Sabtu, April 15, 2006

Beny Uleander

Amanda Et Amiranda

‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’ (Demikian ungkap Erich Kastner dalam In Memoriam Memoriae).
Ungkapan Kastner kembali aktual dalam melukis-kenangkan situasi paradoksal yang menimpa negeri Indonesia sejak kemerdekaan hingga era SBY-Kalla berkuasa. Di mata Cornelis de Houtman, Nusantara adalah surga rempah-rempah yang selalu menggoda untuk dicintai dan dikagumi (amanda et admiranda). Alam yang indah, kekayaan flora dan fauna yang beragam, perut bumi menyimpan emas, besi dan tembaga dan letaknya strategis di jalur perdagangan dunia. Itulah keindahan Indonesia. Lantas muncul pertanyaan bernada kegusaran. Kenapa kekayaan alam melimpah tetapi rakyatnya berjubel di lorong kemelaratan. Hidup keseharian penuh dengan kegaduhan. Mengapa penduduknya yang banyak lebih membesarkan mata untuk menyorot kehidupan moral orang per orang. Sementara wajah kemiskinan, aktor koruptor dan pengangguran yang terus meningkat tidak dilihat sebagai persoalan mendesak untuk diselesaikan? Ada apa denganmu bangsaku?
Ada banyak analisis sosial, budaya, politik dan ekonomi untuk mencari akar kelemahan manajemen bangsa. Salah satu kajian kaum budayawan menyebutkan bangsa ini tidak memiliki tradisi tata kelola sebuah nasion yang kokoh di semua lini.
Tentu perbandingan atau kiblat selalu terarah kepada negara tetangga di Asia Raya maupun Asia Tenggara. Jepang, pernah menjalani sebuah periode isolasi diri yang cukup lama terhadap dunia luar. Setelah kehidupan internal sosial, budaya, politik dan ekonomi maupun pertahanan kokoh baru membuka diri terhadap dunia luar yang dirintis Kaisar Meiji (Restorasi Meiji). Kebijakan isolasionisme Tokugawa yang berlangsung selama 250 tahun itu sukses dari segi konsolidasi psikologi dan identitas nasional. Organisasi masyarakat dan kenegaraan yang konstan, kuat dan kokoh ketika terjun dalam percaturan dunia internasional. Adaptasi hasil kebudayaan luar tidak merusak tetapi justru memperkaya. Patokan moral umum adalah keseimbangan tempat antara kebaikan dan kejahatan. Ada tempat untuk hal yang indah dan jelek.
Dalam kurun waktu yang sama dengan Tokugawa, Amangkurat II langsung mengundang VOC untuk campur tangan militer langsung dalam negeri sendiri. Berbeda dengan China yang setali tiga uang dengan Jepang. Mao Zedong dan kawan-kawan juga menerapkan isolasionisme politik dan ekonomi RRC sekian dasawarsa, sehingga fase pembukaan diri kemudian oleh Deng Zioping terhadap adikuasa politik ekonomi Barat terasa tidak membahayakan lagi. Soekarno pun pernah mencobanya tetapi momentum kurun maupun taktik tekniknya kurang memadai. Persoalan dikacau lagi dengan revolusi sosial yang ingin dipercepat PKI. Akhirnya yang terjadi konsolidasi politik terdahulu lalu diikuti ekonomi. Di era Orba terjadi pergeseran, konsolidasi ekonomi sebagai panglima pembangunan diikuti bidang politik. Di era Reformasi, konsolidasi di bidang hukum menjadi trend. Lalu ada pembenahan sistem politik yang masih labil dan ekonomi sangat kocar-kacir. Kondisi keuangan negara yang cekak ‘memaksa’ SBY harus ambil komando nasional dengan paling awal membayar pajak yang disaksikan publik. Besar harapan para wajib pajak bisa mengikutinya.
Awal tahun 2006, ada ‘arah angin baru’ yaitu konsolidasi investasi asing. Langkah awal, pemerintah membabat habis semua perda maupun peraturan birokratis yang menghambat keluarnya izin usaha. Fakta di lapangan menyisakan kisah duka. Pejabat di daerah ‘enggan’ mengikuti gebrakan presiden. Alasannya, kurang koordinasi pusat atau daerah tidak bisa diterima secara moral. Seruan presiden di back-up media massa. Pasti didengar pula birokrat di penjuru Nusantara. Alasan yang tepat soal kelambanan yaitu mental pungli sukar dihapus hanya dengan seruan presiden. Sementara elite kekuasaan tidak melakukan ‘turba’ alias cek dan ri-cek. Keputusan yang diambil soal keengganan investor karena hak-hak kaum buruh terlalu ‘istimewa’ sehingga UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi. Sungguh tragis.
Bagaimana dengan kiprah DPR? Justru isu paling hot adalah bagaimana menggolkan UU Polisi Moral yang membuat kisruh di tingkat akar rumput. Kita dihadapkan pada sebuah parade kebodohan tentang ruwet-rentengnya relasi ranah publik dan privat. Yang privat dijadikan bahan pembicaraan publik, sementara urusan publik dicarikan penyelesaiannya secara privat, seperti debat para presiden Indonesia tentang ayam panggang atau para caleg yang malahan konsultasi ke juru kunci kuburan. Kita terjebak dalam permainan klise massal yang penuh kegenitan, gossip bernada fitnah (baca: lebih kejam dari membunuh). Kita bak gerbong kereta digiring melakukan distorsi terhadap logika dan common sense.
Di pojok kebingungan ini, kita bertanya kapan agenda konsolidasi sosial, keamanan dan kebudayaan? Masih amat jauh, entah sampai kapan. Hasilnya, bangsa ini menderita krisis identitas di tengah serbuan arus globalisasi politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Buktinya, secara politik kita belum siap menerima liberalisasi ekonomi tetapi secara de facto pemerintah sudah menerapkannya?
Lemahnya tata kelola kenegaraan dan sistem pendidikan menjadi titik keprihatinan menyorot keterpurukan ekonomi bangsa yang tak kunjung berubah pasca resesi global tahun 1997. Thailand kembali bangkit karena konsolidasi kemasyarakatan dan kenegaraan sudah kokoh. Thailand dan Korut bisa bangkit karena mereka pun pernah menerapkan kebijakan isolasionisme. Korea Utara masih berlangsung hingga kini. Intelijen maupun investor asing sukar masuk ke negaranya.
Persoalan terkini yang dihadapi bangsa ini adalah tingginya angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun. Sementara lapangan kerja yang terbatas menyebabkan lebih dari setengah angkatan kerja yang tidak terserap pasar. Kondisi ini diperparah lagi dengan kegiatan ekonomi makro yang lesuh. Akibatnya, banyak perusahaan besar membatasi jumlah karyawan dan mengurangi/pemotongan gaji.
Sementara di tingkat global, berdasarkan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pertumbuhan ekonomi global gagal menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi kemiskinan.
Saat ini, kata Direktur Jendral ILO, Juan Somavia, setengah pekerja di dunia memiliki penghasilan di bawah dua dolar AS per hari sehingga tidak mampu mengangkat dirinya dan keluarganya ke atas garis kemiskinan. Laporan tersebut menekankan bahwa di banyak negara berkembang, permasalahan utamanya bukan pengangguran namun sedikitnya kesempatan kerja dengan pendapatan yang memadai.
Di Indonesia, pada bulan Oktober 2005 lalu terdapat sebanyak 106,9 juta angkatan kerja dan 95,3 juta di antaranya bekerja serta 11,6 juta orang penganggur. Selama periode Agustus 2004 - Oktober 2005, jumlah angkatan kerja bertambah sekitar 2,9 juta, sementara dalam periode yang sama jumlah pertambahan tenaga kerja yang terserap hanya 1,6 juta orang. Perkembangan ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesempatan kerja adalah masalah yang sangat serius bagi Indonesia. Langkah isolasi diri yang urgen saat ini (jangkah pendek dan pragmatis) adalah perbaharui UU demi melindungi hak-hak rakyat (buruh dan kelas pekerja) agar tidak sekedar jadi mesin produksi tetapi dijadikan mitra kerja. Kekayaan alam sudah terlanjur dijual seperti kasus Freeport dan Blok Cepu. Akankah kita menjual keindahan kita yang terakhir yaitu: manusia Indonesia yang sudah lama menderita? ‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’
KPO/EDISI 103 APRIL 2006

Read More
Beny Uleander

Parkinson Sosial Bikin Bonyok Wajah Tradisi

Wajah tradisi bonyok! Bukan disirimi air keras seperti dialami Liza yang kini sedang dirawat intensif di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Tapi diguyur fenomena plagiat dan wabah parkinson massal.
Ragam warisan khasanah kebudayaan dan teknis pengetahuan tradisional tidak dikumpul dalam ‘koridor kurikulum’ pendidikan formal. Akibatnya, manusia muda Indonesia gampang dan cenderung mengabaikan ‘peradaban leluhurnya’. Di sudut dunia yang lain, ada individu asing yang takjub melihat kekayaan warisan tradisional di Bumi Nusantara. Mereka datang mempelajari dengan cermat dan tuntas. Lantas warisan budaya itu dibawa pulang gratis ke negerinya untuk ditumbuh-kembangkan. Kita pun senang mencicipi tahu buatan Jepang dan memakai kebaya tenunan Inggris.
Sungguh ironis jika Rendang yang menjadi ciri khas masakan Padang dipatenkan di Malaysia, atau Tempe yang dipatenkan Amerika. Padahal kedua masakan itu sangat tidak asing lagi sebagai masakan tradisional Indonesia. Begitu juga dengan lagu tradisional kita, kalau tidak segera dipatenkan bisa diakui orang asing.
Kita pun terus berziarah di tengah kejutan-kejutan sosial (social shock) dalam jurang ketidakmengertian. Mengapa warisan budaya kita cepat menguap bagai embun di atas daun talas di pagi hari? Kita pun berlangkah tertatih-tatih untuk kembali mempelajari ‘ilmu-ilmu’ klasik. Ada tantangan internal. Selain ditertawai, literatur tertulis pun amat minim. Gulungan lontar hanya omong bisik-bisik soal sejarah politik. Arsitek mana yang mampu membuat kembali Borobodur. Siapa yang bisa menjelaskan tuntas teknik-teknik pengobatan tradisional yang ikut punah seiring meninggalnya sang dukun atau balian.
Parkinson sosial itulah pukulan kemajuan yang membuat bonyok wajah tradisi kita. PT Karya Pak Oles Tokcer dengan salah satu semboyan, ‘’Membangun Desa Membangun Bangsa’’ memahami secara filosofis dan fundamental makna pengembangan potensi lokal. Salah satunya pengembangan pengobatan tradisional dan fitofarmaka. Potensi obat alami Indonesia memang melimpah, seperti aneka produk jamu, mulai dari yang digosok, ditempel, dikumur sampai diminum, semuanya tersedia, juga encok, pegel linu, jerawat, pelangsing, penggemuk sampai penghancur batu ginjal, dan banyak pilihan obatnya. Kini tinggal ‘good will’ pemerintah dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengembangkannya agar pelayanan kesehatan tidak semata-mata tergantung pada obat-obat modern.
Departemen Kehakiman dan Perindustrian harus lebih agresif mengusahakan perlindungan hak paten dan hak cipta sebab zaman ini marak praktek tiru-meniru sebuah merk yang sudah dikenal masyarakat luas.
Menurut situs World Economic Forum, barang-barang palsu di seluruh dunia telah menimbulkan kerugian sekitar US$ 450 milyar bagi seluruh produsen aslinya. Disinyalir, usaha dan bisnis barang palsu ini telah menjadi usaha sindikat kriminal yang sangat rapi.
Kapan Standar Nasional Indonesia diberlakukan? Ingat jangan terlambat, liberalisasi ekonomi sudah berjalan di Indonesia meski masih ‘ngumpet’ ala Freeport atau Blok Cepu. Bila lamban, kita kembali terjebak dalam Parkinson sosial dan dikerjain terus plagiator dari negeri tetangga.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006

Read More
Beny Uleander

Semua Orang Bisa Jadi Pengusaha

Semua orang sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi pengusaha. Hal ini dapat diketahui dari bagaimana ia dapat memperoleh penghasilan untuk membiayai kehidupan hariannya. Menurut pengusaha perbankan, Alex Chandra, manusia dapat dikenal dari apa yang ia hasilkan dan apa yang ia kerjakan. “Kita dapat menyebut bahwa ia seorang pengusaha atau tidak dari apa ia kerjakan dan ia hasilkan,” urai Chandra dalam seminar sehari bertajuk “Semua Bisa Menjadi Pengusaha” di Hotel Orange Denpasar Bali, April 2006.
Di hadapan 500 peserta, Chandra menguraikan empat cara bagaimana manusia bisa memperoleh penghasilan. Pertama, dengan bekerja untuk orang lain (others employer), artinya orang lain yang menggaji. Ia hidup dari apa yang digaji tersebut dan ia bekerja hanya semata-mata memperoleh penghasilan. Contoh dari kelompok ini adalah para karyawan, pegawai negeri sipil, para buruh. Kedua, orang yang bekerja untuk dirinya sendiri (self employer). Artinya, ia bekerja dengan kekuatan sendiri, bakat dan pengetahuan yang dimilikinya, sekaligus ia hidup dari apa yang dikerjakannya tersebut. Contohnya para artis dan seniman. Ketiga, bisnis owner yaitu orang yang memiliki usaha sendiri. Ia hidup dari usaha tersebut tetapi ia sendiri tidak langsung bekerja. Ia memiliki tenaga-tenaga yang bekerja untuknya. Contoh dari kelompok ini adalah para pengusaha. Keempat, investor. Kelompok ini tidak memiliki usaha, bahkan tidak bekerja, tetapi mereka memperoleh penghasilan dari hasil investasi.
Klasifikasi cara memperoleh penghasilan seperti ini bisa membantu orang untuk menempatkan dirinya, bahwa ia sebenarnya berada di kelompok yang mana. Untuk menjadi seorang pengusaha, minimal orang harus masuk dalam kelompok bisnis owner sekalipun dalam skala yang sangat kecil. Syaratnya, harus memiliki pengetahuan dan wawasan, kerja keras, tekun, pandai membaca peluang, memiliki visi dan misi yang jelas, mengambil keputusan secara cepat dan tepat dan didukung oleh tenaga dan sarana yang memadai. Masalah modal bukan sesuatu yang sulit. Bila semua syarat dipenuhi dan dieksekusi secara tepat maka ia bisa dikatakan sebagai pengusaha sukses.
Kesuksesan seorang pengusaha ditandai oleh terpenuhinya empat kebutuhan dasariah dan dua kebutuhan spiritual. Kebutuhan dasariah adalah financial freedom (kepastian keuangan), time freedom (bebas menentukan waktu, tidak tergesa-gesa, tidak merasa dikejar-kejar waktu), control (manusia selalu ingin mengontrol, tetapi tidak mau dikontrol), growth (usaha selalu bertumbuh dan berkembang, dan sudah menjadi hukum alam, bila tidak bertumbuh maka ia sama dengan mati). Sedangkan kebutuhan spiritual adalah contribute (beramal, ada kepuasan untuk beramal dan tidak merasa rugi dan menyesal), kebutuhan akan penghargaan. Bila telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini maka ia bisa disebut sebagai pengusaha sukses.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More
Beny Uleander

Basis Kecerdasan

Indonesia sebuah negeri yang kaya dengan belitan pelik persoalan ketidakjelasan tatanan negara maupun kesimpang-siuran blue print proyek pembangunan. Payahnya lagi, anak-anak Indonesia di setiap pembabakan jaman selalu bertikai liar di antara bandul ‘ketunggalan’ dan kemajemukan. Ketika kebebasan dalam pluralisme dituai, rasa congkak ketunggalan (ika) mulai dihidupkan lagi. Kala, nafsu ketunggalan itu mengancam kesatuan bangsa yang majemuk maka kembali terdengar teriakan untuk bersama mengusung bendera kebhinekaan. Uniknya, api konflik kehancuran maupun gempa perpecahan sosial datang silih berganti, Republik ini tetap kokoh berdiri. Entah semu atau memang suatu saat Republik akan mengikuti tesis roboh atau hancur.
Dalam tesis roboh, ibarat bangunan tua yang dimakan rayap, rumah Republik akan keropos perlahan-lahan. Itulah gambaran yang cocok menyorot aksi jual beli asset negara yang penuh dengan trik keuntungan sekarang, rugi belakangan (baca: kesepakatan berdasarkan KKN). Perilaku korupsi ibarat rayap yang melemahkan pembangunan bangsa ini dari dalam.
Pemerintah dengan departemennya menggunakan ‘habis-habisan’ anggaran negara yang dikucurkan per semester dan per tahun anggaran. Tidak peduli anggaran negara sedang cekak. Langkah pemerintahan yang efisien bisa dihitung dengan jari, Pemkab Jembrana di Bali atau Solo di Jawa Tengah. Transaksi pinjaman demi pinjaman terus berlangsung yang akan dibayar ‘generasi impian’ tahun 2045. Secara diam-diam kedaulatan negara mulai digadaikan. Itulah kegelisahan eksitensial yang harus didiskusikan generasi muda saat ini.
Dalam tesis runtuh, arogansi mayoritas kadang kala tergoda untuk mendikte aturan normatifnya menjadi standar baku untuk seluruh bangsa. Sementara minoritas dalam kepongahan geografis dan kultur yang cantik kadang merasa bisa hidup mandiri tanpa perlu terdaftar dalam peta NKRI. Ruang dialog diganti parade demo tandingan sembari menebar aroma kemarahan di ujung golok. Bayangkan betapa sadis dan tragis jika kemarahan 200 jutaan penduduk negeri ini bermuara pada sabetan golok. Kekayaan heterogenitas menjadi lahan subur separatisme. Inilah masalah pencarian demokrasi yang sejati. Jika gagal, maka runtuhlah Republik ini.
Ketika, bangsa ini baru keluar dari penjara rezim Orba, DPR kini kembali bertingkah pola menjadi wakil pemerintah. Sebagian rakyat mulai gerah akibat hak-hak publiknya mulai terpinggirkan. Banyak persoalan kenegaraan yang tidak tuntas diurus hingga ke akar-akarnya karena kepentingan politis temporal lebih dilihat sebagai keabadian masa kini. Bentuk-bentuk investasi sosial, politis maupun ekonomi amat rapuh. Akibatnya di bidang ekonomi, rakyat yang produktif menjadi penganggur aktif. Geliat sektor swasta tertatih-tatih oleh urusan birokrasi maupun tagihan-tagihan pemerasan ‘super liar’. Biaya izin terlampau besar sehingga perusahaan akhirnya tutup sebelum bisa menjual produk barang maupun jasa. Sementara upaya pemerintah untuk mendukung sektor swasta khususnya UKM hanya basa-basi di ujung lidah yang memang tidak bertulang.
Suara-suara kegelisahan itu kian mencemaskan kala pemerintah pun mendandani dirinya menuju tatanan ordo kekuasaan. Kegelisahan tentang masa depan Indonesia terus mekar kala isi perut bumi nusantara mulai dikeruk tangan-tangan asing yang biasanya tidak peduli dengan masa depan anak cucu orang Papua, masyarakat Cepu, warga Kalimantan atau saudara-saudara kita di Lampung.
Adalah suatu hal yang wajar sekaligus suatu pujian bahwa di kalangan generasi muda saat ini kembali tumbuh sikap kritis untuk melembagakan ‘badan-badan’ oposisi sebagai sebuah opsi terkini mengagendakan tatanan demokratis. Tapi satu hal jelas, ungkap YB Mangunwijaya, demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang berkebiasaan berpikir rasional, emosi-emosinya yang wajar lazim dikendalikan oleh otak. Suatu nasion demokratis adalah nasion dari bangsa yang cerdas. Lebih tajam lagi, ungkapan sarkastik Mangunwijaya bahwa lelaki atau perempuan yang dungu dan tolol secara alamiah bukan orang demokratis.
Di tikungan kesadaran ini, kita layak meneropong gejala kehancuran ekologis dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, pemukiman maupun pedesaan karena kita dipimpin oleh mereka yang berpikiran idiot. Contoh sederhana, pengolahan sampah atau limbah organik maupun non organik di kota besar dan kecil di Indonesia tidak memiliki cetak biru yang konkrit untuk semua daerah. Padahal berbagai kemajuan teknologi dan peneletian pertanian terkini mengkondisikan bahwa sampah bisa didaur ulang menjadi produk pertanian maupun industri yang ramah lingkungan. Ada segelintir putra/i bangsa ini yang berjuang sendiri mengubah sampah menjadi gelembung ekonomi disertai penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus pendidikan kesadaran ekologis.
Sampah kadang dijadikan sebagai lahan proyek untuk mencari bantuan lembaga keuangan dunia. Dalihnya bisa bermacam-macam seperti mengubah sampah menjadi energi listrik atau menjadi pupuk pertanian. Setelah uang datang, proyek sampah diresmikan secara meriah penuh glamoritas. Rakyat tersenyum bangga dalam kepolosan. Hasil akhir, sampah terus menumpuk sementara pengelola proyek yang mangkrak saling melempar tudingan. Itulah situasi riil yang perlu dilihat pemerintah sebagai tantangan agar pengolahan sampah ditangani secara profesional bukan demi proyek sesaat.
Memang banyak kendala dalam merumuskan satu persoalan untuk semua daerah kabupaten/kota se-Indonesia. Salah satunya, kuantitas begitu banyak penduduk Indonesia. Dua ratus juta orang, tesebar di sekian ribu pulau, terpisah oleh lautan-lautan luas, selalu memberi segudang dalih untuk mengesahkan kebijakan uji coba, selaku conditio sine qua non agar efektif penanganan suatu persoalan.
Akhirnya, pemerintah pusat maupun daerah dituntut ketegasan untuk menindak tegas proyek-proyek di bidang pemeliharaan lingkungan yang tidak jelas visi maupun implementasi program-programnya. Sebab, penanganan yang asal-asalan ibarat bom waktu yang akan menghancurkan keseimbangan ekologis. Alam Indonesia hancur berantakan karena proyek-proyek siluman yang terus bergentayang di mana-mana. Hak kelola hutan menjadi hak tebang, hak kelola sampah menjadi ajang bagi-bagi uang proyek di luar DAU maupun DAK dan hak pakai pulau menjadi ladang menyelundup sampah-sampah kimiawi dari luar negeri.
Pendidikan kecerdasan lingkungan adalah bagian integral dari membangun negara demokratis. Sebab, bangsa mana saja di bawah kolong langit ini mendiami sebuah wilayah (darat, udara dan atau laut). Pelanggaran terhadap keseimbangan ekologis merupakan sebuah tindakan melawan nilai-nilai demokrasi. Kita berharap anak bangsa yang konsisten mengelola sampah dengan tujuan mulia demi keseimbangan ekologis masih mendapat tempat di bumi Indonesia. Semoga.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More

Sabtu, April 08, 2006

Beny Uleander

Kerja Keras Dan Baca Peluang

Besarnya modal dan tingginya tingkat pendidikan tidak menjadi ukuran dalam berwirausaha. Keberhasilan dan kesuksesan dalam wirausaha sangat ditentukan oleh kerja keras dan kemampuan untuk melihat peluang dan tantangan yang ada. Untuk menjalankan usaha, modal utama adalah kualitas pribadi yang tinggi. Benarlah apa yang dikatakan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan legendaris dan aktor perubahan sosial Jepang. “Jika engkau seorang yang berkemampuan tinggi, jadilah seorang pedagang, tetapi jika engkau seorang yang setengah-setengah jadilah pegawai biasa.’’ Kata-kata Shibusawa ini perlu dicermati oleh setiap orang yang ingin memulai wirausaha, karena kualitas individulah yang akan menentukan usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak.
Di mata pengusaha jamu asal Bali, Dr Ir G.N. Wididana, M.Agr, kesuksesan suatu usaha bukanlah hal yang mudah, melainkan harus diperjuangkan dengan mata dan hati yang bersih, pikiran yang jernih dan semangat yang tak pernah padam. “Inilah modal dasar, agar usaha yang dijalankan tetap bertahan, sekalipun diterpa berbagai tantangan dan godaan, baik secara internal maupun secara eksternal,” urai Wididana di hadapan 40-an peserta pengusaha komputer yang tergabung dalam Assosiasi Perusahan Komputer Indonesia, di Hotel Nikki, Denpasar, Sabtu, (8/4/2006).
Menurutnya ada lima kunci utama agar wirausaha tetap bertahan di masa krisis yaitu fokus, produk yang dihasilkan, citra atau merk, pemasaran, dan SDM. Fokus akan kelihatan dalam keketapan hati, ketekunan, kesabaran dalam menjalankan wirausaha. Tindakan ini harus dimbangi dengan kekuatan doa, perumusan visi misi yang tepat sasar dan diwujudkan dalam aksi nyata. Aksi nyata ini akan menghasilkan produk tertentu entah berupa barang atau jasa. Produk yang dihasilkan harus memperhatikan kualitas, kuantitas, kontinuitas, diversifikasi, inovasi dan pengembangan. Citra atau merk produk yang dihasilkan juga perlu mendapat perhatian yang serius. Kekuatan citra atau merk akan mempengaruhi pasar. Kekuatan citra hanya bisa dibangun dengan komitmen yang teguh, manajemen merk, informasi dan jaringan. Semakin citra itu dibangun, maka kredibilitas dan image konsumen dan masyarakat pada umumnya terhadap produk tersebut akan semakin besar dan kuat, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi pasar.
Dalam suatu usaha, pemasaran menduduki posisi yang penting. Bila pemasaran tidak berjalan, maka semua produk yang dihasilkan akan mubazir dan masuk sampah. Pemasaran sangat menentukan eksistensi dan keuntungan suatu usaha. Pemasaran harus didukung sistem yang benar, jaringan dan informasi yang luas, dan ditangani oleh team pemasaran yang solid dengan SDM yang berkualitas. Kualitas SDM akan menentukan apakah usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak. Ada berbagai cara untuk meningkatkan kualitas SDM antara lain, motivasi, pendidikan dan latihan, kontrol, perbaikan, regenerasi. Peningkatan kualitas SDM ditandai dengan promosi, demosi, mutasi dan didukung oleh sistem penggajian, insentif dan bonus. Bila lima kunci utama ini diperhatikan secara serius maka usaha tersebut akan tetap bertahan sekalipun dilanda oleh berbagai krisis yang terjadi. Mudah-mudahan.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More