Ada saat di mana seseorang diam hening berbincang intens dengan dirinya. Ia mematangkan pandangan hidupnya secara rohaniah dengan menekuni kitab-kitab keagamaan yang diyakini. Ia menenangkan kegelisahan nurani dengan menyerap butir-butir kebijaksanaan dari orangtua, guru, sahabat dan teman hidup yang dijumpai. Muara penemuan diri berujung pada kerendahan hati: setiap insan –yang berbeda ras, agama dan budaya—adalah duta-duta kehidupan.
Keajaiban terjadi kala seseorang menyadari dirinya sebagai pribadi yang mandiri, bebas dan otonom. Pribadi yang memiliki potensi pengembangan diri dan aktualisasi karakter. Hanya ada satu Barack Obama. Cuma ada satu Sheila Marcia. Juga Osama Bin Laden berbeda dengan Mike Tyson. Setiap pribadi mengukir kisah hidupnya sendiri. Kita tidak ditugaskan untuk bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Namun kesadaran kita akan benih-benih kebaikan membuat kita lebih awas untuk tidak melukai kehidupan dengan amarah, dendam dan irihati.
Saat ini gendang pengungkapan korupsi terdengar ramai. Silat lidah politikus muda dan tua seperti sebuah ketoprak humor. Pengurus partai maupun tokoh independen gencar mengiklankan diri. Sementara rombongan aktor dan artis yang terlanjur tersohor mencoba peruntungan di panggung politik maupun kekuasaan. Koruptor, aktivis, penjahat sekelas Verry Idam Henyansyah alias Ryan hingga elite politik di negeri ini menjadi “tokoh publik”. Itulah kekuatan selebritas pemberitaan maupun parade iklan yang berlangsung kontinyu.
Setiap saat selalu ada wajah baru maupun lama yang nongol di layar kaca menyapa kita lewat akrobat peran mereka dalam kisah tertentu. Wajah Artalyta Suryani begitu familiar bak artis dadakan. Sosok Roy Surya sang pengamat IT dengan suara analisis terekam akrab di telinga pemirsa. Tawa renyah Oprah Winfrey menyapa bintang tamu sudah seperti suara orang terdekat di hati kita.
Selebritas pemberitaan membuat obyek pemberitaan menjadi subyek tontonan mengasyikkan. Tragedi maupun bencana seperti pentas kolosal di sebuah tempat. Masyarakat digital kerap tak peduli dengan masalah-masalah krusial kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri.
Demikian pula di pentas politik, rakyat digiring mendewakan tokoh-tokoh muda yang dicitrakan dinamis dan penuh daya dobrak. Tapi, perangkat-perangkat pencitraan “lupa” bahwa yang tersajikan adalah selebritas wacana, opini, asumsi dan prediksi. Bukan selebritas aksi.
Itulah kelemahan krusial yang membuat kita lupa bahwa setiap kita adalah duta kehidupan. Pribadi-pribadi yang menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Karya kita adalah eksistensi kita. Bakti kita adalah kualitas kemanusiaan kita. Itulah yang tidak tertanam sebagai gerak kesadaran untuk membangun bangsa dengan kerja keras dan karya cerdas. Akibatnya kita (bangsa Indonesia) lamban membaca peluang-peluang usaha. Saatnya kita meneladani bangsa Cina dan India yang mulai menawarkan kejayaan peradaban baru di tengah pudarnya dominasi “peradaban Amerika”. Mereka bangsa yang tekun dan pekerja keras. Apakah manusia Indonesia jarang berkomunikasi dengan dirinya, memasuki alam refleksi sehingga tidak mau tahu bahwa hidup adalah berkarya bukan bermimpi. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :