Rabu, Juli 28, 2004

Beny Uleander

Dandanan Politis

Bumi kita hanya satu. Kata Barbara Ward. Kerusakan bumi tidak lain adalah kerusakan keseimbangan ekosistem yang semakin parah dari tahun ke tahun. Hutan Ethiopia atau Libanon dengan kayu aras yang terkenal 3.000 tahun SM tinggal ‘kenangan tinta emas’ zaman kejayaan Raja Sulaiman dari negeri Israel kuno. Kini, kawasan itu menjadi lautan padang gurun. Inilah contoh, betapa penebangan hutan secara brutal dan sadis sudah dimulai sejak zaman lelulur. Tandus, kering dan menjadi wilayah tak berpenghuni justru jadi saksi dan potret terkini bagi miliaran pasang mata.
Ralph Ducon dengan nada cemas mengungkapkan, duka cita terbesar manusia zaman ini adalah ancaman kepunahan hidup karena kerusakan lingkungan, baik darat, laut maupun udara. Namun gema tangisan Ducon hilang ditelan suara hingar-bingar mesin sensor kayu dan pidato-pidato politis tentang pelestarian lingkungan di alam wacana. Upaya membangkitkan kesadaran komunal bahwa bumi, tempat hidup terkini merupakan pinjaman dari generasi yang mendatang yang bisa dimentahkan dengan argumentasi ko-eksistensi. Sesuatu yang belum ada meski dimungkinkan ada dalam iklim potensialitas, namun tidak punya hak untuk meminta kewajiban tertentu. Generasi yang belum ada tidak punya kemungkinan menuntut kewajiban manusia saat ini untuk memelihara lingkungan hidup. Meski penalaran ko-eksistensi ada benarnya tetapi dari sudut tangggung-jawab dan solidaritas kemanusiaan, kewajiban menjaga bumi dari kerusakan merupakan bagian dari tindak kemanusian dan ciri peradaban humanistik.
Lagi, Barbara Ward berujar ada dua tanah yang harus dipertahankan yakni tanah air dan tanah bumi. Bila keberadaan bumi tidak dipelihara maka ancaman kematian sudah di ambang pintu. Manusia bertambah dari tahun ke tahun tetapi lahan tetap konstan bahkan kian menyempit. Ya, bumi diuntungkan dengan mekanisme alamiah --adanya mortalitas-- sebagai kunci keseimbangan. Tapi jangan lupa, alam yang telah rusak juga menciptakan mortalitas seperti banjir dan tanah longsor karena penggundulan hutan. Peningkatan suhu global dan efek rumah kaca disertai perubahan iklim akibat peningkatan berbagai gas beracun menyebabkan kekeringan dan kegagalan panen.
Di Indonesia, upaya pelestarian lingkungan tidak lebih dari panggung wacana yang berujung pada money game terselubung. Serangkaian proyek pelestarian lingkungan hidup dicanangkan sejak negeri ini merdeka sampai tahun ini tidak menunjukkan hasil hasil positif. Sesuai data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pada tahun 2003, terjadi 326 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, terjadi 111 longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Juga tercatat 78 peristiwa kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten. Belum lagi 263.071 hektar sawah terendam banjir dan 66.838 hektar sawah puso. Ini terjadi di 11 propinsi. Akhir tahun 2003, kerusakan keragaman hayati laut di beberapa tempat di Indonesia sudah terjadi overfishing seperti Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Makassar dan Flores, Laut Sulawesi dan Laut Arafura.
Meski kerusakan lingkungan Indonesia sudah demikian parah tetapi masih tetap terbingkai rapi dengan hadiah-hadiah Adipura yang menjadi incaran kaum birokrat yang berlagak genit. Maklum, hadiah ini kian jadi piala politis, --demi status dan penghargaan. Wajar, para pejabat di tingkat kota tetap berlomba percantik kawasan perkotaan agar asri, cantik, indah, pesona dan menawan hati meski secara artifisial. Bila kotanya terpilih, aparat birokrat juga harus siap mengenakan stelan jas dan dasi panjang untuk tampil di media elektronik dan cetak.
Ciri khas sebuah kota yang tengah mengalami tipu daya, justru pada hiasan lahiriah. Bagian belakangnya berantakan. Ini diperparah paradigma yang mendulukan dandanan ketimbang makna. Akibatnya, program kota lebih terfokus pada kecantikan luar, ketimbang kecantikan dalam. Bila kehadiran undian berhadiah seperti Porkas, SDSB ataupun judi togel ditentang habis-habisan oleh seluruh elemen mulai dari tingkat masyarakat biasa, kalangan kampus, kaum cerdik pandai, LSM hingga pejabat publik. Tetapi ketika sebuah program pemerintah untuk pelestarian lingkungan hidup dengan alokasi dana tertentu yang tidak jelas hasilnya, tidak ada satupun elemen masyarakat yang berteriak lantang bahwa telah terjadi proses perjudian terselubung dengan taruhan kelestarian lingkungan. Itulah wajah asli bangsa kita, Indonesia.
Dalam paradigma peradaban luhur, sungai dan air adalah sumber kehidupan. Ketika semua pihak berpegang pada paradigma ini, seluruh kehidupan diarahkan untuk melestarikan kehidupan itu, bagi kemanusiaan. Berarti, ketika pengelolaan sumber kehidupan itu mengalami tipu daya bagi kepentingan individual, seharusnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan bagi kehidupan. Kejahatan bagi kemanusiaan.
Di negeri ini, aparat dan birokrat bertindak ngawur dibilang salah prosedur, pencemaran dan kerusakan lingkungan menjadi granat yang dilemparkan antara LSM dan pemerintah. Padahal rakyat cuma butuh lingkungan yang sehat sebagai pemberian Tuhan untuk dinikmati. Bagaimana udara yang sudah dihirup gratis terus tercemar. Hal apa lagi yang bisa dinikmati rakyat jelata negeri ini.
Indonesia yang berada dalam jalur katulistiwa memiliki hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Jika puluhan hektar hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua setiap bulan terus digunduli tanpa upaya rehabilitasi maka hutan Indonesia mengikuti jejak tragis hutan Ethiopia dan Libanon. Hamparan padang pasir dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah tinggal menjual kembali Sukhoi atau pinjam dana IMF untuk mendatangkan unta jantan dan betina dari Timur Tengah. Nasib… Nasib. KPO/EDISI 65

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :