Kamis, September 08, 2005

Beny Uleander

Desa Adat Digandeng Distribusi Minyak Tanah

Minyak tanah sudah termasuk kebutuhan pokok warga perkotaan. Ketika terjadi kelangkaan minyak tanah, puluhan warga antrean di pangkalan minyak tanah dan mereka yang tidak menerima jatah kerap menangis. Disinyalir ada agen dan pihak pangkalan minyak tanah yang melakukan penimbunan atau menaikkan harga eceran tertinggi di atas Rp 1000/liter. Karena itulah, menurut Pjs Humas Pertamina Cabang Bali, A.Y Pamuji Harjo kini Tim Monitoring Harga dan Pendistribusian BBM & Gas Kota Denpasar menggulirkan wacana agar lembaga desa adat diajak menjadi partner dalam mendistribusikan minyak tanah kepada warga masyarakat.

Usulan ini menurut Pamuji sedang dibahas tim monitoring yang dibentuk 31 Agustus 2004 dengan SK Walikota Denpasar No. 188.15/228/HK/04. Pilihan pada lembaga desa adat karena di Bali lembaga ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam tata kehidupan adat dan agama masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. “Tentunya minyak tanah akan dijangkau secara merata oleh warga masyarakat dan secara tanggung-jawab mudah dikontrol,” urai pria kelahiran Klaten 43 tahun silam. Tentu saja penawaran ini terkait dengan profit atau keuntungan bagi lembaga desa adat. Kini, wacana ini sedang diperjuangkan agar terealisasi di Kota Denpasar yang bakal menjadi contoh bagi kabupaten lain di Bali.

Wacana tim monitoring menurut Bima Yuda Wardana, pengelola pangkalan minyak tanah di Jl Hayam Wuruk No 9 Denpasar yang sudah berkecimpung selama 30 tahun, tidak masuk akal. Alasannya, persoalan mendasar adalah kelangkaan minyak tanah. “Okelah lembaga desa adat menjadi pengelola pangkalan minyak tanah tetapi mana dong minyak tanahnya. Kalau dulu saya selalu menerima 8 sampai 15 drum sekarang hanya 3 drum yang langsung habis dalam waktu dua jam saja,” sergah mantan atlet angkat berat Bali kelahiran Denpasar 19 Maret 1942.

Selain itu, 400 pangkalan minyak tanah sudah menyusut jadi 200 unit karena kekurangan pasokan minyak tanah. “Masalahnya sekarang minyak tanah itu dibawa ke mana. Coba ditelusuri lari ke mana. Ini sebuah lingkaran setan dan perlu dicari siap setan dalam lingkaran tersebut. Saya selama ini menjadi tombak yaitu juru bicara ketika terjadi kelangkaan minyak tanah,” imbuh pria yang mengantar langsung minyak tanah kepada para pelanggannya dengan sepeda motor.

Sementara Ketua Komisi B DPRD Kota Denpasar, IB Gede Udiana menilai wacana Tim Monitoring amat prematur. “Saya kira perlu dibenahi ulang sistem dan mekanisme distribusi minyak tanah dari agen ke pangkalan dan pengecer. Kalau ada kekurangan langsung diperbaiki. Ini lebih efisien karena tidak akan menimbulkan persoalan baru,” urainya. Ditambahkan, kebutuhan warga Kota Denpasar akan minyak tanah 100 kiloliter/hari sangat kurang. Seharusnya ada penambahan 35 kiloliter lagi sehingga menjadi 135 kiloliter/hari.

Soal keterlibatan lembaga adat desa, Udiana menilai tidak tepat. Sebab lembaga ini tidak berorientasi pada profit tetapi lebih pada mengurus masalah-masalah sosial, adat dan religius. “Lebih bijaksana bila dipercayakan kepada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) karena memang berkutat di bidang usaha. Jangan kita bebani lembaga desa adat dengan sesuatu yang bukan tugas pokoknya. Namun kami mendukung upaya pemerataan distribusi minyak tanah bagi semua warga. Kalau ada tikus dalam lumbung, buatlah perangkap untuk menagkapnya. Jangan lumbungnya yang ditinggalkan. Kalau sistem distribusi minyak tanah selama ini bermasalah harus segera diperbaiki.,” tegas Udiana yang juga Wakil Ketua DPD Golkar Kota Denpasar. (Beny Uleander/KPO EDISI 90/OKTOBER 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :